Rigiditas – Koran Sindo

Kita yang membaca berita ini tentu gemas. Menjelang pertengahan Desember 2014, Provinsi DKI Jakarta mendapat lima bus tingkat dari seorang pengusaha. Busnya bagus, buatan perusahaan automotif asal Jerman.

Rencananya bus itu bakal digunakan sebagai angkutan gratis. Anda tahu bukan, sejak 17 Januari 2015 berlaku larangan bagi pengendara sepeda motor untuk melintas mulai Bundaran Hotel Indonesia (HI) sampai Jalan Medan Merdeka Barat. Pengendara yang melintas akan kena tilang. Peraturan itu menuai pro dan kontra. Mereka yang kontra jelas geram.

”Buat larangan memang mudah. Sekarang apa solusinya bagi para pengendara sepeda motor?” Di antaranya lima bus tingkat tadi. Kelak, berbarengan dengan lima bus tingkat lainnya yang sudah dioperasikan, bus tingkat itu akan hilir mudik sepanjang Bundaran HI hingga Medan Merdeka Barat. Pengendara sepeda motor dipersilakan naik bus tingkat tersebut. Gratis.

Tapi, apa yang terjadi? Lima bus sumbangan tadi tak bisa beroperasi lantaran tak sesuai dengan PP No 55/2012 tentang Kendaraan. Bus itu memakai kerangka yang lebih kecil, bukan kerangka bus tingkat. Akibatnya bus menjadi lebih ringan. Maklumlah, perusahaan pembuatnya kelas dunia yang mempunyai tradisi inovasi. Jadi selalu ada pembaruan yang didasarkan riset. Maka, kendaraan ini beratnya hanya 18 ton.

Padahal, sesuai PP tersebut, bus boleh beroperasi kalau beratnya 21- 24 ton. Kita sebagai masyarakat awam tentu bertanya-tanya. Bukankah kalau lebih ringan, usia pakai jalan-jalan di Jakarta bisa lebih lama. Lalu, bus gandeng Transjakarta buatan Tiongkok beratnya lebih dari itu, sekitar 31 ton. Mengapa Transjakarta boleh beroperasi?

Kacamata Kuda 

Bus tingkat tadi adalah satu dari sejumlah kasus yang menggambarkan betapa tingginya rigiditas birokrasi di negara kita. Tapi, sesungguhnya di banyak negara, birokrasi memang terkenal rigid. Saya melihat hal-hal semacam ini tidak dikomunikasikan secara jelas oleh para penegak hukum. Mungkin karena mereka merasa itu bukan urusan kejaksaan atau kepolisian.

Urusan mereka hanya sebatas bagaimana mengembalikan Labora ke penjara. Titik. Kalau cara pandang ala kacamata kuda seperti ini terus dipertahankan, saya khawatir upaya paksa kejaksaan dan kepolisian bakal terus menghadapi perlawanan dari masyarakat. Di dunia bisnis, kasus rigiditas juga berlimpah. Misalnya menyangkut ketenagakerjaan kita.

Para pengusaha menilai pasar tenaga kerja kita terkenal sangat rigid. Masih banyak tenaga kerja kita yang under qualified. Produktivitasnya rendah, banyak menuntut, dan sukanya bikin ribut sampai kampus-kampus yang dikuasai pembuat aturan yang lebih suka membuat lulusannya menjadi ribet dan kompleks ketimbang agile dan dinamis. Namun, coba Anda cek betapa sulitnya perusahaan kalau mau mem-PHK karyawan yang semacam itu.

Sudah harus menghadapi serikat pekerja, perusahaan masih harus berurusan dengan dinas-dinas ketenagakerjaan yang ada di kotanya. Selain itu, prosesnya juga memakan waktu yang sangat lama. Itu sebabnya, menurut survei Bank Dunia, biaya PHK di Indonesia termasuk yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara, bahkan di Asia Timur.

Di sini biaya yang saya maksud bukan hanya soal pesangon, melainkan juga biaya lain-lain yang mesti dikeluarkan untuk memenuhi prosedur PHK. Kondisi semacam ini pada gilirannya membuat kita kesulitan sendiri. Banyak investor enggan menanamkan modalnya. Bahkan, mereka yang sudah membuka usaha di sini pun ada yang memilih angkat kaki, memindahkan pabriknya ke luar Indonesia.

Kita semua sudah merasakan kesulitan ini. Lapangan kerja baru kian terbatas, dan anak-anak kita kesulitan mencari pekerjaan. Pengangguran terus meningkat, dan kriminalitas kian menjadi-jadi. Dampak negatifnya sudah kita rasakan. Tapi betapa sulitnya kita untuk mendobrak rigiditas di pasar tenaga kerja.

Comfort Zone

Jangan salah, rigiditas bukan hanya monopoli instansi pemerintah atau penegak hukum. Di BUMN atau perusahaan swasta, rigiditas pun terjadi. Saya mendengar langsung ceritanya. Ada sebuah BUMN yang ingin menerapkan solusi yang berbasis teknologi informasi (TI). Dialog pun terjadi antara vendor dan para penggunanya, yakni bagian-bagian yang ada di perusahaan tersebut.

Masing-masing menganggap perlu memiliki aplikasi yang khusus untuk mereka, karena merasa bagiannya berbeda dengan bagian yang lain. Celakanya, sang vendor tak punya keberanian untuk menolak beragam permintaan tersebut. Alhasil, setiap bagian memiliki sistem TI yang berbeda-beda. Data dari bagian pengadaan tak bisa langsung dipakai oleh bagian distribusi.

Data bagian sales & marketing tak bisa langsung dipakai oleh bagian keuangan. Sinkronisasi data menjadi pekerjaan yang melelahkan. Setiap rapat soal ini isinya pertengkaran. Masing-masing merasa bagiannya lebih penting ketimbang bagian yang lain. Mereka lalu tidak saling bicara. Dan, terciptalah silo-silo tadi. Apakah rigiditas di swasta hanya terjadi karena silo antarunit? Ternyata juga tidak.

Sikap mental passenger yang hanya menunggu dan tak mau susah banyak ditemui di semua lini. Kita makin banyak menemui orang yang harus selalu diingatkan, diperintah, diawasi, ditagih, bahkan diberi peringatan kendati pakaiannya selama bekerja mirip eksekutif hebat dan pendidikannya tinggi. Kata seorang CEO, ilmu kebatinan banyak dipakai: banyak masalah hanya disimpan di dalam batin karena mereka tak mau susah.

Rigiditas semacam ini punya dampak yang sangat serius. Kinerja babak belur. Negara menjadi tidak bisa melayani dengan baik, kesejahteraan bangsa tidak meningkat. Perusahaan merugi, bahkan terancam ditutup. Beruntung kalau pemimpin berani melakukan mutasi dan menunjuk pejabat baru.

Oleh pejabat atau CEO baru itu, silo-silo tadi dibongkar habis. Setiap bagian dipaksa untuk berbicara dengan bagian lainnya. Upaya mendobrak rigiditas semacam ini memakan waktu yang tidak sedikit. Berbulan-bulan, namun hasilnya kelihatan. Kerugian terus berkurang, bahkan akhirnya perusahaan mulai membukukan keuntungan.

Baiklah, kita sudah punya sejumlah kasus soal rigiditas yang punya dampak negatif. Saya ingin memberi catatan akhir. Sejatinya rigiditas hanya selangkah sebelum kita masuk dalam perangkap comfort zone . Dan, hidup kita akan berakhir begitu kita masuk perangkap tersebut. Maka saya setuju dengan kata Neale Donald Walsch, penulis buku Conversations with God , ”Life begins at the end of your comfort zone. ”

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *