Selama remaja saya juga mengalami hal yang sama dengan Anda: ada banyak keinginan, namun sedikit yang didapat, bahkan tidak didapat-dapat. Berbeda benar dengan sekarang. Saya ingin bercerita tentang teman yang semasa SMP sangat ingin menjadi dokter. Dia sangat rajin membuat kliping artikel-artikel tentang kesehatan atau kedokteran. Di rumahnya, selain baju seragam sekolah, dia memiliki beberapa kemeja dan celana putih. Warna itu sudah menjadi warna favoritnya.
Tapi, jadi apa dia sekarang? Saya suka tertawa melihat orang yang berpikir saya hari ini telah menjadi seperti apa yang saya inginkan. Seperti Anda, kita sama-sama tak mengerti jalan hidup ini.
The First Best
Para motivator sering meniru ajaran Jack Canfield, penulis buku The Success Principle: kalau Anda ingin memiliki mobil baru, bayangkan terus mobil itu. Kalau perlu, tempelkan gambar mobil itu di meja kerja, di depan cermin, di balik pintu, atau di mana pun tempat yang sering Anda akses. Niscaya keinginan tersebut akan terkabul.
Beberapa pekan lalu saya bertemu kembali dengan teman SMP tersebut di sebuah pusat perbelanjaan. Kami saling pandang, saling tersenyum, saling tunjuk, dan menyebut nama. Dia lalu menjabat erat tangan saya, dan memeluk saya. Kami tertawa.
Setelah melepas pelukan, kami saling pandang. “Gila Lu, dari dulu tetap saja kurus. Nggak pernah makan? Ayo sekarang gue traktir makan.” Dia tertawa terbahak-bahak. Kami lalu sepakat untuk pergi ke suatu restoran. Kebetulan jam sudah menunjuk pada waktu makan siang.
Sambil makan, kami berbincang tak keruan. Nostalgia. Dua jam ngobrol, akhirnya dia mulai masuk ke pembicaraan yang agak serius. Katanya begini. Dia sedang mencari CEO untuk mengelola beberapa perusahaan miliknya sekaligus.
Saya menyela, “Lho, katanya mau jadi dokter?”
Dia tertawa terbahak-bahak. Jawabnya, “Gue nggak diterima di fakultas kedokteran. Akhirnya gue dagang sambil kuliah.” Saya pun berteriak, \”Jauh bener?\” Tapi, dalam hati saya juga berpikir, dulu saya sendiri punya keinginan jadi dokter, tidak pernah berpikir menjadi doktor, apalagi profesor atau dosen.
Kami lalu berbicara tentang bisnis yang digelutinya. Mulanya hanya satu produk, tapi lama-lama berkembang. Bukan hanya produknya, tetapi juga perusahaannya. Kini dia sudah memiliki lebih dari sepuluh perusahaan—meski kebanyakan berskala menengah. Karyawannya sudah lebih dari 2.000 orang. Omzetnya sudah di atas Rp 2 triliun per tahun.
Selama ini dia mengurusi semua perusahaannya sendiri. Ia pemilik dan sekaligus CEO. Belakangan dia mulai kewalahan. Banyak peluang bisnis yang tak bisa dia tangkap, karena terlalu sibuk mengurusi perusahaannya. Dengan adanya CEO, dia dapat berkonsentrasi mencari peluang-peluang baru.
Menjelang sore, kami pun sepakat untuk berpisah. Kami saling bertukar nomor telepon dan kartu nama, seraya berjanji untuk terus saling kontak. Kami pun beranjak meninggalkan restoran.
The Second & The Third Best
Sambil berjalan meninggalkan pusat perbelanjaan, saya merenung. Apa jadinya teman saya tadi seandainya ia tetap menjadi dokter. Semasa SMP, nilai pelajarannya biasa-biasa saja. Bahkan nilai biologi saya lebih tinggi dari padanya.
Hanya teman saya tadi memang punya nyali yang luar biasa—untuk ukuran saya. Pernah, karena jengkel dengan nilai ulangan Bahasa Indonesia yang jelek sekali, dia mengajak saya jalan bareng. Lalu, dia berhenti, mengambil sebuah batu dan melemparkannya ke kaca jendela sebuah rumah. Sesudah itu kami lari terbirit-birit.
Sambil lari, saya berseru, “Gila, rumah siapa itu?”
Dia dengan cengar-cengir menjawab, “Rumah guru Bahasa Indonesia.”
Gila, sekali lagi saya mengumpat.
Kini, “Si Gila” itu sudah menjadi pengusaha yang sukses—setidak-tidaknya menurut ukuran saya. Bayangkan, dia mampu menciptakan lapangan kerja untuk lebih dari 2.000 orang. Jika ditambah dengan anggota keluarga dari seluruh karyawannya, serta para pemasok dan pihak-pihak lain hidupnya terkait dengan bisnisnya, mungkin ada lebih dari 10.000 orang yang tergantung dari perusahaan “Si Gila” tadi.
Dia tidak menjadi dokter, tapi Tuhan sudah menyiapkan rencana lain yang indah buat dia.
Di dalam ilmu ekonomi kita mengenal teori the first best, the second best, the third best, dan seterusnya. Menurut teori itu, pilihan pertama selalu lebih baik ketimbang pilihan kedua. Lalu, pilihan kedua selalu lebih baik ketimbang pilihan ketiga. Bahkan, kadang kita dihadapkan pada kondisi tidak punya pilihan sama sekali.
Tim Harford dalam bukunya Adapt: Why Success Always Starts With Failure, menyinggung soal pilihan ini. Dia memberikan contoh dengan Spitfire, sebuah pesawat terbang kecil dengan satu pilot yang menjadi penentu kemenangan Inggris dalam menghadapi serbuan Nazi, Jerman, dalam Perang Dunia II. Pada masa itu pesawat-pesawat ukuran kecil, seperti Spitfire, yang gesit tetapi hanya mampu terbang dalam jarak pendek, tidak menjadi pilihan utama dalam peperangan. Pilihan utama adalah pesawat berukuran besar yang mampu terbang jarak jauh dan mengangkut banyak bom. Namun, dalam perang yang terkenal dengan sebutan Battle of Britain, Spitfire ternyata mampu menjadi penentu kemenangan Inggris atas Jerman.
Jadi, simpul Harford, kerap kali bukan jeniusnya rencana A yang menjadi penentu keberhasilan, tetapi bisa rencana B atau C yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan penuh dedikasi. Maka, jangan cemas jika rencana awal Anda tidak berjalan dengan semestinya. Siapkan rencana kedua, kerjakan dengan sungguh-sungguh. Jika gagal, siapkan lagi rencana ketiga, dan kerjakan lagi dengan sungguh-sungguh. Sebab, Tuhan pasti sudah menyiapkan rencana yang indah bagi kita.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan