Ujian Nasional – Jawa Pos

Minggu kemarin anak-anak sekolah menengah pertama menyelesaikan ujian nasional (unas). Saya ucapkan selamat, semoga anak-anak Anda sehat dan bahagia. Sayangnya, dari zaman saya sekolah hingga kini, ujian nasional selalu membuat kita tegang.

Maksud hati membuat siswa enteng, tapi yang terjadi justru khawatir berlebihan. Selalu saja ada berita jual-beli jawaban, bocoran soal, sampai siswa yang bunuh diri. Padahal, ujian ya harus dilewati, itu masalah biasa dalam hidup. Dan bunuh diri karena takut ujian selalu ada di mana-mana. Ya di sini, ya di luar negeri.

Kita sedih mendengar berita Leony Alvionita, 14, siswi SMP Negeri 1 Tabanan, Bali, yang menggantung diri setelah mengikuti unas matematika. Di University of Auckland, New Zealand, November 2012 seorang mahasiswa melompat dari lantai 6 dan tewas karena gagal mendapat nilai A+.

Di dekat apartemen saya di Urbana-Illinois (1996) seorang pria Korea menggantung diri karena gagal ujian program doktor. Hidup mereka berakhir di garis ujian sekolah. Ibarat telur, sekali jatuh langsung pecah.

Tetapi, di luar negeri respons yang diambil bukan mengeksploitasi ketakutan itu, melainkan menyediakan lebih banyak konselor dan suasana agar sekolah menjadi lebih menyenangkan. Siswa tak boleh takut menerima kegagalan. Soal ujian yang berat, mereka tak pernah menguranginya.

Demikian pula kegagalan, itu justru dijadikan alat pembentukan karakter. Sebab, tanpa kemampuan menghadapi kegagalan, suatu bangsa tak akan menjadi sosok yang tegar. Gagal sesaat itu biasa, selalu ada jalan keluarnya. Ibarat bola tenis, hidup ini butuh kemembalan.

Respons guru juga bisa membuat tambah tegang. Ada yang melakukan doa dan zikir bersama disertai isak tangis penuh haru. Bagi saya, doa itu baik-baik saja. Hanya, saya sedikit terusik dengan eksploitasi ketakutan yang berlebihan, seperti ritual mencium kaki ibunda.

Banyak siswa yang saya temui mengungkapkan kesan unas adalah akhir hidup mereka sehingga bukan belajar lebih keras, tetapi diminta memperbaiki relasi sosialnya dengan orang tua justru di saat harus menghadapi kompetisi dengan guru-guru yang, maaf, mungkin belum mempersiapkan siswanya sesuai standar nasional.

Dan, kondisi seperti ini rasanya belum ditangani secara benar. Doa, zikir, dan berbagai ritual lainnya hanya digelar sebelum unas. Sesudahnya?

Bagaimana yang tidak lulus? Memang jumlahnya tidak banyak. Meski begitu, kita kurang menaruh perhatian untuk mereka. Mereka itulah yang membutuhkan empati dan dukungan, bukan dibodoh-bodohkan. Sebab, kalau mereka bisa mengatasi kesulitan ini, seperti kata Steve Jobs, ”What doesn’t kill me, makes me awesome instead.”

Unas, Ajang Pesta

Saya ingin mengajak Anda menoleh sejenak bagaimana atlet-atlet kelas dunia menjalani ujian. Sikap mereka kurang lebih begini. Saat berlatih, mereka habis-habisan. Memeras keringat, merancang teknik dan strategi, dengan penuh disiplin dan kesadaran, tanpa harus diminta atau dipaksa pelatihnya. Intinya, saat berlatih, mereka menempa diri untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Baik fisik maupun mental.

Saat bertanding, mereka menjadikan ajang itu sebuah ”pesta” untuk unjuk kemampuan. Mereka mengeluarkan semua kemampuan terbaiknya, bertanding habis-habisan menjunjung sportivitas. Soal menang-kalah, soal hasil, urusan belakangan. Bagi mereka, kalau sudah mengeluarkan semua kemampuan terbaiknya, meski kalah, sesungguhnya sudah menjadi pemenang.

Situasi inilah yang kurang muncul dalam dunia pendidikan kita, termasuk saat unas. Proses tidak penting. Hasil lebih utama. Maka, tak heran kalau menjelang unas, banyak beredar berita negatif dan saling menyalahkan.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *