Tak banyak yang menyadari bumi ini semakin padat dan terkontaminasi. Dengan 8,1 miliar penduduk, lebih dari 55 persen air yang ada di dalam perut bumi telah menjadi rebutan. Bahkan sekitar 1 miliar manusia diperkirakan tak punya akses terhadap air. Di daerah yang banyak air sekalipun, padatnya manusia telah mengakibatkan air-air bersih terkontaminasi oleh mineral-mineral berbahaya dari tiga sumber: Industri (bahan-bahan kimia berbahaya, unorganic minerals), pertanian (pestisida dan pupuk kimia) serta limbah manusia.
Air bersih yang dulu mengalir dari pegunungan (yang sampai sekarang masih dijadikan tema iklan dalam pemasaran air-air mineral dalam kemasan), kini mulai tampak cokelat. Bahkan di tepi kota menghitam kental dengan berbagai jenis sampah, mulai dari oli bekas, tas kresek, diapers, limbah pabrik, hingga bangkai binatang.
Air itu lalu meresap ke dalam perut bumi, lalu disedot ke atas untuk konsumsi manusia. Pertanyaannya: Ketika alam berubah, masih layakkah mengonsumsi air dari perut bumi?
Air Dari Kelembapan Udara
Hari-hari ini di Rumah Perubahan kami sedang membangun Rumah Tempe sumbangan dari Bank BJB dengan teknologi yang dikembangkan dari Mercy Corps. Produksinya dibuat higienis sehingga kelak bisa dipakai untuk melatih produsen tempe rumahan melakukan transformasi.
Dewasa ini diperkirakan ada sekitar 150.000 hingga 200.000 pengrajin tahu dan tempe rumahan di seluruh Indonesia. Bayangkan kalau kelak air bersih sulit didapat, bagaimana masa depan mereka? Sedangkan masyarakatnya akan terus naik kelas dan menuntut kebersihan. Ada yang bilang biarkan saja karena yang buat tempenya enak itu karena kedelainya diinjak-injak dan menetes keringat pekerjanya. Tentu saja ini tak sepenuhnya benar. Masyarakat berubah, produsennya pun harus beradaptasi.
Semula saya sendiri bingung bagaimana kami mendapatkan airnya. Maklum untuk mengolah satu kilogram kedelai menjadi tempe dibutuhkan sekitar 15-20 liter air untuk mencuci, merebus, dan merendamnya. Tetapi syukurlah, Rumah Perubahan baru saja mendapatkan sumbangan dari seorang penemu (inventor) Indonesia berupa mesin penangkap air dari udara.
Alat pembuat air ini bagi saya merupakan bagian dari transformasi yang juga akan mengubah banyak hal. Mencari air ke bawah bakal berubah ke atas, yang jauh lebih mudah, lebih sehat, tetap kaya oksigen, lebih ramah lingkungan, bahkan bisa lebih hematenergy.
Misi Rumah Perubahan sendiri adalah menjadi role model social entreprise yang mengedepankan pentingnya transformasi. Sedangkan tahu tempe adalah industri rumahan rakyat yang sangat terkena dampak dari berbagai perubahan yang terjadi belakangan ini. Bayangkan saja, ketika energi berbasiskan fossil semakin langka, bahan kedelai pun semakin mahal, sebab di Barat, kedelai telah dikonversi sebagai pengganti energi.
Selain harga bahan kedelai, pengrajin juga mulai mengeluhkan kualitas air. Sumur-sumur di dekat sungai mulai terkontaminasi, semakin dekat letaknya dengan septic-tank yang dibuat rumah-rumah kontrakan. Perubahan iklim dan ledakan penduduk berdampak buruk terhadap kualitas pangan Indonesia.
Budhi Haryanto, penemu alat penangkap air dari kelembapan udara itu membantu saya menginstal mesin buatannya. Indonesia adalah negeri yang kadar humidity (kelembapan udaranya) tinggi. Teknologi yang ia kembangkan bahkan bisa mendapat 4 hal sekaligus: air embun yang tak terkontaminasi, udara bersih dan dingin semacam pengganti AC, dryer untuk mengeringkan pakaian, dan air panas untuk mandi. Semua itu bisa didapat dari satu sistem dengan listrik satu kali yang jauh lebih hemat.
Minggu lalu saya menerima kabar, The University of Engineering and Technology (UTEC) di Peru mulai mengembangkan teknologi serupa untuk menolong penduduk yang tinggal di gurun-gurun di sekitar Lima yang tandus. Dengan sebuah billboard iklan, mereka merubah gaya hidup sekaligus mendapatkan air untuk sekitar 100 rumah tangga. Dalam tempo tiga bulan, mereka bisa menghasilkan 9.450 liter.
Kabar ini segera disebarluaskan di kampus terkemuka, MIT di Boston. Ketika mereka baru memilikannya di tahun 2013, penemu Indonesia sudah lebih dulu 12 tahun. Kini Budhi sedang pada tahap komersialisasi yang akan mengubah banyak hal. Ia juga sudah mendapatkan hak patennya di sini dan sejumlah negara. Bahkan pada tahun 2005, teknologi Systemized Dew Process (SDP) yang ia kembangkan meraih the INNOVATION AWARD dalam AHR Expo di Orlando, Florida, Amerika Serikat.
Saya yakin air dan udara bersih yang tak terkontaminasi akan menjadi kebutuhan yang tak bisa ditawar-tawar. Sehat itu adalah sebuah kebutuhan. Dan kelak, daerah-daerah tandus akan subur kembali, dan rumah tangga akan kembali membuat air minumnya sendiri. Bukan dari tanah, melainkan dari udara.
Rhenald Kasali
founder Rumah Perubahan