Melewati sejarah panjang dan bukti-bukti baru bahwa BUMN di Timur mampu mengubah ekonomi suatu bangsa, saya kira sangat mendasari logika berpikir Jokowi. Sepulang dari kunjungan di Tiongkok, saya mendengar gagasan-gagasan PMN tumbuh dikalangan anggota kabinet.
Kita semua tahu, pertumbuhan ekonomi Tiongkok tidak lepas dari peran BUMN. Sementara di Indonesia, sejak pemerintahan Orde Baru, semua kekuatan pembangunan praktis diserahkan pada APBN melalui jalur negara, akibatnya memang amat berbeda.
Yang satu berubah menjadi modal yang terus berkembang melalui akumulasi aset, dan yang satunya habis dipakai belanja dalam satu tahun. Dan semakin ke sini semakin besar porsinya untuk belanja pegawai pemerintah dan subsidi BBM.
Bila anggaran itu diserahkan melalui APBN, maka swasta dan BUMN dapat sama–sama memperebutkannya melalui tender terbuka. Bahkan asingpun bisa ikut berebut. Selain memunculkan biaya transaksi yang tinggi, kita tahu proyek–proyek pemerintah masih sulit lepas dari praktik–praktik KKN, kualitasnya jauh dari standar, dan memakan waktu yang amat panjang.
Lantas apakah hal itu tak akan terjadi dalam BUMN? Tentu saja tidak 100 persen dapat dijamin, namun manajemen modern telah memberikan alat-alat baru yang terbukti lebih mudah diterapkan di perusahaan ketimbang dalam birokrasi.
Maka akan menjadi lain bila anggaran itu langsung dikelola oleh BUMN – BUMN yang kondisinya telah sehat dan go public. Selain dikelola secara transparan dan akuntabel, BUMN ini pun dapat melakukan leverage dengan melakukan right issue.
Patut disimak, bagaimana logika berikut ini amat bertentangan di kalangan para politisi. Politisi menyatakan, “Kalau semua diberikan pada BUMN, Swasta akan dapat apa?” Benar, kalau kue pembagian itu begitu kecil sehingga swasta sulit berkembang.
Masalahnya, untuk memacu pertumbuhan ekonomi 7 persen dalam jangka 5 tahun, Indonesia memerlukan ruang fiskal yang amat besar. Dan pertumbuhan itu memerlukan dukungan dari sektor–sektor penting seperti infrastruktur, transportasi dan energi.
Sebut saja, program pembangunan pembangkit listrik sebesar 35.000 MW dalam 5 tahun, PLN memerlukan investasi sebesar Rp 600 triliun, di mana 60 persen di antaranya berasal dari partisipasi swasta
Kalau nilai Rp 600 triliun itu dibagi 5 tahun, maka dalam setahun Indonesia butuh investasi pembangkit listrik saja sebesar Rp 120 triliun. Sementara PMN tahun ini hanya mengalokasikan dana sebesar Rp 5 triliun untuk PLN.
Darimana PLN membiayai pembangunan sebesar Rp 120 triliun dalam tahun ini? Jawabnya, swasta dapat berpartisipasi melalui sektor perbankan.
Tetapi politisi membatalkan usulan PMN untuk Bank Mandiri sebesar Rp 5,6 triliun. Padahal daya ungkit permodalan melalui sektor perbankan ini akan mempunyai dampak yang besar yang justru bisa melibatkan partisipasi swasta.
Dengan kondisi sekarang, praktis tak ada bank-bank nasional domestik yang mampu menyediakan kredit sebesar Rp120 triliun untuk membiayai kebutuhan PLN saja. Bila semua bank BUMN bergabung sekalipun, kemampuannya dijamin belum cukup. Kalah dengan DBS atau UOB.
Sekarang kita hitung daya ungkitnya.
Pertama, kalau mendapatkan PMN, bank ini bisa melakukan right issue sebesar ± Rp 9 triliun.
Kedua, dengan ketentuan CAR (Capital Adequacy Ratio) sebesar 8 persen, berarti kemampuan memberi kredit bank ini akan meningkat sekitar 12 kali, yakni menjadi sekitar Rp 108 triliun.
Nilai sebesar itu tentu baik untuk mendorong keterlibatan swasta dalam pembangunan infrastruktur dan pembangkit – pembangkit tenaga listrik. Itu sebabnya, jauh sebelum terbentuknya MEA, bank – bank pemerintah di Singapura, Malaysia dan Thailand telah melakukan konsolidasi dan diperkuat permodalannya oleh pemerintah.
Jadi sekarang paham kan mengapa rekan-rekan saya dari seberang senang melihat keputusan para politisi kita untuk tidak cepat-cepat memperkuat perbankan nasional?
Selamat berpikir.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan