Manajemen Lame Duck – Sindo

Fenomena lame duck government biasa terjadi pascapemilu. Ini lazim terjadi di berbagai negara demokratis yang pemerintahnya merasa mulai kehilangan power, baik karena popularitasnya atau menjelang peralihan kekuasaan.

Di Amerika Serikat (AS), misalnya, fenomena ini dulu terjadi setelah pemilu (bulan November) hingga pelantikan presiden yang membutuhkan waktu sekitar lima bulan. Karena waktunya lama, wajar bila para negarawan terpanggil mencari jalan keluar. Namun, saya tidak menyangka di negara kita, fenomena tersebut datang begitu cepat. Bahkan majalah berpengaruh The Economist (25 Februari 2012) mencatat gejala ini mulai mengirim sinyalnya di sini sejak akhir 2012 ketika pemerintah dilanda beberapa skandal korupsi para elite partai politiknya.

Namun gejala yang lebih jelas terjadi hari-hari ini setelah Pemilu Legislatif (Pileg) 2014. Meski bagi sebagian politisi fenomena ini sangat wajar, bagi ekonom dan dunia usaha, bila hal itu dibiarkan bisa berakibat buruk bagi perekonomian karena menciptakan kondisi uncertainty. Maka, kita perlu mendorong Mahkamah Konstitusi (MK), Presiden, dan parlemen untuk mengenal dan mengelola fenomena ini. Minimal memperpendek durasinya dan menciptakan mekanisme manajemen peralihan yang produktif.

Berawal dari Surat Edaran 

Semula, bayangan saya, fenomena itu baru terjadi pasca-Pilpres 9 Juli 2014. Itulah awal presiden incumbent memahami siapa penggantinya. Namun, ternyata, seusai Pileg 9 April 2014, gejala-gejala terjadinya lame duck government di sini mulai muncul. Kita bisa membaca hal itu dari keluarnya surat edaran bernomor SE- 05/Seskab/IV/2014 yang disampaikan Sekretaris Kabinet Dipo Alam pada Rabu, 23 April 2014.

Surat itu dikeluarkan sesuai dengan arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan ditujukan kepada para menteri di jajaran Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, serta kepala lembaga pemerintahan nonkementerian. Ada tiga isi pokok dari surat edaran tersebut. Pertama, larangan untuk membuat kebijakan yang berpotensi menimbulkan kontroversi, keresahan di masyarakat atau politik.

Kedua, para menteri dan pejabat lembaga nonkementerian tidak boleh mengambil kebijakan, keputusan atau program yang memiliki implikasi luas, yang berpotensi mengganggu pemilihan presiden. Larangan ini berlaku sampai akhir masa jabatan pemerintahan.

Ketiga, untuk kebijakan yang sudah telanjur diambil dan berpotensi menimbulkan perbedaan pandangan di masyarakat, para menteri dan pimpinan lembaga nonkementerian diminta menjelaskan ke masyarakat agar perbedaan pandangan tidak berkembang meluas sehingga mengganggu stabilitas sosial, ekonomi, politik, dan keamanan.

Praktis dengan tiga larangan tadi,sulit bagi kementerian dan lembaga-lembaga nonkementerian mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bersifat strategis. Ini tentu meresahkan bagi dunia usaha, sebab kita tahu masa jabatan pemerintahan sekarang baru akan berakhir setelah terbentuknya pemerintahan baru dan itu secepat-cepatnya Oktober 2014, yakni setelah presiden dan wakil presiden terpilih secara resmi melantik kabinetnya dan melakukan serah terima jabatan.

Jika dihitung sejak surat edaran tersebut keluar, praktis selama sekitar tujuh bulan ke depan kinerja pemerintahan kita tidak akan optimal. Periode pemerintahan seperti inilah yang biasa disebut sebagai pemerintahan bebek lumpuh atau lame duck government.

Pengalaman Negara Lain 

Sebetulnya ungkapan lame duck atau bebek lumpuh pertama kali muncul di Bursa Efek London pada abad ke-18. Istilah lame duck dipakai untuk menyebut pialang saham yang gagal melunasi utang-utangnya. Pada tahun 1761, Horace Walpole, putra bungsu Perdana Menteri Inggris pertama, menulis surat kepada Sir Horace Mann.

Isinya, “Anda tahu apa itu bull dan bear dan lame duck?” Istilah bull biasanya merujuk pada kinerja pasar saham yang sedang bullish (naik), sementara bear sebaliknya, yakni bearish atau menurun. Ketika itu lame duck adalah istilah baru. Pada 1791 Mary Berry melaporkan bahwa Duchess Devonshire merugi 50.000 poundsterling dalam perdagangan saham. Namanya kemudian menjadi bahan perbincangan seisi kota. Sang Duchess disebut-sebut sebagai bebek lumpuh.

Secara harfiah, ungkapan ini mengacu pada bebek yang tidak mampu bersaing sehingga bisa menjadi mangsa empuk para predator. Dari dunia pasar modal, istilah lame duck kemudian bergeser ke ranah politik. Pada 14 Januari 1863, sebuah dokumen resmi Kongres Amerika Serikat mencatat perilaku lame duck sebagai kegagalan politik yang tidak dapat diterima. Itu sebabnya, di Amerika Serikat transisi yang berakibat lame duck government diperpendek menjadi 75 hari atau sekitar 2,5 bulan.

Amerika Serikat pernah mengalami masa terburuk pada tahun 1860–1861, saat terjadi transisi pemerintahan dari Presiden James Buchanan ke Abraham Lincoln. Harap maklum, pada masa itulah orang melihat kekuatan bawah untuk melawan pemerintah pusat yang tengah lumpuh. Presiden Buchanan berpendapat, negara-negara bagian tidak berhak memisahkan diri.

Tapi, beberapa negara bagian berontak karena mengerti bahwa ilegal bagi pemerintah federal mengirimkan tentara untuk menghentikan aksi-aksi separatis. Dampaknya, selama 6 November 1860 sampai 4 Maret 1861, tujuh negara bagian melawan untuk memisahkan diri. Lalu, konflik pun meletus yang mengarah pada perang saudara antarnegara di bagian utara dan selatan.

Masih Banyak PR 

Kita tentu tak ingin peristiwa yang terjadi di Amerika Serikat terjadi di sini. Namun, adanya surat edaran yang berpotensi menciptakan lame duck government, menurut saya, cukup mencemaskan bagi perekonomian dan mungkin juga bagi institusi publik yang butuh kejelasan. Apalagi ada sejumlah menteri dari kalangan partai politik.

Adanya surat edaran tersebut memberikan keleluasaan bagi menteri-menteri untuk memberikan lebih banyak perhatian pada Pilpres 2014. Padahal, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan. Masih banyak keputusan strategis yang harus diambil. Misalnya, di depan mata pada tahun depan kita bakal menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN, termasuk kebijakan ASEAN Open Sky.

Untuk mengantisipasi era tersebut, saya menilai, masih banyak kebijakan yang perlu disinkronisasi. Kebijakan-kebijakan di Kementerian Perdagangan, misalnya, belum sepenuhnya sejalan dengan kebijakan di Kementerian Pertanian dan Perindustrian. Demikian pula dibekukannya anggaran program TVRI melalui tangan parlemen kepada Kementerian Keuangan yang sudah berlangsung sejak akhir tahun lalu.

Kita juga harus menyelesaikan program hilirisasi di industri mineral yang sampai sekarang masih terus menghadapi penolakan, terutama dari perusahaan-perusahaan pertambangan multinasional. Lalu, masih ada masalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang sudah melampaui pagu APBN 2014 sehingga bukan tidak mungkin harus direvisi.

Masih ada sejumlah kontrak kerjasama migas yang akan habis masa berlakunya dan membutuhkan kepastian hukum dari pemerintah, apakah akan diperpanjang atau tidak, seperti Blok Mahakam, Blok East Natuna, Blok Masela.

Investasi migas adalah investasi bernilai miliaran dolar AS. Ini harus segera diputuskan. Saya kira, pemerintah kita masih harus merespons banyak isu dan mengambil banyak keputusan—sesuatu yang sulit selama periode lame duck government. Bagi saya, sikap untuk tidak mengambil keputusan juga sebuah keputusan.

Hanya, itu keputusan yang buruk dan di situlah peranan seorang negarawan memasuki masa ujian: dia bertindak atau sekadar bicara, dia biarkan berlarut-larut dengan membawa panjang urusan keributan politik atau memperpendek ketidakpastian dengan me-manage lame duck government menjadi a bullish government.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *