Setiap kali saya ke Turki, saya selalu mendengar rasa kagum yang amat besar terhadap bangsa ini terhadap Mustafa Kemal Atatürk. Dialah bapak bangsa Turki yang dianggap sebagai hero. Jadi, jualan pariwisata bangsa Turki ternyata tak hanya sebatas bangunan bersejarah rumah-rumah ibadah seperti Blue Mosque dan Gereja Hagia Sophia, melainkan juga pahlawan yang membanggakan bangsa itu.
Hal serupa Anda bisa tanyakan kepada turis-turis yang berkunjung ke Myanmar: Apa yang membawa Anda ke sini? Jawabnya hampir pasti adalah Aung San Suu Kyi yang dikenal kaum muda dari film The Lady yang gagah berani melawan junta militer.
Demikianlah China “menjual” Mao dan kekaisaran Ming, Mesir “menjual” monumen-monumen besar warisan keluarga Firaun, Jerusalem “menjual” King David, dan Singapura “menjual” Paman Lee. Dalam peradaban Dream Society, berwisata itu identik dengan membeli cerita dan cerita para pahlawan adalah komoditas yang menggetarkan jiwa wisatawan.
Per definisi, pahlawan atau hero adalah orang yang diterima dengan penuh kekaguman, generasi-generasi selanjutnya yang dijadikan sebuah kebanggaan karena sesuatu hal. Biasanya orang-orang ini telah mengorbankan waktu, tenaga , pikiran dan perbuatannya tanpa kenal lelah, bahkan berkorban demi suatu pencapaian (bukan melulu menang dalam arti mengalahkan).
Namun bagaimanakah kita “menjual” pahlawan pada generasi narsis?
4 Generasi
Beberapa tahun lalu, Neil Howe dan William Strauss menulis buku yang amat terkenal: Millennials Rising. Mereka mengatakan dalam setiap 4 generasi akan muncul 1 generasi pahlawan.
Baginya, generasi pahlawan yang dikenang sepanjang sejarah adalah generasi Perang Dunia ke 2, yang lahir sekitar 1920-1930,bersenjata perang dan rela mati untuk bangsanya. Jejak mereka bisa ditemui di berbagai TMP, dengan alunan musik mars militer.
Nah generasi ke 4 setelah itu jatuh pada generasi yang membingungkan. Howe dan Strauss menyebut mereka sebagai Gen Y, yang lahir setelah tahun 2000. Padahal Pew Foundation menyebut Gen Y lahir antara 1976-2000. Kalau setelah tahun 2000, saya lebih sering menyebutnya sebagai Gen T (Touch Generation) yang menjadi kakak bagi Gen C (Connected Generation).
Lagi pula, kalau mau mengaitkan generasi dengan perubahan, bukan tahun kelahiran yang harus menjadi acuan, melainkan kejadian-kejadian penting saat seseorang menanjak usia dewasa. Saat itulah memori-memori penting suatu generasi terbentuk. Dan saat itu pulalah kepribadiannya mengakar. Seperti generasi perang dunia ke 2 saja, kita tak mendefinisikan mereka sebagai generasi yang dilahirkan tahun 1945, bukan?
Jadi, bila kita melihat nama-nama tokoh Millennials Rising maka di situ bertaburan nama-nama seperti Bill Gates, Steve Jobs, Larry Page, Jerry Yang, David Vilo, Mark Zuckerberg yang dilahirkan antara 1960-an dan 1970-an. Tetapi begitu memasuki tahun 2000, dunia yang mereka hadapi benar-benar sangat kompetitif, sangat terbuka, saling mematikan, tak cukup hanya inovasi produk (melainkan juga inovasi keuangan) dan mereka berhadapan dengan pasar generasi narsis!
Ini jelas benar-benar berbeda. Menjual hero pada generasi narsis jelas tidak mudah. Setiap kali berfoto bersama, mereka akan selalu fokus pada diri masing-masing. Setiap kali menyaksikan wajahnya jelek, mereka akan minta pemotretan diulang, tidak peduli kalau teman-temannya bilang fotonya sudah bagus. Maka dalam setiap perubahan mereka akan menjadi akan sangat menuntut. Menganggap perubahan itu buruk hanya semata-mata “Di situ saya tak terlihat lebih baik” atau “Kini wajah saya kurang keren”.
Kalau pahlawan artinya orang yang berkorban maka mereka yang narsis justru akan sulit menjadi pahlawan karena tak mau berkorban. Apalagi politik zaman sekarang tak memberi ruang bagi pemikir-pemikir dan pejuang-pejuang membangun fondasi jangka panjang nanti. Ini membuat negeri ini serba reaktif seperti kita menangani subisidi BBM yang sekarang menyandera negeri yang membuat neraca pembayaran defisit dan harga-harga pangan terus meroket karena diimpor dengan dollar yang semakin mahal.
Generation Me
Maka Millenials Rising pun “dihajar” oleh psikolog Jean Verge yang tahun 2006 menulis buku Generation Me. Bagi Verge, sulit bagi generasi narsistik untuk berkorban bagi yang lain.
Masalahnya, orang-orang tua mereka malah asik nonton opera sabun. Semakin materialistik. Seperti menunjuk penyanyi-penyanyi dangdut yang satu persatu terungkap telah “dinikahi” oleh penipu-penipu ulung dan lalu minta cerai sebelum melewati masa-masa sulit. Terlihat betul peran orang-orang tua matre yang mengukuhkan sikap-sikap korup pada anak-anak dan menantunya. Bagi mereka anak-anak sukses itu identik dengan resepsi pernikahan yang mewah, bermobil Alpard atau Lamborghini meski usia baru 25-an, dan \”pengusaha\”.
Ini jelas benar-benar keliru. Pahlawan itu bukan yang seperti itu. Ibu-Ayah, jelas akan menjadi pahlawan bagi keluarga. Artinya mereka harus menjadi sumber kebanggaan yang bisa \”dijual\” pada keturunan, dan syukur-syukur bisa \”dijual\” untuk menjadi kebanggaan bangsa atau dunia.
Intinya adalah pengorbanan, kerja keras dan disiplin. Di kantor saya yang tenang, yang berada di tengah-tengah kampung, saya sering merenung saat melepas karyawan-karyawan yang tak lolos seleksi. Maaf, bukannya mereka tak berkinerja, melainkan kurang tahan saja, terlalu cepat menyerah. Banyak omong besar yang menjanjikan tetapi “poor delivery”, senang menyalahkan orang lain (blaming others) terhadap kinerjanya yang buruk. Bukannya mengoreksi diri, malah banyak menyalahkan keadaan.
Mereka ini tak akan pernah pernah menuju puncak, kalau belum apa-apa sudah berhenti dan kehabisan nafas . Maka jangan menggebu-gebu di depan. Bagi kaum muda, ibarat berlari, medan yang kalian lewati adalah sebuah medan marathon. Dan di medan seperti itulah, hanya pelari yang bodohlah yang memilih sprint di depan. Dan ketika nafasnya tersengal-sengal, mereka pun menyalahkan orang-orang lain yang mendahuluinya.
Ingatlah dalam perjalanan panjang itu kita mungkin akan berkali-kali terjatuh dan terluka. Kita akan mengalami masa pasang-surut, kegetiran dan sakit. Tetapi syarat untuk menjadi pemenang sebenarnya sederhana saja: Berdamailah dengan diri sendiri, dan jangan berhenti meninggalkan gelanggang sebelum menyentuh garis akhir. Sebab pemenang bukanlah mereka yang berhenti.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan