Plutokrat – Jawa Pos, 2 Juli 2013

Dunia ini memang tak berhenti berubah. Bila di Indonesia kita masih mempersoalkan berapa persen dari pendapatan nasional yang dinikmati oleh 20% kalangan teratas dan berapa persen yang dinikmati oleh 40% yang berada terbawah (kalangan miskin), maka di negara-negara industri, fokus analisisnya sudah ditujukan kepada 1% yang berada di paling atas yang berpotensi menjadi motor penggerak ekonomi dunia.

Satu persen penduduk terkaya, atau superkaya yang sekarang disebut sebagai kalangan Plutokrat itu ternyata berkembang begitu pesat, meninggalkan penduduk-peduduk lainnya. Freeland (2012)  memberi contoh, pada tahun 2005, total kesejahteraan yang dinikmati 40 persen penduduk terbawah di Amerika Serikat mencapai sekitar USD 95 miliar.  Namun pada saat yang sama dunia mendengar kekayaan Bill Gates saja telah mencapai USD 46,5 miliar, dan Warren Bufett USD 44 miliar. Jadi  pada tahun 2005 kekayaan dari dua orang plutokrat itu saja sudah menyamai total kesejahteraan 40 persen masyarakat terbawah Amerika Serikat.

Menurut majalah Forbes, sebanyak 1.426 orang terkaya di dunia pada tahun 2013  memiliki kekayaan 5,4 triliun dollar AS. Dan kalau saya hitung dari 25 orang Plutokrat Indonesia yang merupakan bagian dari 1.436 plutokrat dunia versi Forbes itu (walaupun banyak yang mengaku punya harta lebih besar dari 25 orang itu dan tak masuk dalam daftar yang dikeluarkan Forbes), maka jumlah kekayaannya mencapai sekitar USD 64 miliar. Kita asumsikan saja data itu valid.   Bila pada tahun 2012 GDP Indonesia mencapai USD 878 miliar, maka ini berarti 25 plutokrat Indonesia berhasil menikmati sekitar 7,3 persen PDB.

Selain kaya karena inovasi, mereka juga semakin makmur berkat globalisasi yang mengakibatkan jangkauan pasar tak terbatasi. Namun  selain itu, globalisasi juga telah “memindahkan” kekayaan kelas menengah dari negara-negara industri karena pabrik-pabrik tempat mereka bekerja dipindahkan ke negara lain. Bukan hanya GE saja yang merelokasi pabrik-pabriknya ke luar negeri, melainkan juga Toyota (Jepang), Nokia (Finland), dan ribuan perusahaan dunia lainnya.

Cara berpikir industri mereka juga beralih, dari pandangan kelas menengah yang nasionalis menjadi low-cost producers yang tak berbasiskan kebangsaan.  Karena  beroperasi lintas negara, mereka pun sulit diklaim merupakan aset dari bangsa mana.  Sebagian plutokrat Indonesia yang dinukil oleh Forbes ternyata telah menetap di sejumlah negara tetangga. Demikian pula dengan plutokrat asal Australia yang kini berkewarganegaraan Amerika Serikat dan lain sebagainya.

Demikianlah,  saat para pekerja Tekstil di Amerika menangis, buruh-buruh di sepanjang pesisir selatan China justru kebagian rezeki besar. Atau ketika para pekerja di Call Center milik ATT di California ditutup, kaum muda di Bangalore India justru menikmati kedatangan mereka.  Kota-kota besar  baru di Asia dan Amerika Latin bermunculan, dan tycoon-tycoon besar menggelorakan semangat kewirausahaan. Namun di sisi lain, China menghadapi masalah ketimpangan sosial yang besar ketika petani-petani yang berada di daerah pedalaman tak bisa mengejar kecepatan lari orang-orang kaya baru dari sektor industri dan jasa itu.

Ketimpangan dan Perubahan

Setiap kali berbicara tentang ketimpangan sosial, maka setiap ekonom selalu teringat dengan Simon Kuznets yang terkenal dengan kurva U – nya. Intinya, setiap bangsa yang mengalami proses transformasi industrialisasi selalu akan mengalami tantangan disparitas. Dari disparitas rendah, tinggi, lalu rendah lagi.

Sebelum dunia mengenal industrialisasi, setiap masyarakat selalu mengalami pemerataan ekonomi yang baik. Jarak antara orang kaya dan miskin tidak begitu jauh. Kita hidup sama-sama cukup atau sama-sama miskin.  Tetapi industrialisasi mengubah segalanya.  Pada mulanya dunia memang tidak merasakan ancaman dari proses industrialisasi karena negara-negara industri  mampu menjaga teritorialnya dan berhasil memagari kepentingan nasional dengan prinsip kesejahteraan.  Mereka membangun perekonomian dengan semangat penciptaan kelas menengah.

Namun dunia terus berubah, impian kelas menengah pun pudar.  Saat meninggalkan New Zealand hari Minggu kemarin saya mendengar keluhan  kelas menengah yang  kesulitan membeli rumah. Impian yang dibangun bertahun-tahun pudar saat negeri dilanda krisis dan pemerintah membuka pintu kepada warga negara asing untuk turut membeli rumah.  Karena jaminan kesehatan dan keamanan bagus, maka beralihlah imigran-imigran kaya dari berbagai kota di pesisir Asia Timur.  Mereka membeli rumah-rumah bagus dua atau tiga kali lebih mahal dari kemampuan penduduk lokal. Cara berjualan rumah beralih dari penawaran biasa ke auction, yang berarti siapa berani bayar lebih mahal dia yang mendapatkannya.

Sewaktu ditanya apakah itu tidak mahal, mereka menunjukkan fakta, di mega city tempat mereka tinggal di Asia harga rumah sudah jauh di atas itu.  Di Indonesia plutokrat  baru juga bermunculan. Global Wealth Report of Credit Suisse, melaporkan jumlah orang superkaya Indonesia yang pada tahun 2012 ada 104 ribu, dan pada tahun  2017 jumlahnya akan menjadi  207 ribu. Dihadapkan banyak persoalan baru,  Indonesia harus siap menyambut perubahan ini.

Rhenald Kasali
founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *