Dari bandara Auckland – New Zealand, saya menumpang sebuah taksi menuju kota kecil di seberang teluk kota Auckland. Patrick Zambesy, pria berusia 60 tahun keturunan Samoa yang berimigrasi ke New Zealand sekitar 25 tahun lalu menyapa saya dengan hangat. Mantan pemain rugby itu bertanya berapa harga seliter bensin di Indonesia. Ketika saya katakan sekitar 60 cent US Dolar, ia geleng-geleng kepala. \”Pasti hidup di negeri Anda lebih enak,\” ujarnya.
Saya bisa maklum, saat anak saya kos di sebuah keluarga di New Zealand, Ia membayar sekitar 200 dolar setiap minggu. Rumah keluarga itu bagus, tapi begitu ia pindah, keluarga itu menangis. Pasangan berusia 60-tahunan itu ternyata hanya punya penghasilan dari satu orang yang kos di rumah itu. Mereka terlihat sejahtera, tetapi semuanya dituntut bekerja keras untuk bisa makan enak. Rumah bagus, kesehatan diutamakan pemerintah, tapi rakyatnya tak punya banyak tabungan.
Di twitter saya, menyapa seorang pembaca. \”Berapa harga seliter bensin di Auckland, pak?\” Patrick memberi tahu saya, ia membayar 2,1 dollar New Zealand atau setara Rp 18 ribu. Ini berarti tiga kali harga premium atau sekitar dua kali harga Pertamax di tanah air. Yang lain meneruskan pertanyaannya. \”Kalau harga BBM lebih mahal, kenapa mereka bisa lebih kaya dari kita?\”. Sedangkan aktivis gerakan mahasiswa yang menentang kenaikan harga BBM menulis, \”jangan bandingkan dengan New Zealand, mereka jelas negara kaya.\”
Masalah Kaya -Miskin
Selain masalah energy, keributan kedua yang masih akan menjadi masalah besar bagi para politisi dan perancang kebijakan ekonomi nasional di masa depan adalah soal pendapat: Kita ini negara kaya atau negara miskin? Sama ributnya seperti kita mempersoalkan hutang dan sumbangan. Yang satu bilang kita masih miskin jadi layak diberi bantuan, berhutang, dan jangan memberi bantuan kepada asing karena masih miskin. Sedangkan yang lain mengatakan, duit kita sudah banyak kok, kita ini negara kaya, anggota G 20, jangan melulu membuat hutang.
Jawaban yang benar sesungguhnya kita adalah negara yang membingungkan. Kaya iya, miskin juga. Gabungan keduanya juga ada: Sudah kaya merasa dan berprilaku seperti kaum miskin, atau yang masih miskin namun merasa sudah kaya. Kalau Anda menjadi bagian dari penguasa atau sedang memimpin maka yang akan Anda tonjolkan adalah jumlah orang kaya dan kelas menengah yang terus tumbuh. Namun kalau Anda berafiliasi dengan partai-partai oposisi, maka yang Anda tonjolkan adalah data-data sebaliknya yang ternyata juga ada benarnya. Keduanya atau ketiga-tiganya secara data benar, kasat mata juga iya.
Jumlah Menengah dan Kaya
Mau pakai data apa saja, walaupun jumlah dan satuannya tidak sama, yang terbaca pasti sama: Jumlah orang kaya, orang superkaya, keluarga kelas menengah, pembelian property mahal, otomotif dan seterusnya naik terus. Bahkan di beberapa toko tas mewah di Paris bisa Anda lihat sendiri, sekitar 30 persen orang yang antre berbelanja adalah wisatawan asal Indonesia (tertinggi kedua setelah China).
Global Wealth Report of Credit Suisse, misalnya, melaporkan jumlah orang superkaya Indonesia telah menjadi 104 ribu pada tahun 2012. Ini pun disertai prediksi, pada tahun 2017 jumlahnya akan menjadi dua kali lipat sebesar 207 ribu. Survei lainnya yang dilakukan oleh The Boston Consulting Group (BCG) menyebutkan, new middle-class and affluent consumers (MACs) Indonesia pada tahun lalu telah mencapai 74 juta orang dan masih akan menjadi dua kali lipat (141 juta) tujuh tahun dari sekarang (2020). Ini berarti, jumlah orang kaya yang disebut BCG sebagai MACs yang tinggal di pulau Jawa saja jauh berada di atas jumlah penduduk Thailand.
Pendapatan perkapita kita juga diproyeksikan akan menjadi USD 6,000 tiga tahun dari sekarang. Tak mengherankan bila akhir tahun lalu penjualan mobil sepanjang tahun 2012 mencapai 1.116.230 unit naik dari 894.164 unit. Sedangkan penjualan sepeda motor malah turun dari 8.034.000 unit menjadi 7.141.000 unit. Kebanyakan praktisi otomotif melihat pergerakan ini sebagai insiden \”naik kelas\” perekonomian masyarakat, dari buruh berkerah biru menjadi kelas menengah berkerah putih.
Dengan total mobil (di luar bis dan truk) yang beredar sekitar 10 juta unit, kalau rata-rata per kendaraan roda empat itu minum 40 liter bensin per minggu, atau 2000 liter setahun, hitung saja berapa subsidi BBM yang disedot kelompok ini? Bandingkan dengan rata-rata sepeda motor yang hanya mengkonsumsi 2-4 liter bensin seminggu, atau 150 liter setahun. Jumlah sepeda motor saat ini memang sudah sekitar 70 juta unit sehingga secara total tampak besar, menjadi 10,5 miliar liter setahun. Bandingkan dengan konsumsi bensin untuk mobil yang setahun menenggak 20 miliar liter.
Kemiskinan dan Ketimpangan
Saat jumlah kelas menengah meningkat, data sebaliknya juga muncul dan benar adanya. Itu sebabnya angka koefisien Gini Indonesia, yang mengukur disparitas ekonomi, cenderung membesar. Menurut BPS, bila pada tahun 2007 koefisien Gini masih 0,38, maka pada tahun 2011 telah mencapai 0,41. Bandingkanlah dengan – Negara sejahtera yang jauh lebih merata dengan tingkat korupsi yang rendah seperti Norwegia, Swedia, Denmark, Perancis, Jerman, dan Swiss yang memiliki koefisien Gini di bawah 0.3 (merata).
Berdasarkan data dari BPS, fakta lain bisa ditemukan. Ketika 20 persen penduduk kelompok berpenghasilan tertinggi berhasil mengalami \”kenaikan kelas\” dengan menguasai 41 persen dari pendapatan nasional (tahun 2009) menjadi sekitar 48 persen di tahun 2012, maka kelas-kelas sosial di bawahnya mengalami penurunan. Sekitar 40 persen masyarakat berpenghasilan menengah justru turun dari sekitar 38,5 persen menjadi sekitar 34 persen. Demikian pula kalangan miskin yang berada di 40 persen terbawah, bila tahun 2009 mendapatkan 20,5 persen dari pendapatan nasional, maka pada tahun 2012 hanya bisa mendulang sekitar 18 persen.
Tak mengherankan bila data lain menunjukkan bahwa porsi terbesar partisipasi ekonomi masyarakat kita berada di sektor informal yang mencapai sekitar 54,5 juta orang. Mereka ini umumnya tak bepenghasilan tetap, tak memiliki rumah sendiri yang layak ditempati secara tetap, bahkan banyak yang tak punya KTP, Surat Nikah, NPWP atau akta kelahiran sehingga tak punya akses terhadap sektor keuangan, asuransi dan permodalan. Selain itu di banyak pulau terpencil, mereka hidup berkelompok-kelompok kecil yang berjauhan sehingga sulit dijangkau telekomunikasi, kabel istrik, dan jalan raya.
Mereka memang tak butuh banyak BBM untuk bergaya hidup seperti masyarakat perkotaan Indonesia lainnya. Mereka hanya butuh beberapa liter untuk melaut, yang tak mengeluh dengan krnaikan harga BBM karena sehari-hari mereka telah membayar antara Rp 25.000-40.000 untuk satu liter bensin. Jadi naik seribu atau dua ribu rupiah bagi mereka bukanlah urusan yang harus ditangisi seperti yang dilakukan orang-orang kota.
Namun demikian, konsumsi rokok di kalangan miskin terbilang tinggi sehingga biaya dan risiko kesehatan yang mereka tanggung tidaklah kecil. Perhatikanlah, bila pada tahun 1970 konsumsi rokok baru mencapai 33 miliar batang per tahun, di tahun 2011 telah menjadi 270 miliar batang. Seorang pejabat Kementrian Kesehatan pernah menyebutkan, ada 70 juta perokok Indonesia yang menghisap 20 batang rokok sehari. Harap diingat harga sebungkus rokok berkisar dua hingga tiga kali lipat harga satu liter bensin premium. Bagi kalangan miskin, merokok bahkan jauh lebih berarti ketimbang membeli bensin meski harganya lebih mahal.
Secara menyeluruh memang ada persoalan dalam perekonomian dan kesejahteraan di Indonesia. Namun memanjakan kelas menengah ke atas tentu bukanlah pilihan yang baik, apalagi menggelorakan subsidi BBM yang jelas-jelas sangat menguntungkan masyarakat berpenghasilan kaya. Namun, menurunkan subsidi sedikit-sedikit untuk orang kaya juga bukan pilihan yang bagus. Yang benar, barang subsidi hanya boleh diberikan untuk kaum miskin yang membutuhkannya. Dan pilihannya pun tersedia sangat luas.
Di New Zealand, dan negara-negara sejahtera lainnya harga BBM mahal, tapi mereka semua bisa memiliki rumah yang layak, sekolah berkualitas tinggi gratis, dan fasilitas kesehatan yang premium. Di Indonesia harga BBM murah, tetapi rakyatnya tak punya rumah yang memadai, infrastrukturnya buruk, fasilitas kesehatan dan pendidikan masih jauh dari kelas dunia.
Jadi pilih yang mana? Memasuki dunia baru bingung, meninggalkan yang lama juga tidak mau. Persis seperti remaja yang galau. Ini hanyalah sebagian kecil dari banyak masalah lain yang akan berubah menjadi besar lima dan 10 tahun dari sekarang. Bukan karena energy, bbm, harga atau masalah lainnya, tapi pola pikirnya.
Rhenald Kasali
founder Rumah Perubahan