Consumer Banking dan Kualitas Hidup – Media Indonesia, 5 Maret 2014

ANDA tentu kenal FERRY SALIM, seorang artis dan juga selebritas. Siapa sangka artis yang begitu terkenal seperti dia ternyata mengalami kesulitan ketika mengajukan permohonan kredit ke sebuah bank. Ferry mengungkapkan pengalaman tersebut di sel –sela pengambilan gambar Dialog Perbankan & Ekonom di Metro TV, Selasa (4/3). Pembicara lainnya dalam dialog itu adalah Direktur Bank Danamon Michellina L Triwardhany serta Direktur Literasi dan Edukasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK)  Agus Sugiarto.

Mengapa Ferry bisa mengalami hal seperti itu? Dia menuturkan, sebagai selebriti, menurut pihak bank, penghasilannya tidak rutin. Ia juga tidak mempunyai slip gaji, salah satu dokumen yang mesti ia sertakan jika ingin mengajukan permohonan kredit. Sejak itu, tutur Ferry, “Saya pun kemudian menjadi pengusaha agar mempunyai penghasilan rutin.”

Tapi, barangkali kisah Ferry adalah pengalaman masa lalu. Kini, ketatnya persaingan membuat bank harus semakin adaptif dan responsif dalam melayani nasabah yang memiliki beragam profesi. Jika nasabahnya pengusaha skala kecil, seniman atau pekerja kreatif lainnya, misalnya, tentu kurang tepat bagi bank untuk meminta slip gaji. Bank harus menggantinya dengan dokumen yang lain, sejauh tidak bertentangan dengan prinsip kehati-hatian.

Selain harus adaptif dan responsif perbankan harus mampu menyediakan produk yang kian beragam sesuai dengan karakteristik kebutuhan dan tahapan perkembangan nasabah. Misalnya, pada tahap awal nasabah mungkin hanya membutuhkan kartu kredit atau kartu debit. Namun, seiring dengan membaiknya tingkat kesejahteraan nasabah, bank dituntut mengimbanginya dengan menyediakan produk-produk seperti kredit pemilikan rumah atau kredit kendaraan bermotor.

Lalu, ketika kesejahteraannya meningkat lagi, perbankan juga harus siap melayaninya dengan produk-produk inovatif lainnya, seperti produk investasi, yang memberikan perlindungan (asuransi), atau yang membantu nasabah menyiapkan dana pendidikan anak. Bentuknya bisa rupiah, atau mata uang asing  bila nasabah ingin menyekolahkan anaknya ke luar negeri. Bank harus mampu menyediakan itu semua. Jika tidak, nasabah dapat berpaling.

Lebih jauh lagi, bank harus mempunyai produk untuk membantu nasabahnya menyiapkan hari tua. Dengan persiapan tersebut, kelak nasabah tetap bisa membiayai pengeluarannya, tanpa menjadi beban bagi anak-cucunya.

Bila melihat rangkaian produknya, tidak salah jika kita beranggapan perbankan siap mendampingi nasabahnya sepanjang hayat. Dari sejak pertama kali mereka menjadi nasabah sampai memasuki usia pensiun.

Di Indonesia, potensi pasar consumer banking masih sangat besar. Saya membaca riset MARS yang menyebutkan bahwa pada tahun 2013, lebih dari 67% nasabah bank memiliki pendapatan yang tidak habis mereka konsumsi. Lalu, sebanyak 82% nasabah menyimpan kelebihan dananya di bank. Fenomena inilah yang membuat consumer banking menjadi segmen yang paling banyak digarap perbankan.

Meski begitu ternyata masih banyak nasabah bank yang belum memahami aneka ragam produk consumer banking dan manfaatnya dalam meningkatkan kualitas hidup mereka. Itu tercermin dari banyak nasabah yang hanya menyimpan dananya dalam bentuk tabungan, atau deposito. Mereka belum tahu ada bank yang menawarkan produk-produk investasi dan asuransi.

Edukasi nasabah menjadi pekerjaan besar bagi kalangan perbankan dan OJK.Masih banyak informasi tentang produk consumer banking yang belum diketahui nasabah.

Di sisi lain, edukasi juga diperlukan dalam kerangka perlindungan konsumen. Jadi, nasabah bukan hanya paham produk-produknya, tetapi juga hak dan kewajibannya.

Kita bisa membacanya dengan bahasa yang sederhana: peluang pasar consumer banking masih sangat terbuka!

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *