Membentuk Masyarakat Berkeuangan – Media Indonesia,7 November 2013

Kamilus Tupen pulang kampung. Setelah dua tahun menjadi TKI di Malaysia, ia punya cukup uang untuk memperbaiki rumahnya di pulau Adonara, NTT. Namun, di kampung hatinya gundah. Ia melihat kontras dengan apa yang disaksikan di Malaysia.

Di Malaysia tak ada tanah yang ditelantarkan walau tak ada buruh. Semua orang mudah berhubungan dengan bank sehingga dapat mendatangkan buruh dari luar negri agar tanah bisa diolah menjadi kebun, lalu kebun menjadi usaha besar yang menguntungkan.

Di Adonara sebaliknya. Tanah dan buruh berlimpah, keduanya sama-sama mengganggur. \”Kami miskin bukan karena malas, melainkan karena tak ada sistem yang mempertemukan keduanya,\” ujar Tupen.

Ia pun mendirikan komunitas Lewowerang yang memberi pinjaman bukan berupa uang, melainkan tenaga kerja. Maka, terjadilah pertemuan keduanya sehingga kelak tak ada lagi tenaga atau sumber daya yang menganggur.

Inklusi Keuangan 

Sepenggal cerita tadi menjelaskan pentingnya inklusi keuangan: Uang bukan urusan pengusaha besar saja, melainkan urusan masyarakat sehari-hari. Akses terhadap uang yang terbuka lebar untuk kegiatan produktif dapat mencegah persoalan sosial seperti pengangguran dan kelaparan.

Ini persis seperti ucapan Kofi Anan dalam pidato akhir tahunnya 10 tahun lalu: \”Secara kasatmata mudah dilihat, kaum papa di seluruh dunia tak memiliki akses terhadap jasa-jasa keuangan.\” Setahun berikutnya, ucapan Annan direspons oleh India yang memberikan kemudahan bagi kaum miskin membuka rekening di bank.

Di Indonesia, akses atas jasa keuangan menjadi topik penting dalam kebijakan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Secara khusus pula akses terhadap jasa keuangan menjadi perbincangan perdana talkshow yang saya pandu di Metro TV (Rabu, 6 November 2013), Dialog Perbankan dan Ekonomi. Dalam dialog itu, kami menampilkan Fransiska Oei-Direktur Kepatuhan Bank Danamon, Aviliani-Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas, dan Sri Rahayu Widodo – Deputi Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen.

Ada tiga hal yang kita bahas, yaitu aspek regulasi untuk memberikan jangkauan yang lebih luas, partisipasi perbankan, dan perlindungan konsumen yang seimbang.

Ketiga narasumber saya itu percaya, inklusi keuangan dapat mendorong perekonomian Indonesia ke tahap yang lebih produktif. Sebagai gambaran, saat ini di Malaysia dan Thailand saja, loan to gross domestic product (GDP) masing-masing mencapai posisi 117% dan 99%. Jumlah yang menjelaskan mengapa di dua negeri itu, kewirausahaan sudah menjadi hal yang biasa sehingga tak ada lagi tanah dan buruh dibiarkan menganggur. Sementara di Indonesia, Loan to GDP adalah 32.9%.

Menurut financial iclusion index, Indonesia masih punya ruang besar untuk memperluas akses jasa-jasa keuangan kepada khalayaknya. Posisi tertinggi, index itu ditempati negara-negara industri dengan skor 92%, sedangkan yang terendah ada di negara-negara kawasan subsahara (12%). Indonesia baru 19,6%.

Itu sebabnya, Fransisca Oei, sangat setuju untuk memperluas pemberian akses jasa keuangan, sesuai dengan visi Danamon ,yaitu Peduli dan membantu jutaan orang untuk mencapai kesejahteraan.

Tabungan Rakyat

Saya jadi teringat dengan kisah suami-istri yang bermimpi pergi naik haji setelah tabungannya cukup. Di suatu desa terpencil di Pulau Lombok, pasangan yang taat beribadah itu menyisihkan uang dari hari ke hari. Karena akses pada jasa keuangan tak ada, mereka memasukkan lembaran uang kertas pada lubang bambu di pagar pekarangan rumah.

Sampai waktunya cukup, mereka pun membongkar tiang-tiang bamboo dan ‘memanen’ tabungan. Namun, bukan kebahagiaan yang terucap, melainkan tetesan air mata. Uang itu habis berlubang-lubang dimakan kutu bambo dan rayap.

Andaikan uang itu ditabung di lembaga keuangan yang bertanggung jawab, sudah pasti uang mereka aman. Bank pun dapat memutar uang itu selama belum dibutuhkan.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *