Jika minggu lalu saya terlibat dalam Rembuk Rakyat di Kalimantan Timur, hari Rabu kemarin saya ada di tengah-tengah rembuk rakyat Jawa Timur bersama Joint Operating Body Pertamina Petrochina East Java (JOB-PPEJ).
Sekedar informasi, JOB-PPJV adalah perusahaan patungan antara Pertamina Hulu Energi (75%), dan Petrochina (25%). Ia mengelola ladang migas di kawasan Tuban, Bojonegoro, Gresik, dan Lamongan dengan 40 sumur migas. Kelak, gas ini akan dialokasikan untuk pasar domestik.
Jadi, berbeda dengan di Kaltim, rembuk rakyat kali ini dilakukan untuk mencari solusi damai dari temuan cadangan migas yang menimbulkan harapan amat besar dari warga setempat. Bayangkan saja, puluhan tahun tinggal dalam kawasan yang tandus dan miskin, tiba-tiba dikabarkan di bawahnya ada gas yang besar. Padahal Anda tahu, daerah ini dulu dikenal sebagai hutan jati yang dilindungi. Begitu miskinnya, sampai-sampai penjara dipenuhi oleh warga yang tersangkut kasus pencurian kayu.
Kemiskinan itu pulalah yang membuat tingkat pendidikan masyarakatnya rendah dan unskilled. Jadi kalau ada kebutuhan tenaga proyek, hampir dapat dipastikan mereka hanya mampu mengambil remah-remahnya saja. Sudah begitu, JOB PPEJ pun terkendala oleh ketentuan pemerintah yang mengatur tatacara pengadaan barang dan jasa. Sumijan, pengusaha kecil dari Desa Rahayu di Tuban mengungkapkan keheranannya, \”Proyek senilai satu juta rupiah saja harus direbut via tender.\” Saya juga baru tahu kalau ketentuan lelang dalam bidang migas ternyata jauh lebih ketat dari lelang non migas.
Beruntung rembuk kali ini selain dihadiri pimpinan JOB-PPEJ juga dihadiri para pembuat kebijakan. Di antaranya, dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP), Bupati Bojonegoro Suyoto, yang akrab disapa Kang Yoto, Wakil Bupati Tuban Noor Nahar Husein, dan beberapa kalangan lainnya.
Saya semula menduga dialog bakal berlangsung panas. Maklum, banyak kepentingan dan isu yang mewarnai dialog. Bukankah sudah sering kita dengar jalan ditutup warga sehingga pengeboran terhambat? Ditambah lagi, pengumumam tender selalu kisruh. Ketentuan mengenai local content mempunyai tafsiran ganda. Buat pengatur kebijakan di Jakarta, lokal itu artinya nasional, tapi bagi bupati, lokal itu artinya wilayahnya, untuk warganya. Dan kalau harga dan mutu dibanding-bandingkan, maka hampir pasti kalahlah warga setempat yang baru saja memulai usaha yang modalnya terbatas.
Dan orang kota pasti akan beranggapan, otonomi daerah sumber masalah, tidak efisien. Namun bagi orang desa, sebaliknya, ketakberdayaan telah membuat mereka hanya bisa menjadi penonton yang miskin. Mereka tentu menolaknya. Tetapi siapa yang peduli?
Baiklah soal lelang yang buat kita meradang ini (dan kita suka pura-pura tidak tahu bahwa lelang sarat korupsi dan manipulasi) akan kita bahas minggu depan, kita fokus dulu pada fenomena OKB yang muncul dari keberadaan tambang atau rejeki sesaat.
Fenomena OKB
Anda pasti sudah biasa mendengar istilah OKB, tapi mungkin jarang mendengar buntutnya: CM. Ya, Orang Kaya Baru Calon Miskin! Loh, kok bisa? Adalah Kang Yoto yang memperkenalkan istilah itu dan saya langsung jadi teringat dengan orang-orang kaya zaman dulu yang mendapat warisan tanah dari orangtuanya.
Bukannya jadi lebih sejahtera, kok anak-anaknya malah menjadi orang miskin, tak punya rumah, bahkan anak-anak tak bersekolah. Maklum uang warisan dipakai buat foya-foya, konsumsi, bukan untuk meningkatkan kompetensi. Lantas bagaimana fenomena OKBCM bisa muncul di daerah yang “kaya” migas tersebut?
Rupanya hadirnya JOB-PPEJ meningkatkan ekspektasi masyarakat di sana. Mereka melihat bakal ada kegiatan ekonomi berskala besar, sehingga harga-harga pun bergerak naik, termasuk harga tanah. Naiknya harga tanah naik tersebut rupanya menggoda para pemilik lahan. Mereka pun segera menjual tanahnya. Maka, lahirlah para OKB.
Sayangnya tak banyak para OKB yang mampu mengkonversi uang yang mereka terima saat itu ke dalam kegiatan-kegiatan produktif. Alhasil, berulanglah cerita-cerita yang pernah kita dengar di masa lalu.
Sebagian Anda mungkin masih ingat dengan program transmigrasi. Pemerintah memindahkan sejumlah orang dari Jawa ke beberapa daerah di Sumatera. Guna menopang kehidupannya di masa mendatang, pemerintah menyediakan lahan perkebunan seluas 2 hektar. Mereka ini kelak menjadi petani-petani plasma, dengan perkebunan negara sebagai intinya.
Jatah lahan serupa juga diberikan kepada penduduk lokal. Tapi, penduduk lokal menjual lahannya dibawah tangan kepada orang-orang kota. Persis seperti Masyarakat yang tinggal di tepi kali Kampung Pulo yang dipindahkan ke sebuah rumah susun di dekat situ. Alih-alih dipakai untuk peningkatkan kualitas hidup anak-anaknya, rusun itu malah dijual dan mereka kembali ke girli. Uang hasil penjualan kemudian dibelikan berbagai barang konsumsi seperti kulkas, sepeda motor dan TV.
Fenomena semacam itu juga terjadi di seputar kawasan OJB-PPEJ. Ketika tahu banyak OKB, segera para produsen barang-barang konsumsi menyerbu daerah tersebut. Dan, uang tersebut dengan cepat beralih menjadi otomotif, pesta dan ponsel.
Gaya hidup konsumtif pun lahir, rajin pelesir dan shopping. Uang yang mereka pegang pun cepat menyusut. Para OKB ini menjadi Calon Miskin.
Masalah Sosial
Mungkin sebagian OKB tadi berharap bisa menggantungkan hidupnya dari JOB-PPEJ. Mereka berharap kelak bisa bekerja di JOB-PPEJ. Mereka tak paham bahwa bekerja di perusahaan migas membutuhkan ketrampilan tersendiri, yang tidak mereka miliki.
Ada yang berharap bisa menjadi pemasok ke JOB-PPEJ. Ini, lagi-lagi, juga tidak mudah. Proses pengadaan barang dan jasa di BUMN memerlukan persyaratan tersendiri. Selain dilakukan secara virtual dan online, pemasoknya harus berbadan hukum dan mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NJOP) dengan laporan keuangan yang diaudit. Hanya orang yang punya kompetensi lah ang bisa bertarung di abad ini.
Bagi warga setempat, ini tentu hal baru. Mereka tidak siap. Bagaimana bisa ikut tender online, kalau seumur hidup belum pernah memegang komputer?
Ketika uang habis, keinginan untuk menjadi pekerja pun gagal, sementara harapan menjadi pemasok pun kandas. Para OKB yang dulunya hanya Calon Miskin, kali ini benar-benar menjadi miskin. Sebab, sumber penghasilan sudah tak ada lagi.
Jika tidak ditangani secara benar, ini tentu bisa berkembang menjadi masalah sosial yang serius. Maka, saya senang ketika pihak JOB-PPEJ menggelar rembuk migas ini. Rembuk semacam ini membuat kita tahu apa saja masalah yang bakal muncul, sehingga bisa diantisipasi. Misalnya, kita bisa mendidik masyarakat setempat atau membekali para pemasok lokal agar bisa meningkat kemampuannya. Bupati yang hebat juga pasti bisa mengambil sikap dengan membuat kebijakan yang berpihak namun tidak menjadikan warganya passengers yang keenakan, lalu miskin. Bukankah lebih baik kita mencegah kebakaran ketimbang memadamkannya?
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan