Angkasa Pura II – Sindo, 6 Maret 2014

Apa bayangan Anda ketika mendengar PT Angkasa Pura? Minggu lalu, dalam perjalanan ke Balikpapan, saya mendengar jawaban lucu seorang pengusaha tambang.

Katanya, Angkasa Pura adalah eselon di bawah Kementerian Perhubungan. Tapi lebih lucu lagi temannya yang dari Medan. Ia begitu yakin, Angkasa Pura adalah anak usaha PT Garuda Indonesia Tbk yang mengatur kapan pesawat boleh terbang (take off) dan kapan boleh mendarat (landing). Tentu saja keduanya keliru.

Sebagai pelanggan tetap PT Angkasa Pura yang hampir setiap minggu ada di bandara, tentu saja perusahaan ini tak luput dari pengamatan saya. Bahkan saya hampir tahu persis siapa saja frequent flyer Indonesia yang terbang seminggu dua-tiga kali. Kami selalu bertemu di titik-titik yang sama di bandara, dengan suka duka, baik pujian maupun keluhan, komplain atau bahkan kekesalan yang sama.

Virus Birokrasi

Begitu intensnya mengamati, saya bahkan aktif mengirim SMS kepada tiap pimpinan, bahkan kepada Menteri BUMN yang kadang responsnya amat mengejutkan saya: baru saja SMS dikirim, GM bandara sudah pontang-panting mengatasinya. Bahkan tak jarang direktur operasional jadi repot gara-gara masukan yang saya kirim via SMS. Kadang saya jadi tak enak, tapi apa boleh buat: bandara telah menjadi rumah kedua saya. Ya tempat saya mandi, bekerja, makan maupun istirahat sejenak.

Saya ingin mengajak Anda fokus saja pada transformasi di Angkasa Pura II yang antara lain menaungi bandara terbesar kita: Soekarno-Hatta. Kita sebut saja AP II, ini adalah perusahaan yang mengelola 13 bandara di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Kalau Anda biasa terbang ke luar negeri dan mendarat di bandara yang luas dan terang, komplain terhadap kumuhnya sebagian bandara kita tentu saja tak terlalu keliru.

Kepusingan itu mungkin bisa dibaca benang merahnya pada hampir semua BUMN kita yang terlalu nyaman dengan kerimbunan usaha mereka yang akhirnya menampilkan sosok yang terlihat kuno, SDM-nya tua-tua, dan organisasinya sangat birokratis. Kalau datang ke kantor seperti itu, lumrah kalau di sana Anda akan menyaksikan akibat dari virus birokrasi.

Anda akan menemukan karyawan yang tampak lebih tua dari umurnya seperti tak ada pekerjaan yang harus dipelototi, duduk-duduk santai di bawah pohon, di ruang tamu, di kantin atau di sudut-sudut kantor sambil membaca koran, merokok atau minum kopi. Persis seperti di pintu masuk Kantor Pemda DKI, wali kota atau kecamatan di masa-masa lalu (dan sesekali kini masih bisa kita lihat juga).

Harap dicatat, itu mereka lakukan pada jam-jam kerja. Jadi, persis seperti suasana di kantor-kantor pemerintahan. Sebagai pengelola bandara, tugas mereka mestinya melayani seluruh stakeholders-nya. Akan tetapi dalam praktik tak jarang pegawai-pegawai seperti itu (lengkap dengan jajaran Keimigrasian, Karantina, dan Bea Cukai) justru malah minta dilayani staf-staf muda atau stakeholders yang memakai jasa mereka.

Pokoknya masih jauh dari kesan BUMN yang modern dan sehat. Inilah kegelisahan direksi AP II yang masih menjadi PR besar yang kini dituangkan dalam program transformasinya. Kepada saya mereka menyampaikan gagasan-gagasan perubahan yang tak selalu mulus. Seorang direksi mengakui, KKN masih bisa tercium di lapangan. Masih ada. Kelompok nyaman yang belum menyadari bahwa kita sudah hidup dalam zaman governance yang transparan.

Orang tua, anak, keponakan, saudara, semua dipaksakan agar bisa masuk bekerja di AP II. Kelompok itu tidak mau gajinya ditentukan berdasarkan kinerja, tetapi harus atas dasar sama rata sama rasa. Kinerja tidak penting, yang penting rukun, selalu kompak dan nyaman dalam pekerjaan, saling melindungi dan menitipkan nasib. Maka, jika sebagian kita masih punya anggapan atau bayangan seperti itu tentang AP II, Anda tidak sepenuhnya keliru meski juga tidak sepenuhnya benar.

Kondisi AP II memang sangat memungkinkan karyawannya masuk dalam perangkap comfort zone. Bayangkan, dengan cara kerja yang seperti itu saja selama tahun 2012 mereka mampu membukukan pendapatan Rp3,9 triliun dengan laba bersih Rp1,2 triliun. Artinya, marginnya bisa lebih dari 30%.

Bisnis mana yang bisa menjanjikan keuntungan sebesar itu? Maka, tak mengherankan jika direksi AP II gelisah melihat sebagian pegawainya telah terperangkap dalam comfort zone. Tapi, jangan salah, kegelisahan adalah modal awal yang sangat penting untuk memulai transformasi.

Design & Build

Namun betulkah semua insan AP II beretos kerja seperti itu? Rupanya tidak juga. Saat menulis buku transformasi dengan sudut pandang dari bisnis kebandaraan, saya justru menemukan bagian lain karyawan AP II yang peduli dengan masalah yang mereka hadapi dan tak mau terperangkap dalam comfort zone.

Mereka tidak tuli telinganya dan mau mendengar teriakan para penumpang yang sudah merasa tidak nyaman dengan sesaknya Bandara Soekarno-Hatta. Jika Anda ingin melihat buktinya, tengoklah pembangunan perluasan Terminal 3 di kawasan Bandara Soekarno-Hatta. Saya yang pernah beberapa kali menyaksikan suatu proyek konstruksi, harus mengakui, capaian pembangunan perluasan Terminal 3 bisa dibanggakan.

Misalnya, proyek yang baru dibangun sekitar enam bulan lalu kini sudah berhasil menyelesaikan14% dari seluruh volume pekerjaannya. Saya lihat di sana, pekerjaan fondasinya sudah selesai, tiang-tiang sudah berdiri, dan lantai-lantai bangunan sudah dicor. Pokoknya kita sudah bisa melihat sosok bangunannya. Harap diingat, sebagian pekerjaan itu dilakukan ketika kita sedang memasuki musim penghujan dengan banjir yang terjadi di beberapa tempat.

Salah satu yang membuat pembangunan Terminal 3 berbeda adalah konsep pembangunannya. Pihak AP II menyebutnya dengan konsep design & build. Apa itu? Sederhananya begini. Dalam setiap proyek konstruksi, biasanya dibuat desainnya terlebih dahulu. Pekerjaan membuat desain seperti ini, termasuk proses tendernya, biasanya memakan waktu satu tahun.

Masih ditambah proses-proses lainnya, termasuk menentukan konsultan pengawas, seluruhnya pembangunan proyek yang setara dengan perluasan Terminal 3 total bisa memakan waktu sekitar empat tahun. Bagaimana dengan pembangunan perluasan Terminal 3? Saya berbincang dengan Salahudin Rafi, Direktur Pengembangan Kebandarudaraan dan Teknologi AP II.

Kata dia, total waktu pengerjaan perluasan Terminal 3 akan menghabiskan waktu sekitar dua tahun. Jadi, hanya separuhnya. Bagaimana bisa? Jawabannya, itu tadi, penerapan konsep design & build. Biasanya konsep semacam ini diterapkan dalam kondisi khusus. Misalnya jalan tol Cipularang longsor. Untuk membenahi jalan tol tersebut tentu tak bisa menerapkan prosedur yang normal. Misalnya, ditenderkan dulu, buat perencanaannya dulu, dan sebagainya.

Kalau itu yang terjadi, pasti PT Jasa Marga Tbk akan dicaci maki pengguna jalan tol. Maka, begitu jalan tol Cipularang longsor, ya harus langsung dibenahi. Konsep semacam itulah yang diterapkan dalam perluasan Terminal 3. Dari sisi teknis, misalnya, seluruh pihak yang ikut membangun proyek ini dilibatkan sejak awal. Mereka semua terlibat dalam penyusunan desain, pembuatan rencana kerja hingga prosedur pengawasannya.

Jadi, ketika proyek tersebut mulai dibangun, semua pihak yang terlibat langsung tahu apa yang mesti dikerjakannya. Bukan mempelajari dulu apa yang mesti dikerjakannya. Saya tak ingin membahas terlalu detail soal pembangunan Terminal 3. Namun, melalui proyek tersebut, saya ingin memberikan gambaran yang lebih lengkap kepada Anda tentang AP II. Perusahaan itu ternyata juga memiliki banyak SDM berkualitas, sangat berkompeten, dan penuh dedikasi.

Mereka memiliki passion dalam melakukan pekerjaannya dan sangat ingin melihat AP II tumbuh menjadi perusahaan yang maju dan modern. Tentu saja bandara bukan cuma properti terminal tempat manusia berkumpul dan menikmati layanan. Bandara itu juga soal landas pacu, kapasitas terbang, safety, dan teknologi penerbangan.

Ini masih perlu jadi sorotan tersendiri. Namun harapan itu ada pada generasi baru kita, orang-orang muda. Mereka bekerja dengan penuh gairah. Saya kira kepada merekalah kita pantas menitipkan masa depan AP II.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *