Langkah Ahmad (8) terhenti saat melihat Elisa Kasali (48) berjalan dari arah berlawanan di jalan penghubung kampung di kawasan Jatimurni, Pondok Gede, Bekasi. Hari Minggu (16/2) pagi itu, kampung terasa lengang sekaligus berisik oleh gesekan daun dan cericit burung.
“Eh, Bunda…,” sapa Ahmad seraya mencium tangan Elisa, yang langsung membelai kepala Ahmad. ”Ahmad alumnus PAUD dan TK Kepodang. Sekarang dia sudah kelas dua,” ujar Elisa.
Bersama sang suami, Rhenald Kasali (53), Elisa mengajak singgah ke Rumah Baca Manca, yang hanya sejengkal di depan rumah mereka. Jalan memutar merampai suasana lingkungan tempat mereka tinggal sejak awal tahun 1990-an. Di sini Rhenald, Elisa, dan dua anak mereka mencebur dalam degup kehidupan kampung.
Rumah Baca Manca kini memiliki lebih dari 5.000 buku bacaan anak dan remaja sumbangan banyak pihak, dan menjadi rumah baca terbaik di Provinsi Jawa Barat.
Rumah baca itu nyaman, dilengkapi papan tulis untuk mencatat kegiatan Manca, dan tempat sampah terpilah. Toilet dengan shower yang bersih berjajar di bagian belakang.
”Sekarang anak-anak pasti sudah mandi kalau ke rumah baca, dulu susah. Jadi ada peraturan wajib mandi. Kalau belum mandi, ada shower, mereka bisa mandi dulu,” kenang Elisa.
Kualitas terbaik
Gedung PAUD-TK Kutilang berada di belakang rumah Elisa-Rhenald, di atas lahan seluas 2.040 meter persegi yang lebih separuhnya dibiarkan terbuka. Tanaman buah dan tumbuhan langka membingkai hamparan rumput yang terawat. Di situlah, kata Elisa, anak-anak melakukan kegiatan luar ruang. Di tepi halaman ada bak motor berisi sampah organik.
Sekolah dan Rumah Baca Manca merupakan bagian dari pengembangan kegiatan kemasyarakatan keluarga Rhenald Kasali, termasuk kegiatan posyandu yang dulu berlangsung di garasi rumah.
Manca menjadi sarana membuka jendela dunia anak-anak, sedangkan fasilitas pendidikan itu gratis. ”Tetapi kualitasnya tidak gratis,” sergah Elisa, ”Kami ingin memberi pendidikan berkualitas kepada anak-anak dari keluarga berkebutuhan.”
Metode konvensional tidak cocok dengan gambaran Elisa tentang sekolah berkualitas. ”Sebelum tahun 2010, satu kelas isinya 35-40 anak, sekarang hanya 10 anak. TK A ada tiga kelas, TK B tiga kelas, PAUD dua kelas, dengan sembilan guru.”
PAUD-TK Kutilang dilengkapi tempat bermain dan Sentra Seni yang pada akhir pekan itu dipenuhi replika kecil laba-laba dan satu replika besar semut. Di sini anak-anak bebas berkreasi dan berekspresi.
Permainan balok merupakan salah satu upaya untuk mengajar anak-anak mengenal batas, sekaligus mengeksplorasi pikiran agar bisa memanfaatkan batas secara optimal.
”Anak-anak mengambil balok yang diperlukan untuk berkreasi, misalnya membuat serangga yang menjadi tema kegiatan kreatif pekan lalu. Mereka berlatih tidak membuang dan tidak mengambil lagi kalau baloknya kurang,” papar Elisa.
Dia memberi contoh tentang seorang ayah yang memberi uang Rp500, Rp300, dan Rp100 kepada anak pertama, kedua, dan ketiga.
”Kalau Rp100 dimanfaatkan secara benar dan kreatif, bisa didapat Rp 500, bahkan lebih. Sebaliknya, yang Rp 500 bisa tidak jadi apa-apa karena salah kelola,” lanjut dia. ”Intinya, bagaimana mengelola dengan baik rezeki yang didapat tanpa mengambil hak yang lain.”
Mengenali bakat
Di sekolah itu, guru didorong melanjutkan studi, di samping pelatihan parenting untuk orangtua. Ada beberapa kasus anak yang awalnya diduga berkebutuhan khusus, tetapi dengan bantuan psikolog dan dokter, diketahui anak itu hanya perlu dicintai, didorong, dan diterima apa adanya. ”Anak memberi banyak pelajaran kepada orang dewasa,” ujar Elisa.
Inspirasi awal pengembangan sekolah didapat Elisa dari Child Development Laboratory (CDL), TK di kampus yang dikelola Universitas Illinois, AS, tempat Rhenald menyelesaikan S-3.
Di situlah si sulung Fin pertama kali mengenal sekolah dan pertama kali pula dikenali bakatnya melukis. ”Pernah esai Fin diberi catatan excellent oleh guru. Ayahnya protes karena bahasa Inggris Fin masih kurang baik. Tetapi pertimbangan guru adalah proses Fin sebagai anak Indonesia untuk berkomunikasi dan berkreasi dalam bahasa Inggris,” kata Elisa.
Dari pengalaman membesarkan kedua anaknya, dia yakin setiap anak dilahirkan unik dengan bakat berbeda-beda. Tugas orang dewasa hanya membantu anak mengetahui dan mengasah kemampuannya agar mereka bertumbuh dengan jiwa yang kuat.
Di sekolah itu, rapor adalah laporan berlembar-lembar tentang perkembangan anak, termasuk perilaku, hal yang disukai, afeksi, kognisi, kondisi fisik, sosial, kemampuan bahasa dan komunikasi. Tidak ada angka dalam rapor.
Mewujudkan mimpi
Dari perkampungan yang terserak dari gemerlap Jakarta, pasangan Elisa-Rhenald mewujudkan mimpi perubahan yang dibangun selama enam tahun bermukim di Urbana Champaign, Illinois. PAUD-TK Kutilang merupakan wujud sebagian mimpi Elisa. Mimpi berikutnya adalah sekolah dasar dengan metode yang membebaskan.
Elisa menyebut dirinya ”ibu rumah tangga”. Ibu dari Fin Yourdan (24) dan Adam Makalani (18). Bagi dia, ”Abang” (sebutan untuk Rhenald) tidak hanya pakar manajemen dan guru besar FEUI, tetapi juga guru kehidupannya, sebagaimana Rhenald memandang perempuan Aceh yang telah 25 tahun menjadi bagian penting hidupnya itu.
Elisa memegang nasihat ibunya, yang mengibaratkan istri sebagai leher. ”Abang ibarat kepala, saya lehernya,” kata Elisa.
Di balik semua capaian Rhenald, adalah Elisa yang terus mendorongnya. Meski menempatkan diri ”jauh di belakang langkah Abang”, tidak jarang dia justru berada di depan, dengan seribu alternatif ketika Rhenald merasa lelah dalam perjalanan mewujudkan mimpi.
”Rezeki, ilmu pengetahuan, semua yang diperoleh harus dibuatkan jalan untuk dibagi,” Elisa mengungkap prinsip keluarganya, ”air yang tidak mengalir akan menjadi kubangan kotor.”
Rhenald merangkainya dalam misi Rumah Perubahan, dengan tiga fokus dalam bingkai kewirausahaan sosial: pendidikan, lingkungan, dan pengembangan masyarakat, sekaligus menjadi simbol keberagaman dan toleransi.
Sedangkan Elisa membangun mimpi itu dari urusan praktis dan strategis. Saat seorang anak dibonceng sepeda oleh ibunya mau mendaftar sekolah, Elisa menyambutnya dengan mata berbinar.
Begitulah yang terus terjadi. Setiap tahun ajaran baru, dengan kedua tangan terbuka, Elisa menyambut anak-anak, ”kutilang-kutilang” baru yang siap belajar terbang.
”Saya yakin, dari 80 anak, sedikitnya satu akan terbang paling tinggi dan paling jauh. Dia akan menjadi pemimpin….”
Oleh Maria Hartiningsih (Wartawan Kompas), 8 Maret 2014