Surprise ! Prediksi banyak pihak tentang nama-nama yang bakal menjadi tim panitia seleksi (pansel) untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meleset semua. Bahkan sangat jauh.
Sebab namanama yang sebelumnya beredar semuanya ”arjuna”. Kini ternyata tim Pansel KPK seluruhnya berisi ”srikandi”. Dan ketika nama-nama tim pansel diumumkan, seperti biasa, selalu muncul pro dan kontra. Intinya mereka mempertanyakan kompetensi dan kapabilitas anggotanya. Tapi ini adalah soal biasa terjadi di negeri kita.
Saya tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang serius. Dari dulu juga begitu. Namanya juga numpang tenar. Bagi saya masalah yang serius adalah tugas Pansel KPK ini sungguh berat. Jika melihat persyaratannya, mereka dituntut mampu memilih ”orang-orang suci” (menurut persepsi publik lagi) atau ”manusia setengah dewa”.
Mereka seakan-akan harus mampu memilih orang-orang yang rekam jejak perjalanan hidupnya tidak punya cacat cela. Padahal, orang yang suci itu bisa jadi belum teruji. Kata orang bijak, semakin teruji, ada saja bocel-bocelnya. Jangan-jangan stoknya sudah habis. Apalagi yang masih mau. Bersih saja tentu tak cukup bukan? Anda ingat kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.
Sejatinya, yang menjadi soal bukan benar atau tidaknya duduk perkara kasus tersebut. Yang terpenting adalah adanya rekam jejak yang bisa dijadikan alat untuk mempersoalkan posisi keduanya. Padahal dulu waktu kita uji kita pun sudah minta kepada Polri, BIN, PPATK, dan lembaga resmi lainnya untuk memberikan informasi.
Toh dalam perjalanan waktu, bisa saja mereka dianggap ”memicu” pihak lain menemukan fakta-fakta baru di masa lalu yang bisa menyurutkan langkah, bahkan mematikan lembaganya. Maka Pansel KPK kali ini harus mampu memilih orang-orang yang bebas dari kemungkinan jadi ”sasaran tembak”.
Tambahan pula, kandidat itu harus mampu berpikir dan membangun langkah strategis, bukan yang emosional dan gampang tersulut atau sekadar mendapat keprokan heroik. Misalnya, kenapa sih korupsi ini makin hari makin merajalela? Apa bijak kita menuntut perubahan kalau gaji PNS, penegak hukum, dan pejabatnya cuma segini aja ? Artinya kita butuh pegulat baru, bukan sekadar pejuang gagah-berani seperti yang sudah-sudah. Itu sebabnya saya menyebutnya tugas mereka adalah memilih ”manusia setengah dewa”.
Di luar itu, dalam menjalankan tugasnya mereka juga masih harus menghadapi gangguan-gangguan dari luar. Misalnya soal pro-kontra yang terus bergulir. Ini sebetulnya gangguan kecil, tapi bisa menjadi besar kalau mereka tak sanggup mengelolanya. Lalu, gangguan yang lumayan besar adalah intervensi dari banyak pihak yang ingin ”jagonya” terpilih. Apakah mereka akan mampu mengatasinya?
Belajar dari China
Saya mengenal sebagian dari tim Pansel KPK kali ini. Sepengetahuan saya, mereka yang saya kenal itu bersih, memiliki integritas, visi sebagai pemimpin, dan pintar kalau ada yang ragu soal ini, saya cuma bisa menyunggingkan bibir sambil berguman: ”hebat juga ya cari sensasinya”. Emangnya jadi pansel itu kita berani bayar berapa? Sudah syukur kalau ongkos transpornya dibayar tepat waktu.
Jadi belajarlah menghormati mereka yang masih mau meminjamkan kecerdasan dan kebersihan dirinya. Jadi kalau tugas tim Pansel KPK ini adalah memilih orangorang yang kompeten, memiliki kapabilitas dan integritas untuk memimpin KPK, saya yakin tim ini mampu. Namun memilih ”orang-orang suci” yang sama sekali tidak mempunyai cacat cela?
Apakah ada di antara kita yang betul-betul tidak mempunyai cacat cela? Bicara soal ini, saya jadi teringat dengan ucapan Bapak Bangsa yang juga mantan Wakil Perdana Menteri China, mendiang Deng Xiaoping. Ucapan Deng yang kemudian melegenda adalah ”Saya tidak peduli apa warna kucingnya, yang penting dia bisa menangkap tikus.”
Ucapan itu dilontarkan ketika Deng menyaksikan betapa tertinggalnya China. Maka Deng mengirimkan ratusan ribu mahasiswa untuk belajar ke luar negeri. Setelah kembali, mereka memberikan kontribusi yang hebat dalam memodernisasi China. Bahkan lebih dari itu. Ucapan Deng tadi juga mampu menyatukan perbedaan ideologi. Pertikaian ideologi ”yang diadaadakan” inilah yang membuat China terbelakang.
Dalam konteks yang sama, saya kira ucapan Deng bisa menginspirasi kita dalam memerangi korupsi. Bukankah kita semua setuju bahwa korupsi di negara kita sudah menjadi masalah yang akut? Korupsi bukan saja mengakibatkan kerugian keuangan negara, tetapi juga merusak moral dan mental bangsa. Korupsi juga membuat kita menjadi bangsa yang terbelakang.
Bahkan kalau mengingat kisruh ”cicak vs buaya” atau KPK vs Polri, korupsi terbukti mampu memecah belah bangsa kita. Apa yang kita alami sebetulnya sama dengan pengalaman China. Maka, kita memodifikasi ucapan Deng menjadi ”Lupakan siapa orangnya, yang penting dia bisa menangkap para koruptor.”
Jadi, kita tak perlu lagi menuntut tim Pansel KPK untuk mencari ”orang-orang suci” atau ”manusia setengah dewa”. Juga tak perlu mempersoalkan siapa Destri. Saya kenal orangnya dan saya kira kita bisa memercayainya. Kita terima orang yang bersungguh- sungguh dan alhamdulillah kalau ketemu yang setengah dewa tadi. Kalau tidak ada, kita cari saja orang-orang yang bisa menangkapi para koruptor dan membangun masa depan baru.
Komisi dan Pansel
Baiklah sekarang kita bicara tentang pansel-pansel yang lain. Ini penting, sebab selain KPK, kita juga mempunyai banyak sekali komisi negara. Sebagian kalangan menyebut kita mengalami kelebihan pasok komisi. Beberapa komisi dibentuk atas perintah UU. Misalnya Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komnas HAM atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Beberapa lainnya dibentuk berdasarkan peraturan pemerintah. Lalu, beberapa komisi sangat kita kenal, beberapa lainnya terdengar asing. Misalnya, saya yakin sebagian Anda tentu masih asing dengan Komnas Lansia atau Komnas FPBI. Komnas Lansia tentu Anda sudah tahu. Ini yang menangani kalangan lanjut usia. Kalau Komnas FPBI? Itu singkatan dari Komisi Nasional Pengendalian Flu Burung dan Pandemi Influenza.
Kalau saya menyebut komisi- komisi tadi, itu karena sebagian pengurusnya mesti dipilih oleh panitia seleksi. Contohnya KPK tadi, lalu KPU, KPPU atau KPI. Bahkan sekarang untuk mendapatkan pejabat eselon I dan II pun membutuhkan pansel. Saat ini saya juga terlibat dalam pansel di sejumlah kementerian untuk memilih pejabat tinggi tersebut. Jadi kalau ada kelebihan pasok komisi, tentu bakal ada kekurangan pasok pansel. Mencari anggota pansel menjadi sangat sulit.
Mungkin bakal ada orangorang itu saja yang menjadi anggota pansel. Maklum pengorbanan waktunya lumayan banyak. Apalagi selain komisi-komisi tadi, masih ada lagi sejumlah petinggi negara yang prosesnya juga harus dipilih lewat seleksi terbuka. Ini untuk membangun sistem meritokrasi dan sekaligus menangkal KKN. Jangan sampai posisiposisi penting di pemerintah diisi oleh kerabat pejabat tertentu atau orang-orang terdekatnya.
Birokrasi pemerintahan kita rusak, antara lain, karena faktor ini. Jadi, mesti ada tim seleksi. Di antaranya posisi untuk jabatan pimpinan tinggi (JPT). Alhasil, mereka yang masuk tim pansel harus orang-orang mempunyai kapasitas secara akademis, dapat dipercaya, dan berpengalaman. Lalu, orangorang ini harus menghasilkan orang-orang terpilih. Sebab orang-orang inilah yang akan mengisi posisi-posisi penting di pemerintahan.
Belajar dari tim Pansel KPK tadi, guna mengisi orangorang di komisi-komisi lainnya, saya berharap kita tidak terjebak untuk mencari ”orang-orang suci” atau ”manusia setengah dewa”. Kalau tidak, kita bakal kesulitan mencari orang yang mau duduk di komisi-komisi tadi dan kesulitan mencari anggota panselnya. Kecuali orangorang suci yang sudah masuk surga mau turun kembali ke bumi untuk mengurusi masalah ini. Anda mau?
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan