Seorang politisi senior, marah besar saat membaca usulan pemerintah untuk menambah modal ke BUMN. “Ini gila! Kalau BUMN diperbesar, swasta dapat apa?,” tanyanya geram.
Temannya, seorang kontraktor, menganggukan kepala. \”Ya, swasta-lah yang harus diperbesar.\” Satunya lagi bilang begini, “kalau mau ditambah modal, mengapa tidak BUMN yang sakit saja? Masih banyak BUMN yang belum sehat.”
Tentang hal ini mereka pun berdebat. Namun mereka sepakat menahan laju sejumlah BUMN agar tidak mendapat tambahan modal baru. Di antaranya, Bank Mandiri yang diusulkan menerima PMN sebesar Rp 5,6 triliun.
Esoknya, para bankir dari negeri tetangga ramai menelpon saya. Mereka senang karena kini cuma mereka yang bisa kasih kredit untuk membiayai proyek infrastruktur skala besar di Indonesia. Perusahaan-perusahaan lainnya dalam MEA juga ikut antre. \”Kalau pembiayaannya dari bank kami, Insya Allah Proton bisa lebih mudah masuk,\” kata salah satu dari mereka.
Dari berbagai berita, saya membaca prespektif yang amat beragam. Ada koalisi (yang semakin samar) dan ada yang jelas-jelas oposisi. Bahkan ada yang menyatakan tambahan modal negara sebesar Rp 39,2 triliun itu merupakan bentuk kolusi baru. Ada juga yang mengatakan ini modus baru untuk “menilep” uang rakyat.
Benarkah PMN baik untuk bangsa? Atau malah sebaliknya? Di mana letak perubahannya?
Bukankah bangsa ini harus terus melaju ke depan dengan paradigma baru? Kata Stephen Covey, untuk mendapatkan buah yang lebih baik kita harus mengubah akarnya. Itu sebabnya James Gleick, yang menulis buku yang berjudul Chaos: The Making of a New Science mencatat pentingnya manusia melihat dengan cara-cara baru. Sebab “Ideas that require people to reorganize their picture of the world provoke hostility.”
Paradigma Post Cold War: Hapuskan BUMN
Tak lama setelah perang dingin berakhir di tahun 1979, banyak ekonom yang percaya perlunya menghapus BUMN dari peta ekonomi dunia. Bagi mereka, BUMN hanyalah model sosialisme dengan pemusatan kekuatan ekonomi pada negara. Lagi pula, data-data saat itu menunjukan, rata-rata BUMN menjadi beban negara. Tidak efisien, menjalankan kegiatan yang bersifat monopolistik, mengacaukan anggaran pemerintah, rugi, manajemennya buruk, pelayanan publik tidak baik, karyawannya tua-tua, tidak kreatif dan tidak responsif.
Maka dimulailah upaya besar-besaran di Eropa untuk menjual dan privatisasi BUMN. Mendiang Margaret Thatcher adalah salah satu tokohnya. Dan sejak itu, paham untuk pembubaran BUMN meluas, dijadikan pedoman oleh IMF dan Bank Dunia. Sasaran mereka adalah sektor telekounikasi, listrik, dan industri-industri besar.
Itu sebabnya, ketika Indonesia dilanda krisis pada tahun 1998, IMF memaksa kita untuk menghentikan bantuan keuangan pada PT. Dirgantara Indonesia, dan memaksa kita menjual BUMN-BUMN yang dianggap tidak efisien. Salah satu dokumen rahasia ketika itu menyebutkan Pertamina pun diusulkan agar dipecah menjadi dua (sehingga mudah diambil alih oleh pasar).
Bank-bank pemerintah pun dipaksa untuk merger, dan bank-bank milik pengusaha lokal dialihkan ke tangan asing. Indonesia dipaksa bersaing di saat ia sedang sakit keras dan dirawat di ICU.
Demikianlah, didukung oleh riset-riset dalam bidang ekonomi yang dimuat oleh aneka jurnal internasional bereputasi, anak-anak muda Indonesia yang sedang mengambil thesis PhD ditanamkan pandangan bahwa BUMN inefficient.
Tetapi sekitar tahun 2005 pandangan-pandangan tentang hal itu pun berubah. Para ilmuwan menemukan fakta-fakta baru, bahwa di Timur ia justru menunjukan kedigdayaan. BUMN Asia ternyata mampu menjadi alat perubahan ekonomi yang penting.
BUMN juga bisa dikelola secara profesional, terbuka, go public, bermitra dengan perusahaan global, mempekerjakan global executives, melakukan inovasi, bersaing di dunia internasional, dan menyumbang pajak dalam jumlah yang tak terkejar oleh siapapun di negerinya masing-masing.
Max Buge dkk (2013) menunjukan, 10 persen dari 2.000 perusahaan kelas dunia versi majalah Forbes adalah BUMN. Total sales 204 BUMN dari 37 negara ini pada tahun 2011 mencapai 3,6 triliun dollar AS atau setara dengan GDP Jerman.
Lima negara yang teratas yang peran BUMNnya penting menurut studi Buge itu adalah China, UEA, Rusia, Indonesia dan Malaysia.
Pertanyaan selanjutnya adalah perubahan apa yang telah terjadi, bagaimana swasta mengambil peran dan apa yang membuat mereka mampu berkontribusi bagi perekonomian? Apa yang membedakan negara-negara yang kaya karena BUMN dan apa yang membuat BUMN sulit berkembang? Berikut inilah ulasannya.
BUMN Sapi Kurus
Sejak republik ini didirikan, swasta dan BUMN sama-sama dikembangkan. Berawal dari perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi, BUMN itu terus dikelola negara. Kalau ketemu eksekutif yang handal BUMN pun berevolusi menjadi perusahaan hebat.
Demikian juga sebaliknya. Tak banyak orang yang tahu bahwa gas alam yang dipakai sebagai LNG dan LPG di dunia dewasa ini juga berawal dari BUMN Indonesia: Pertamina di era Ibnu Soetowo.
Bahkan, kumpulan perusahaan dan pabrikan milik konglomerat besar Asia Oei Thiong Ham (raja gula dari Semarang) pun beralih menjadi Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Sayang juga kalau RNI belakangan ini banyak diganggu oleh para pemburu rente (mafia gula).
Kisah BUMN Indonesia sesungguhnya sarat dengan sejuta cerita, baik itu heroisme, inovasi, maupun sisi negatifnya (korupsi, penipuan, pemerasan, dll).
Tetapi baiklah. Presiden Soekarno pun tak rela menyerahkan seluruh kekuatan ekonomi pada BUMN. Mendiang Soekarno pun mencetak lahirnya pengusaha-pengusaha swasta pribumi dari berbagai nusantara yang dikenal dengan pengusaha benteng. Dasaat, Hasyim Ning, Bakrie dan sebagainya lahir dari semangat itu.
Tapi waktu berjalan, konsep pengembangan BUMN mengalami pasang surut. Di Era Orde Baru, pemerintah mencoba memperbesar peran swasta dan negara, sementara BUMN-nya dibiarkan dikelola orang-orang dekat presiden. Mantan ajudan, pejabat dan tentara diberi jabatan sebagai dirut. Politik \”kedamaian\” dan balas budi di era itu membuat banyak BUMN terpuruk.
Bisa dibayangkan bagaimana kondisi BUMN saat itu.
Begitu Pertamina didera isu korupsi, ia pun dijadikan mesin birokrasi dan uangnya langsung dikelola oleh negara. Garuda Indonesia yang dulu dikagumi di dunia harus diperkecil karena salah urus. Kereta Api menjadi kumuh, listrik tidak berkembang dan seterusnya.
Sejak krisis Pertamina (1974), wajah BUMN tak ubahnya menjadi kepanjangan tangan negara. Pegawai-pegawainya adalah pendukung Golkar, evaluasi kinerja karyawan dilakukan masih seperti PNS, menggunakan lembar DP3. Dan kalau BUMN untung, maka keuntungannya ditarik masuk ke dalam kas negara. Tak ada retained earnings yang memadai untuk meremajakan diri atau melakukan penelitian dan pengembangan (R&D).
Jadi bagaimana mau tumbuh?
Jangankan tumbuh, hidup pun menjadi susah, apalagi saat kita mulai impor BBM. Keuntungan BUMN hampir semuanya ditarik negara untuk menambal APBN. Sementara itu, Petronas yang belajar dari Pertamina (1973-1974) justru melaju kencang dengan konsep Pertamina yang uangnya dikelola sendiri.
Saat Ari Soemarno memimpin Pertamina, ia pun melakukan transformasi besar-besaran. Ia juga punya gagasan berani menjadikan BUMN besar ini: non listed public company agar transparan dan tak bisa diganggu-ganggu politisi. Gagasan itu ternyata tidak dikabulkan. Pemerintah sepertinya masih senang melakukan intervensi pada BUMN saat itu.
Menjelang berakhirnya kekuasaan Orde Baru kita pun menyaksikan persoalan-persoalan besar BUMN seperti yang dikatakan para ilmuwan pasca-perang dingin: rugi, salah urus, birokratik dan seterusnya. Beberapa di antaranya menjadi sarang KKN para pejabat dan keluarganya serta partai-partai politiknya.
Wajar bila di awal reformasi sejumlah BUMN mengalami krisis. Pada saat itulah pemerintah turun tangan menyelamatkan mereka dengan tiga jalan: mempekerjakan profesional, menambah penyertaan modal negara, atau go public.
Pertamina, PT Kereta Api Indonesia dan Garuda Indonesia berhasil melakukanturnaround karena dipimpin para profesional. Bank Mandiri, BNI, PT Telkom dan sejumlah BUMN kekaryaan menjadi besar dan profesional setelah go public. Sedangkan Merpati dan Djakarta Lloyd karam meski disuntik tambahan uang negara.
Sementara di Asia kita menyaksikan China Petrochemical Corp, China National Petroleum Corp menduduki posisi teratas dalam urutan Fortune 500 dengan pendapatan masing-masing 2,88 triliun yuan dan 2,26 triliun yuan pada 2013. Demikian juga China State Construction Engineering Corp.
Fortune mencatat 29 financial institutions melaporkan profit sebesar 1,27 triliun yuan, atau lebih dari separuh total profit ke 500 perusahaan yang disurvei. The \”Big Four\” bank BUMN nya juga mencatat kemajuan penting. Industrial and Commercial Bank of China Ltd (ICBC) meraih keuntungan 262,6 miliar yuan pada tahun 2013.
Demikian juga kita mendengar kedigdayaan Khazanah (Malaysia), Petronas, Temasek (Singapura), KNOC ( Korea Selatan), PTT (Thailand), Aramco (Saudi) dan sererusnya. Semuanya berkibar di Asia. Maka cara pandang dunia terhadap BUMN pun berubah. Catatan-catatan baru para ilmuwan terhadap BUMN pun menemui pintu baru, sementara sejumlah orang masih menggunakan cara berpikir lama.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan