Turnaround – Sindo, 7 November 2013

Rabu (6/11) saya diminta berbicara dalam townhall meeting seluruh pekerja Pertamina di Refineri Unit 2 Dumai. Kota yang dulu terisolasi dan hidup karena keberadaan kilang Pertamina ini kini sudah terbilang ramai dan relatif terakses.

Selain Pertamina dan Chevron, di situ ada Wilmar dengan ribuan hektar kebun sawit dan pabrik kelapa sawit (PKS) yang menghasilkan crude palm oil (CPO). Topiknya tentang turnaround yang sudah lama tak kita dengar. Entah kenapa birokrasi dan korporasi kita lebih menyukai kata transformasi ketimbang turnaround dalam membincangkan perubahan. Padahal, dalam lingkungan yang serbaterbuka dewasa ini, change-turnaround dan transformasi adalah satu paket.

Adalah entrepreneur yang memicu perubahan, pertumbuhan ekonomi, tetapi juga sekaligus sebagai mesin penghancur ekonomi dunia dengan inovasi-inovasinya, termasuk financial innovation. Dan ketika terjadi krisis, apa lagi yang dibutuhkan selain crisis managementturnaround management, dan change!

Tune-Up

Untuk Refineri 2-Dumai, turnaround diartikan sebagai titik balik untuk memulai sesuatu setelah mesin-mesin kilang dipakai sekian lama. Sebagai sebuah proses, demi menjaga proses produksi selanjutnya agar sesuai dengan yang direncanakan( baik quality, quantity, safety maupun waktunya), masing-masing diistirahatkan, diperiksa, disetel ulang, dan di-tuning-up. Persis seperti kakek-kakek kaya Indonesia yang kini gemar menjalankan terapi stem cell. Menurut mereka, stem cell adalah sebuah proses peremajaan sel sehingga mereka bugar dan “muda” kembali.

Saya suka terkekeh-kekeh mendengar kakek-kakek mantan pejabat yang tiba-tiba berjalan didampingi gadis muda belia yang kini menjadi pendampingnya. Mereka seperti lupa umur. Mesinnya tua, tetapi sirkulasinya muda. Begitulah kurang lebih anekdot mereka. Persis seperti program turnaround di Refineri Unit 2-Dumai. Mesin-mesin yang dibangun pada tahun 1970-an dan sudah terbilang tua itu disetel ulang, diremajakan. Lalu bagaimana pikiran manusia-manusianya? Kalau diibaratkan stem cell,dari pengamatan saya, kakek-kakek itu sudah “remaja” dulu mindset-nya baru mesin badannya disetel ulang.

Kalau pabrik, rasanya ini terjadi sebaliknya. Itu sebabnya, di unit pengilangan itu saya katakan ketika sirkulasi mesin disetel ulang, pikiran-pikiran kita pun perlu ditata ulang. Kita perlu menyesuaikan kembali perilaku-perilaku kita di era yang serbaterbuka ini dari model I-Centric yang terlalu teknis (dan bahkan tersetel birokratis) menjadi We- Centric yang lebih humanis dan siap bergelayut dalam medan yang dinamis. Misalnya saja, kesadaran menghemat biaya produksi dan overhead. Ini menjadi amat penting di erap asca-peakoil yang membuat harga crude oil makin mahal.

Dari situ saya melihat, setelan- setelan lama masih banyak dianut orang-orang manufaktur yang terbiasa dibesarkan dalam kultur kerja yang statis, prosedural, dilarang berbicara, kerja saja, nurut atasan, yang selama bertahun-tahun ya kerjanya begitu saja at any cost dengan pasar yang stabil. Itu berakibat job satisfaction sangat rendah. Manusia-manusia kreatif menjadi mata angin, miskin inisiatif, sulit menemukan cara-cara baru, dan buta terhadap sinyal-sinyal gangguan. Lebih jauh lagi, menjadi amat birokratis dan berkembang kultur menyalahkan (blaming others).

Kita lupa bahwa kita tak bisa menyelesaikan masalah sendirian. Dalam situasi tertentu, halhal seperti itu jarang disadari para eksekutif karena mereka takpunya keberanian berbicara. Paling-paling orang hanya curhat lewat status yang ditulis di layar monitor BlackBerry atau Facebook masing-masing. Konflik tidak terbuka, tetapi ada api dalam sekam yang menghambat lingkungan kerja yang harmonis. Ujung-ujungnya pasti menghambat efisiensi dan perusahaan sulit melakukan penghematan.

Dalam jangka panjang hal ini dapat merusak corporate DNA karena kaum muda yang menjadi sumber pembaruan masa depan terbentuk dengan benihbenih “luka” yang tertekan dan kelak dapat menjadi bad leader. Ibarat telur, mereka akan kesulitan menjadi burung-burung yang tangguh. Seperti kata Carl Lewis, “It may be hard for an egg to turn into a bird: it would be a jolly sight harder for it to learn to fly while remaining an egg.” Ya, kita suka dengan telur saat ini. Ia bulat dan bisa bermanfaat, tak akan pergi ke mana-mana. Ia di situ-situ saja, anteng menjadi a decent egg. Lalu Carl Lewis menutup kalimatnya. “Kalau begitu terus, dia akan menjadi telur busuk. Maka pilihannya hanya ini: menetas atau menjadi telur busuk.”

Corporate Renewal 

Jadi, ada atau tiada krisis, turnaround itu diperlukan. Bukan cuma untuk menyetel ulang sirkulasi darah atau aliran oli pabrik, tetapi juga untuk menyetel ulang pikiran-pikiran manusia. Kurang lebih seperti pikiran-pikiran manusia Indonesia tua yang semasa mudanya disetel damai-tenteram-stabil oleh pemerintah Orde Baru lewat penataran P4 yang amat intensif. Kini kita berada di era yang turbulen dengan lingkungan yang bergerak dan stakeholdernya “amat bermain”.

Saya kira bukan hanya ibu negara yang perlu menyetel ulang cara menulis di dunia maya, melainkan kita semua yang terbiasatelling (not communicating) atau bahkan terbiasa limiting (membatasi) dan bukan developing (mengembangkan). Kita lama terbiasa berhadapan dengan “massa” yang takut, patuh, dan diam yang hidup dalam transisi yang blaming (saling menyalahkan). Inti dariturnaround adalah renewal dan bagi perusahaan berarti corporate renewal atau bagi birokrasi adalah me-recode DNA.

Kita perlu mengembangkan cara-cara baru dalam kehidupan yang demokratik dan transparan. Ini semua ada dalam dunia baru yang lebih humanis dengan model We- Centric (bukan lagi I-Centric yang dominan dan arogan). Saya kira, kalau buruh-buruh ingin sejahtera, mereka tidak bisa bermain “tekan dan sweeping” sambil memasang tone tinggi. Buruh dan manajemen bukanlah berada dalam posisi berperang, kecuali Anda bukan buruh yang sesungguhnya. Buruh dan manajemen sama-sama perlu mengoreksi diri, demikian juga pemerintah dalam menjamin infrastruktur yang memudahkan orang bekerja dan mengurangi beban kehidupan masyarakat dengan rumah murah dan dekat dengan tempat kerja.

We-Centric principle menekankan pada pentingnya metode yang melibatkan (including), commitment (bukan sekadar compliant),respectmutual trust, terbuka, saling memahami, kejelasan arah, sense of direction, fokus pada keunggulan orang lain (bukan mencari-cari kesalahan), dan memupuk kerja sama. Akhirnya saya harus tutup dengan quotes dari Will Rogers yang sangat saya sukai:

“Jika Anda tiba-tiba menyadari bahwa Anda tengah terjebak dalam sebuah lubang yang dalam, berhentilah menggali tanahnya.” Pertanyaannya adalah sadarkah kita bahwa dalam perebutan kekuatan, sesungguhnya kita tengah terperangkap bersama dalam lubang yang makin dalam. So, putarlah arah sekarang juga!

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *