Menjelang acara 1000 Cangkul dan Buku untuk Pulau Buru, 21 Januari 2012, Pendeta Joseph Rhetob dan Anthoni Besan yang mewakili masyarakat Pulau Buru berkunjung ke Rumah Perubahan dan sempat berbincang panjang lebar mengenai kondisi di sana. Simak wawancaranya berikut ini.
Banyak orang belum tahu seperti apa Pulau Buru….
Anthoni: Buru itu pulau yang paling kaya. Di tempat kami terhampar luas sawah dan perkebunan. Pohon minyak kayu putih sudah bisa bisa tumbuh subur tanpa perlu dibudayakan. Walaupun setiap tahun terbakar, secara alami bisa tumbuh kembali. Kayu putih boleh dibilang sebagai ciri khas Pulau Buru. Sumber daya yang lain seperti cokelat, cengkeh, dan kayu manis juga ada. Kami mengerti bahwa kami kaya, tetapi sebagian dari kami tidak mengerti bagaimana cara mengolahnya dengan baik karena tidak ada pembinaan, penyuluhan, juga pendampingan yang baik. Dengan program dari Rumah Perubahan ini, saya yakin kekayaan alam di Pulau Buru dapat tergali maksimal.
Selama ini digarapnya seperti apa?
Anthoni: Begini, di sana ada masyarakat asli dan masyarakat transmigrasi. Masyarakat transmigrasi memiliki keterampilan lebih dari masyarakat asli sehingga mereka mampu mengolah sumber daya yang ada. Pak SBY bahkan pernah mencanangkan Pulau Buru menjadi lumbung padi Indonesia. Saya beri contoh: ketika ombak naik, harga beras di Ambon bisa naik karena pasokan beras dari Buru terhenti.
Pdt. Joseph: Kalau ditanya di mana pasar Ambon? Maka jawabannya adalah di Pulau Buru. Buah-buahan, sayuran, dan beras berasal dari Buru.
Anthoni: Ya, jadi sangat luar biasa. Masyarakat asli Buru punya pola bercocok tanam yang masih sederhana. Walau perhatian pemerintah pada kami sudah luar biasa. Tetapi masyarakat kami belum bisa berpikir dengan baik. Jadi, ketika diberikan kegiatan dan tidak dipantau, masyarakat asli belum bisa berhasil melakukannya. Sementara itu, jika pemerintah memberikan bibit pada masyarakat transmigrasi, mereka berhasil menumbuhkannya. Keterbatasan inilah yang membuat kami tertinggal. Karenanya jika ada program-program pendampingan saya yakin ini bisa membuat kami maju. Misalnya, Mas Eka menyarankan agar masyarakat menyimpan dua buah ketel di setiap rumah agar efisien dan efektif. Tetapi masyarakat tidak mau melakukannya, karena tidak tahu bagaimana efisien dan efektif itu. Mereka membutuhkan bimbingan dan pembinaan.
Pdt. Joseph: Program ini lahir sungguh-sungguh dari keprihatinan. Hal yang lahir dari keprihatian akan dilakukan dengan kesungguhan dan bukan karena uang. Karena dari kesungguhan tersebut, orang akan mau berkorban. Program ini bukan bertujuan untuk mencari kekayaan, tetapi lebih mencari pondasi dasar agar masyarakat bisa bergotong-royong, berdisiplin, dan memahami kebersamaan.
Bagaimana dengan potensi laut?
Pdt. Joseph: Di Buru bagian barat banyak nelayan mengambil tuna. Banyak yang diekspor keluar negeri. Dan itu vara baik. Tetapi kalau bicara proyek, maka tujuannya adalah mendapatkan untung. Kebanyakan hasilnya adalah bagi-bagi proyek dan bagi-bagi uang, termasuk bagaimana menghabiskan uang yang ada. Tetapi kegiatannya bagaimana? Saya yakin tidak akan jalan. Tetapi jika tujuannya adalah kebersamaan, seperti usaha bersama, maka tujuannya adalah pendidikan nilai untuk membangun sikap orang dan karakter manusia, bukan bicara komisi. Lain dengan proyek. Lihat saja proyek-proyek yang ada, macet semua. Karena orang tidak memikirkan bagaimana membangun sikap dan karakter masyarakat. Karenanya kita, saya dan Pak Rhenald sepakat mengadakan kegiatan ini untuk membangun karakter masyarakat bukan untuk mencari komisi.
Apakah masih ada gedung-gedung penjara bekas Tapol?
Anthoni: Sudah tidak ada. Namun, ada peninggalan tapol di Pulau Buru yang tak terlupakan: merekalah yang merintis kehidupan di sana. Awal keberadaan mereka di sana adalah untuk membuka hutan di Pulau Buru.
Pdt. Joseph: Mereka adalah peletak dasar. Para tapol yang dipekerjakan secara paksa untuk membuat irigasi, rumah, dan lainnya. Mereka dipaksa bekerja dengan cara dipukul, disiksa, dan lainnya. Disiksa luar bisa seperti binatang. Tetapi darah mereka, keringat mereka, membuat Pulau Buru berkembang dan bisa menjadi lumbung padi. Karena irigasi pertanian dan yang lainnya dibangun oleh mereka.
Kegiatan apa saja yang sekarang sedang dilaksanakan di Pulau Buru terkait dengan program AKSI?
Anthoni : Bersama AKSI kami merintis banyak usaha. Yang sekarang sudah dibuat di sana adalah peternakan, penyulingan minyak kayu putih, dan pertanian. Sementara ini, itulah kegiatan yang sudah masuk ke dalam program.
Pdt. Joseph: Sebenarnya saudara-saudara kita yang dipelosok agak sulit beraktivitas. Misalnya dalam hal pendidikan. Mereka tinggal di gunung yang jauh, banyak yang tinggal di ketel atau tempat penyulingan kayu putih bersama orang tua mereka. Nah, kapan mereka sekolah? Padahal yang mengantar orang untuk bisa merdeka adalah pendidikan. Kalau pendidikan tidak diperhatikan, kapan mereka bisa maju? Dalam konteks ini gereja punya misi pendidikan. Bukan atas nama agama, tetapi pendidikan sebagai sarana agar masyarakat adat dapat berjalan ke arah yang lebih baik. Gereja tidak berbicara mengenai agama–Islam, Hindu, Kristen, Katolik, Budha–tetapi berbicara atas azas kemanusiaan. Dengan azas kemanusiaan ini pendidikan menggugurkan sekat-sekat pembatas, baik etnis maupun agama. Jadi, gereja berdiri di atas kemanusiaan. Gereja mendorong, mempelopori, dan mendesak supaya anak-anak adat di Buru mendapatkan fasilitas untuk bergerak maju membangun kehidupan. Kendati sekolah sudah ada, gedung sudah ada, tetapi sarana pendukungnya belum ada. Padahal, semua itu juga dibutuhkan, misalnya asrama supaya kita bisa menampung anak dari berbagai kampung. Apa yang kita buat di asrama? Minimal kita mengajarkan baca tulis. Dan, orang dewasa yang berada di asrama bertindak sebagai guru dan pendamping. Selain itu juga ditanamkan nilai kedisiplinan. Dengan demikian mereka menghargai waktu.
Siswanya dari usia berapa tahun?
Pdt. Joseph: Dari usia SMP, kita menanamkan nilai-nilai sejak dini. Diharapkan ini menjadi modal bagi mereka, tidak hanya kepintaran tetapi juga membangun kemanusiaan mereka. Jadi, bukan hanya diajarkan ilmu dan disiplin, tetapi juga bagaimana hidup dengan orang yang berbeda kampung. Bagaimana kita bisa membangun kebersamaan di tengah perbedaan tersebut. Kelebihan dan kekurangan perlu saling dipahami. Masing-masing menyumbangkan kelebihan untuk membangun daerah lain, untuk membuatnya lebih baik bukan untuk dirusak. Anak-anak di sana melihat konflik yang ada. Kami berusaha mengajarkan kepada mereka bahwa konflik itu tidak baik. Sebuah kehidupan bersama di tengah perbedaan bisa menjadi sumbangan bagi bangsa. Jadi, tolak konflik dan peperangan dan kekerasan itu. Inilah peran asrama, yang diupayakan untuk membina anak-anak dari berbagai kampung dengan berbagai keterbatasan yang ada.
Lalu, kendala apa yang dihadapi? Apakah ada dari siswa yang dilarang orang tuanya untuk tinggal di asrama?
Pdt. Joseph: tidak, tidak ada yang dilarang. Kendalanya disana adalah fasilitas. Tinggal di asrama, tapi sebenarnya itu bukan asrama. Itu adalah bekas gedung sekolah yang difungsikan untuk asrama. Karena kerusuhan, sekolah itu ditutup kemudian dijadikan asrama untuk menampung anak-anak. Saya berpikir gereja harus menjadi agen perubahan.
Di sini saya lihat anak-anak kecil sudah lancar menggunakan komputer, kasihan adik-adik di sana belum pernah melihat komputer. Mungkin kalau kardusnya saja mereka sudah pernah liat. Saya melihat perbedaan yang terlalu besar. Disini anak-anak SD lancar berkirim e-mail. Tetapi di sana, mereka hanya mendengar nama komputer tetapi tidak pernah melihatnya. Padahal mereka sudah duduk di bangku SMA. Mereka hanya bisa lihat komputer di tempat kepala sekolah. Ada anak yang tinggal dengan saya pernah bertanya, “Pastur, kapan saya bisa melihat komputer?” Beberapa waktu lalu saya sudah beli dua unit. Nanti mereka bisa pakai untuk latihan, sehingga perbedaan ini bisa diperpendek. Minimal, komputer untuk mereka pegang-pegang dulu.
Bagaimana semangat belajar mereka?
Pdt. Joseph: Oh sangat tinggi, karena saya tuntut demikian. Saya bilang, “Kalau mereka dapat nilai bagus, nanti Pastur akan ajak jalan ke Ambon.Dan, tidak perlu memikirkan masalah uang.” Biasanya juga saya akan berikan mereka sepatu. Tidak bagus, tetapi bisa mereka pakai. Dan, saya tahu ketika saya keluar atau tidak ada di sana, mereka pasti akan tetap belajar, karena mereka sudah ditanamkan untuk disiplin belajar.
Sudah berapa tahun mereka di asrama?
Pdt. Joseph: Mereka sudah bersama saya sejak 2009. Mereka memberikan untuk uang asrama Rp 10.000 setiap bulannya. Sangat murah. Dan, sebenarnya pusing kita memikirkan bagaimana bisa menghidupi anak-anak di asrama dengan Rp 10.000. Lalu kita kumpulkan orang tua dan bicara apakah cukup biaya hidup sebulan dengan Rp 10.000 tersebut. Mereka akhirnya menjawab sendiri. Ada yang bisa bayar Rp 35.000 per bulan. Saya bilang, “Okelah, semampunya saja.” Tapi uang itu dipegang oleh anak-anak, karena saya ingin menanamkan kejujuran pada mereka. Jadi, mereka belanja sendiri dan berikan laporannya kepada saya. Walau belum sempurna, tetapi hal ini bagus untuk mulai mengajarkan keterbukaan dan kejujuran sejak dini.
Selain belajar apakah ada kegiatan lain yang diselenggarakan asrama?
Pdt. Joseph: Jadi kalau pagi mereka pergi sekolah di dekat asrama. Kalau sore, kita belajar bernyanyi dengan suara yang berbeda-beda, hahaha…. Selain itu juga belajar bertanam. Kami ingin mengajarkan bahwa hijau itu bagus, artinya kita harus menjaga lingkungan.
Pengajarnya dari mana?
Pdt. Joseph: Dari teman-teman. Jadi jika ada anak-anak ingin belajar tambahan seperti tugas rumah, kita ajarkan. Kadang juga saya control tugas mereka, saya tanyakan apa ada tugas, atau tidak. Lalu kita lihat bersama. Kita coba mereka berlatih sepulang sekolah, seperti menggambar, bahasa inggris dan lainnya. Tapi untuk matematika, kita tangan pendek, karena matematika IPA agak sulit, jadi kita biasanya meminta bantuan dari orang lain.
Awalnya, bagaimana asrama itu dibangun?
Pdt. Joseph: Ketika kerusuhan di Ambon tahun 1999 memporak-porandakan semua dan berimbas sampai ke Pulau Buru. Termasuk juga sekolah. Sekolah ini lantas berhenti. Lalu kami ini mendengar teriakan anak-anak ingin sekolah. Itu terjadi sekitar tahun 2003. Sekolah yang masih aktif terlalu jauh untuk dijangkau. Karenanya ada bangunan yang sudah tidak terpakai, lalu kami tambahkan sekat-sekat untuk asrama.
Lalu, bagaimana dengan adat yang mengharuskan menikah sejak dini?
Anthoni: Memang benar, dulu ada adat seperti itu. Di sana sudah biasa menikahkan anak yang masih sangat muda. Kadang ada yang dari kecil sudah dijodohkan. Sehingga mau tidak mau ya pemikiran mereka hanya seputar itu. Jangankan berpikir bahwa anak kecil harus sekolah, mereka berpikir bahwa banyak anak lebih baik. Namun, keadaan sekarang sudah bergeser. Mereka sudah mulai mengerti, apalagi ketika anaknya tamat sekolah dan mendapatkan pekerjaan yang baik, misalnya menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Hal ini memicu masyarakat untuk berpikir bahwa dengan bersekolah kehidupan mereka akan menjadi lebih baik. Dari situ sekarang ini sudah meningkat kesadaran orang tua. Mereka berlomba-lomba menyekolahkan, bahkan menguliahkan anak mereka. Kabupaten kami ini baru mekar, jadi semuanya butuh proses. Salah satunya adalah penambahan jumlah sekolah.
Pdt. Joseph: Benar bahwa dulu orang-orang menikah sejak dini. Namun sekarang, dengan berbagai pertimbangan masa depan dan kesehatan, mereka mulai mengerti dan mengarah ke pendidikan. Anak-anak Buru asli, khususnya yang berada di wilayah dataran (kota) sudah mulai menyekolahkan anak-anak. Ada juga yang sudah sekolah di luar Ambon. Jadi, adat pernikahan dini sekarang sudah mulai ditinggalkan. Selain itu anak-anak juga termotivasi sendiri untuk sekolah ketika melihat anak-anak lain sekolah memakai seragam. Roknya merah, biru, atau abu-abu. Mereka ingin memakai seragam bagus sehingga muncullah pikiran untuk tidak mau menikah muda.
Apa yang akan Bapak sampaikan kepada masyarakat luas?
Pdt. Joseph: Pertama-tama kita harus melihat Maluku yang tergores, terluka akibat persoalan kerusuhan SARA ini. Kita tidak perlu melihat salah siapa. Tetapi hal ini terjadi terus menerus dan berimbas terhadap kami di Namlea, Pulau Buru. Kami tidak tenang melakukan usaha. Kaum gereja pindah ke gunung, membawa sembako dan sekolah di sana. Padahal, kaum muslimnya meminta saya untuk tetap tinggal. Nah, usaha bersama ini diharapkan bisa menjadi kegiatan sosial. Awalnya adalah pertemuan dengan pak Rhenald. Beliau bertanya apa yang bisa dibantu. Lalu saya jelaskan bahwa Pak Rhenald harus melihat keadaan di sini, ada pertanian dan peternakan. Bagaimana kami bisa dibantu? Bantulah kami agar bisa bergandengan dengan berbagai agama dalam berkegiatan di sini. Usaha bersama ini menjadi kegiatan sentral yang bisa membantu kami hidup bersama tanpa memikirkan konfilk dan perbedaan, juga mengajarkan orang bahwa dalam perbedaan ini kita bisa membangun kebersamaan. Jadi, energi kita tidak habis untuk mengurus perbedaan-perbedaan dan bisa digunakan untuk membangun bangsa.
Apakah perbedaan tersebut masih terasa kental saat ini?
Pdt. Joseph: Ya masih, karena Ambon merupakan sentral dan berimbas ke pulau sekitarnya. Karena itu saya ingin kita menghimpun energi yang ada untuk membangun bangsa. Nah, saya mengajak kaum muda, imam masjid, tokoh agama bersama bersepakat untuk menolak kerusuhan lagi. Kami butuh bantuan. Rumah Perubahan-lah yang memberikan kesempatan itu.
Anthoni: Intinya kita ingin usaha bersama ini bisa membangun kehidupan kita sehingga kekurangan penduduk asli di sana bisa teratasi. Kita membutuhkan kegiatan yang bisa membangun bersama. bagaimana orang yang ekonominya kurang mapan bisa menyekolahkan anak?
Pdt. Joseph: Apa yang mau kita capai dalam kegiatan ini bukan cuma menopang ekonomi kehidupan. Khasnya Indonesia adalah sistem gotong royong. Tetapi saat ini sudah semakin ditinggalkan, semakin individual. Nah, kegiatan ini ingin mengembalikan sikap gotong royong tersebut. Atap diambil, tetapi tidak dibeli. Kami sama-sama menganyam atap untuk seseorang. Tapi tidak menjualnya. Nah inilah sistem gotong royong, di mana orang meninggalkan kehidupan pribadi untuk kepentingan bersama. Supaya tidak lagi mementingkan dirinya sendiri. Lewat sistem gotong royong ini jati diri Indonesia tidak hilang. Karena inilah sikap dasar masyarakat Indonesia yang ingin kita capai. Selain itu juga semangat disiplin karena gotong royong berkegiatan bersama harus tepat waktu. Misalkan janjian, banyak orang yang permisif dan tidak menghargai waktu. Banyak petani yang santai dan tidak berpikir tentang waktu. Nah, lewat kegiatan ini, diharapkan sebuah komitmen tetang disiplin dapat dijalankan. Untuk apa? Bukan untuk disiplin saja, tetapi untuk mencapai target yang sudah disepakati bersama. Untuk mencapai hal ini dan itu yang buat secara bergotong royong, sebagai bagian dari jati diri bangsa ini.
Bagaimana peran pemerintah di sana?
Pdt. Joseph: pemerintah cukup banyak membangun sekolah di masyarakat-masyarakat adat. Tetapi bagaimana sekolah itu bisa berdiri dan berjalan, mereka bekerja sama dengan tokoh adat. Misalnya, pemerintah membutuhkan lahan, masyarakat adatlah yang menyediakannya. Jadi, masyarakat bersama pemerintah bekerja membangun sekolah. Kemudian, mereka bertanya bagaimana bisa menghimpun anak-anak dari gunung? Karenanya kami membangun asrama ini. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri sendiri dan membutuhkan bantuan masyarakat serta tokoh lokal supaya apa yang ingin dicapai dapat terwujud. Kesan saya pemerintah cukup memberikan perhatian pada masyarakat asli. Memang belum maksimal, tetapi usaha untuk ke arah itu sudah ada.
Bagaimana tanggapan pemerintah tentang kegiatan ini?
Pdt. Joseph: Pemerintah di sana belum mendengar hal ini. Jadi belum ada tanggapan dari mereka. Tetapi, pemerintah desa sudah tahu karena kegiatan ini diawali dari desa. Kepala desa ikut menandatangi kesepakatan untuk kegiatan ini.
Cangkul dan buku memang hanya simbol kepedulian kita untuk membuat masyarakat Pulau Buru mampu mengolah kekayaan alamnya untuk memajukan hidup mereka. Jangan pernah terpaku hanya pada kedua benda itu. Siapa pun-dan dengan cara apa pun-dapat bergabung bersama Rumah Perubahan ( info@rumahperubahan.com) untuk membantu masyarakat di sana.