KOMPAS.com – Setelah lama menyaksikan pertarungan antara Dewan Pengawas TVRI dengan Komisi I DPR, yang bak cerita silat karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo, sengkarut itu kini memasuki babak baru. Komisi I akhirnya bersurat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meminta pemberhentian Dewan Pengawas. Kita masih menunggu bagaimana reaksi Presiden atas surat tersebut.
Apa pun keputusan Presiden kelak, buat saya, ribut-ribut ini terasa sangat menjengkelkan. Apalagi setelah Komisi I membekukan anggaran TVRI—kecuali untuk biaya operasional dan gaji pegawai. Dengan dibekukannya anggaran, TVRI tak bisa membuat dan menayangkan program-program baru.
Mereka hanya tak berani pada KPK
Akhirnya sebagian acara TVRI adalah acara tayang ulang. Saya dan bersama-sama rakyat pembayar pajak—yang dari uang pajak itulah dialokasikan untuk anggaran TVRI dan membayar gaji anggota Komisi I DPR—jelas sangat dirugikan dengan banyaknya acara tayang ulang. Setelah bersusah payah merebut kembali penontonnya yang telah berpaling ke program-program TV sinetron dan berita politik tak bermutu, kini investasi itu seperti dibiarkan menguap, hanya demi syahwat politik dan acu kencang wibawa.
Itu jelas kerugian yang harus kita tanggung akibat masing-masing pihak yang bersengkarut tersebut sudah mengusung semangat win-lose, bukan lagi win-win!
Seperti yang Anda ketahui, saya juga mengisi salah satu program di TVRI yang denyut nadinya mulai kita rasakan. Memang semula terus terang saya malas mengisi program di stasiun yang terkesan tua dan tak terurus ini. Namun ketika direksi dan dewan pengawas meyakinkan saya bahwa mereka benar-benar menghendaki perubahan, maka masuklah saya ke sana. Apalagi peluncuran tayangan-tayangan baru itu dilakukan di hadapan sejumlah anggota DPR yang seakan-akan setuju pentingnya perubahan. Itu dilakukan bersamaan dengan pesta emas TVRI yang saya yakini sebagai kebangkitan kedua sejak digelorakan Bung Karno.
Maka ketika anggaran TVRI dibekukan, dan penonton program saya mempersoalkannya, sayapun masih memberikan pandangan-pandangan netral, sampai saya mengerti betul masalahnya. Namun sekarang saya kira sudah jelas betul, keributan ini tak ubahnya pertarungan kekuatan, dengan warna politik-kekuasaan yang amat dominan. Bahkan nyaris tak ada bedanya dengan pertarungan antara Komisi III dengan KPK yang ingin memangkas kewenangan atau kekuasaan KPK.
Bedanya, KPK benar-benar dikawal masyarakat sipil dan para elit, sehingga sekalipun anggota dewan terus ditangkapi, mereka tak diberi ruang mengakali KPK. Bagaimana TVRI? Mungkin sebagian kita mengatakan, biarkan sajalah dia mati. Sudah tua pula dan banyak penyakitnya. Toh sudah banyak stasiun TV lain yang jauh lebih bermutu sekalipun membuat kita tegang dan hanyut oleh opini yang diarahkan. Tapi benarkah Indonesia tidak membutuhkan stasiun televisi yang benar-benar membanggakan bangsanya seperti BBC atau NHK? Dapat kita benarkankah campur tangan politik yang berlarut-larut yang menyalahi UU? Bisakah stasiun TV menjadi besar kalau ia tak diperkenankan menyelesaikan masalahnya sendiri dan membangun governance-nya?
Beda bungkus dan isi
Bagi mereka yang mengikuti beritanya melalui media massa sejatinya tidak sulit untuk membaca ada apa di balik peristiwa ini. Saya mendengar ada bisik-bisik santer yang mengaitkannya dengan kian dekatnya Pemilu Legislatif. Namun, tentu saja bisik-bisik itu ibarat, maaf, orang buang angin. Kita hanya bisa mencium baunya, tetapi tidak akan pernah bisa melihat wujudnya.
Baiklah supaya agak lebih jelas, mari kita coba analisis sekilas bagaimana duduk perkara dari ribut-ribut tersebut. Saya melihat dari kacamata independen, yang meski hanya sedikit, pernah bersentuhan dengan TVRI, mengikuti sejarah TVRI, dan membedahnya dengan kacamata manajemen. Kegusaran saya terutama adalah pada pemborosan yang terjadi, ancaman bagi keberlangsungan, dan pudarnya masa depan. Dengan kata lain: buang uang dan hanya melakukan langkah sia-sia yang menyakitkan.
Saya mulanya menangkap kabar dari Rapat Dengar Pendapat (RDP) di antara mereka yang terkesan konstruktif. Komisi I mendukung proses revitalisasi TVRI dan meminta Dewan Pengawas merumuskan rencana strategis (renstra) tahun 2011-2016. Komisi I juga meminta proses pemilihan dewan direksi TVRI dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. Sesuai UU No. 32/2002 tentang Penyiaran dan PP No. 13/2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI, kewenangan mengangkat dan memberhentikan direksi ada di Dewan Pengawas. Lalu, Komisi I juga meminta Dewan Pengawas mengawasi realisasi anggaran TVRI oleh Pelaksana Tugas Direksi TVRI. Betapa bagusnya gagasan-gagasan itu.
Benih-benih persoalan mulai muncul pada RDP berikutnya. Komisi I menilai pemilihan direksi TVRI prosesnya kurang transparan, akuntabel, dan profesional. Lalu, Komisi I meminta Dewan Pengawas menyerahkan semua dokumen seleksi direksi TVRI. Padahal, bukankah itu domain dewan pengawas yang dilindungi oleh Undang-undang? Soal teman kita tak terpilih, di era governance ini saya kira biasalah. Tapi kalau karena tersinggung lalu bungkusnya adalah akuntabilitas, tentu saja bisa lain jadinya.
Hubungan keduanya kian memanas dan intervensi beberapa anggota Komisi I pun kian dalam. Sekelompok orang dalam Komisi itu meminta Dewan Pengawas meninjau ulang keputusannya mengangkat direksi TVRI, meminta penjelasan penggunaan dana non APBN TVRI, penggunaan anggaran non operasional, evaluasi kinerja direksi TVRI, dokumen satuan tiga anggaran TVRI, dan dokumen kontrak manajemen dewan direksi TVRI. Di tengah sengkarut itu, ada masalah baru: TVRI menayangkan muktamar Hizbut Tahir Indonesia (HTI) yang membuat berang anggota Komisi I lainnya.
Lalu, ketika direksi TVRI diberhentikan oleh Dewan Pengawas, Komisi I berbalik arah. Mereka meminta agar direksi TVRI—yang telah diberhentikan oleh Dewan Pengawas—tetap menjalankan tugasnya. Komisi ini juga mengancam akan membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk mengkaji persoalan-persoalan di TVRI, serta membekukan anggaran TVRI—kecuali untuk gaji dan operasional.
Sekarang bayangkan kalau Anda yang menjadi Dewan Pengawas yang dilantik dengan penuh kemesraan, dan menghadapi persoalan yang sangat inkonsisten seperti ini. Menurut Anda, adakah putra terbaik Indonesia (ya, sebutlah keras-keras nama bangsa kebangganmu ini) yang mampu menjalankannya? Mumet, sakit kepala, tak bisa tidur, atau bahkan lebih baik tinggalkan saja? Seorang CEO bahkan mengatakan, \”Suruh saja politisi itu memimpin TVRI biar mereka tahu rasa mumetnya minta ampun.\”
Kisruh tersebut jelas berimbas pada kinerja TVRI. LPP ini tak bisa menyajikan program-program terbaru dan akhirnya semakin ditinggalkan pemirsanya.
Harapan yang sama
Semua ribut-ribut tadi terasa aneh, sebab sebetulnya kita sekalian mempunyai harapan yang sama terhadap TVRI. Kalau saya bicara “kita” itu artinya saya, masyarakat luas, pihak internal TVRI, dan tentunya juga semua pihak di Komisi I DPR.
Kita punya harapan agar acara-acara TVRI bisa sekelas dengan tayangan BBC (Inggris), ABC (Australia), NHK (Jepang) KTV (Korea Selatan), atau CCTV dari China. Di BBC, misalnya, kita bisa menikmati acara-acara semacam BBC Knowledge, Undercover Boss, Extreme Fishing hingga Top Gear, atau Dragons Den, dan High Street Dreams. Acara-acara tersebut, menurut saya, bukan hanya menghibur, tetapi juga mendidik.
Kita juga berharap TVRI bisa go international, sehingga menjadi acuan masyarakat dunia dalam mencari informasi tentang Indonesia. Dengan go international, TVRI dapat menjadi media untuk “menjual” Indonesia baik dari sisi pariwisata, keindahan flora-fauna, kekayaan alam dan budayanya. Intinya, melalui siaran internasionalnya, TVRI mampu membuat kita lebih dikenal oleh masyarakat dunia dan menumbuhkan rasa percaya diri bangsa. Dan untuk itu TVRI tak bisa dibangun dengan cara-cara transaksional, reaktif, mudah marah, adu kekuatan, atau cara-cara jangka pendek. Televisi seperti itu hanya bisa dibangun dengan langkah-langkah jangka panjang yang visioner, yang kolaboratif, dan saling respek.
Kita juga berharap TVRI mempunyai kinerja finansial yang sehat, sehingga tak perlu lagi bergantung pada dana APBN.
Itulah tiga harapan utama saya terhadap TVRI. Namun, kalau melihat fakta yang berkembang belakangan, harapan saya itu agaknya kian jauh panggang dari api.
Solusi
Baiklah saya tidak sekadar mengeluh dan menghadirkan masalah baru, tapi kalau bisa juga urun rembug merumuskan solusinya. Berikut beberapa tawaran saya.
Pertama, sebagai Lembaga Penyiaran Publik, TVRI perlu diberi kepercayaan yang besar. Selagi menghadapi penetapan anggaran dari parlemen yang tak pernah lepas dari hengki-pengki dan tawar menawar anggaran, pimpinan TVRI tentu juga menghadapi masalah internal yang berat: SDM yang didominasi generasi tua (yang bertentangan dengan spirit ekonomi kreatif), peralatan yang dikuasai pihak-pihak yang sudah nyaman dengan silosnya masing-masing, kultur kerja yang lama tak terbina, saling curiga dan persaingan internal yang kuat, serta kualitas manajerial yang tak bisa didapat dalam seketika (melalui metode seleksi dan imbal jasa yang biasa).
Kedua, daripada sengkarut terus, dan politik yang tak mendukung, sudahlah kita jadikan saja TVRI sebagai korporasi dan beri kebebasan melakukan berbagai corporate action bagi peningkatan kinerjanya. Misalnya, TVRI bisa merekrut orang-orang terbaik dengan imbalan profesional yang kompetitif. Lalu, TVRI juga bisa bekerja sama dengan dengan pihak swasta untuk memanfaatkan lahannya yang luas. Di Jakarta saja luas lahan kantor pusat TVRI mencapai 3,4 hektar terletak di kawasan amat strategis. Belum lagi dengan dengan stasiun-stasiun TVRI yang ada di daerah. Padahal, dengan teknologi dan cara kerja sekarang, TVRI mungkin tak memerlukan lahan seluas itu.
Selain itu, TVRI juga bisa menyewakan aset-aset lainnya. Misalnya, menyewakan menaranya untuk operator selular. Banyak aset TVRI yang bisa dioptimalkan sebagai sumber pendapatan. Dengan cara seperti itu, TVRI tak perlu lagi bolak-balik mengajukan anggaran ke DPR. Menjadi lebih independen dan bermartabat, keuangan sehat dan diisi orang-orang pilihan.
Bukankah cara seperti ini sudah terbukti jalan di PT Kereta Api Indonesia (KAI). Kita lihat kinerja KAI meningkat luar biasa dan tidak membutuhkan subsidi pemerintah.
Ketiga, meski menjadi korporasi, kita harus menjaga agar acara-acara TVRI tetap berorientasi pada kepentingan publik dan non partisan. Maka, buat saja aturan untuk itu. Misalnya, ada TVRI 1 yang menyiarkan program-program edukatif-entertaining tentang pertanian, perikanan dan peternakan, TVRI 2 berisi program pendidikan dan ilmu pengetahuan, TVRI 3 adalah channel khusus anak-anak, TVRI 4 menampilkan acara-acara olahraga, dan seterusnya.
Keempat, sebagai modal awal, sebaiknya pemerintah memberikan semacam affirmative action. Misalnya, meminta BUMN atau instansi pemerintah lainnya untuk mengalokasikan sebagian anggaran iklannya ke TVRI. Bukankah privilege seperti itu terbukti ampuh memajukan maskapai penebangan Garuda Indonesia yang wajib digunakan para pejabat publik dan PNS?
Kelima, mewajibkan TVRI menerapkan standar governance yang setara dengan BUMN lainnya. Misalnya, dengan menerbitkan laporan keuangan di media massa, menerapkan e-procurement, dan sebagainya. Penerapan standar governance ini bukan hanya untuk meningkatkan kinerja TVRI, tetapi juga sekaligus menghindarkan TVRI dari berbagai intervensi.
Anda punya usulan lain? Mari kita kawal perubahan di TVRI dan beri sumbangan pemikiran kita untuk membuat kinerja TVRI semakin membaik, tak lagi ribut-ribut dan masuk perangkap konflik kepentingan. Dalam setiap peristiwa perubahan, keributan selalu berawal dari perebutan kekuasaan yang diwarnai adanya kepentingan-kepentingan. Dan itu hanya membuat pembayar pajak berang dan mengutuk. Tapi buat apa ya mengutuk kegelapan?
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan