School of Climate Change – Sindo, 16 Mei 2013

Di dunia ini ada beragam pandangan tentang perubahan iklim. Seperti biasa, setiap aliran selalu ada artinya. Jadi ada yang percaya (bahwa iklim itu terus berubah) dan ada pula yang meragukannya. Negara-negara kepulauan yang nyaris tenggelam akibat es mencair di Kutub Utara, mau tak mau mempercayai Vanuadu dan Maladewa, praktis hidup dalam ancaman dan mereka berupaya keras.

Mantan Menteri KLH, Rachmat Witoelar bercerita, bagaimana ia dibuat percaya oleh negara-negara Skandinavia yang berhubungan langsung dengan perubahan tersebut, “saya diajak Menteri Lingkungan Hidup Swedia, menumpang pesawat, lalu naik helikopter, dan dari situ kami naik kereta es yang ditarik dari puluhan ekor anjing melewati jalan es. Setiba di suatu tempat kami menyaksikan sendiri bagaimana gumpalan-gumpalan raksasa es mencair. Ia percaya tanpa melihat hal itu, umumnya orang tidak percaya.

Satu Bumi Dua Populasi

Hari Senin yang lalu saya diundang oleh Prof. Emil Salim bertemu dikantor Wantimpres. Ia bertanya, Why School Climate? Wibawa Prof. Emil yang kritis namun selalu friendly yang membuat saya harus berpikir ekstra keras. Rupanya, alam Climate Change, yang ia pikirkan sustainable development. Ia percaya, segala sesuatu yang “berlebihan” (excessive) telah terjadi di atas muka bumi ini.

Konsumsi berlebihan yang dilakukan penduduk yang berlebihan telah membuat alam ini rusak berat.  Bumi yang seharusnya hanya mampu menampung 4,5 milyar penduduk, sekarang telah dihuni lebih dari 7,5 milyar. Ini berarti satu bumi dihuni oleh penduduk yang seharusnya menghuni oleh dua bumi. Lalu setelah itu begitu cepat menjadi 12 milyar dan 15 milyar jiwa.

Manusia yang berlebih juga mengambil lebih banyak, lalu membuang segala limbahnya ke dalam sungai-sungai yang semasa kita kecil dialiri air yang bening. Dari air bening beralih ke coklat lalu kehitam-hitaman. Dan segala yang dulu di sungai memberi kita kehidupan pun mati perlahan-lahan kerang-kerang sungai yang betapa nikmatnya itu, kini pun lenyap. Kita telah berkegiatan ekonomi dengan membebankan “cost” nya kepada bumi, yang membuat bumi menjadi lebih panas, lalu terjadilah bencana-bencana yang tak kita inginkan.

Belum lama ini beredar tomcat, hama tikus yang menyerang petani secara besar-besaran, lalu ulat bulu dalam jumlah yang mengerikan. Kita telah menggunakan pestisida secara berlebihan sehingga membunuh segalanya yang menjaga alam, termasuk predator-predator pemangsa predator. Alam menjadi tidak stabil. Maka itu Prof. Emil melihat pentingnya “sustainable development” yang menyangkut tiga area: economic development, social development, dan ecological development.

Selama ini kita memang lebih banyak bicara tentang ecological development ketimbang kedua elemen lainnya. Kita Lebih banyak melakukan pengerakan kekayaan bumi ketimbang memperkayanya. Padahal kita hidup digaris khatulistiwa dengan kelembapan yang tinggi, di atas guguran pulau-pulau dengan jangkauan terluas dengan gunung merapi terbanyak di dunia.Biodiversity yang begitu kaya dengan alternatif kehidupan yang luar biasa.

Dan alam ini kita bisa eksploitasi , bukan kita perkaya. Ketika bangsa-bangsa di Barat mengeluarkan biaya riset jutaan dolar untuk menemukan obat-obatan kimia, alam kita justru menyediakan secara cuma-cuma. Tak jauh dari lokasi Rumah Perubahan yang berada di tengah-tengah perkampungan, saya sering melihat seorang pemuda yang membuka usaha pengobatan dengan menggunakan lintah (pacet). Kuli-kuli bangunan dan orang kampung percaya bahwa lintah bisa mengurangi pegel-pegel dan sakit-sakit tertentu. Namun belakangan pemuda itu menghentikan usahanya hanya karena kesulitan mendapatkan lintah.

Minggu ini saya mendapat kabar dari Prof. Emil,  bisa yang dikeluarkan oleh lintah-lintah jenis tertentu ternyata mampu menyembuhkan penyakit Vertigo. Bisa itu dapat mengencerkan darah yang mengental. Itu adalah kajian dari sebuah lab. besar, bahkan di pedalaman Kalimantan dan Sumatera, lintah telah lama digunakan untuk pengobatan tradisional.

Empat Mashab

Belakangan ini Rumah Perubahan tengah menjalankan sebuah misi, yaitu bagaimana menanamkan kepada kaum muda tentang perlunya merawat bumi. Kegiatan yang kami lakukan masih belum besar tetapi mengarah menjadi School of Climate Change and Sustainable Development. Sungai-sungai kami bersihkan, airnya ditata, biogas diolah, digabung dengan limbah tempe, lalu kami menjaga keseimbangan ekologi. Kalau ada kegiatan ekonominya, ini adalah insentif yang bisa menggerakkan  masyarakat.  Sebuah Rumah Tempe modern dengan teknologi yang dikembangkan Mercy Corps dibangun di tengah lokasi.  Lalu pakar-pakar lingkungan yang didukung oleh para mantan menteri Lingkungan Hidup bahu-membahu menyerahkan pengetahuannya untuk diteruskan oleh kaum muda. Pengetahuan dan best practice perlu segera diramu dalam satu kesatuan.  Jangan lupa, kita seringkali menghadapi atau menciptakan perubahan tanpa manajemen perubahan. Dan itu berakibat sangat buruk bagi masa depan Indonesia. Maka di Rumah Perubahan, gagasan seperti ini dihidupkan.

Di dunia ini sendiri ada empat mashab mengenai perubahan iklim. Mashab pertama adalah mashab abad es yang mencair, yang kedua mashab peningkatan suhu bumi. Dan yang ketiga, percaya bahwa tidak ada perubahan iklim (didasarkan data historis) . Yang terakhir adalah mashab agnostic. Secara garis besar sebenarnya dapat dibagi dua saja, yaitu mereka yang percaya adanya perubahan iklim dan selebihnya tidak. Itu saja.

Namun apapun mashabnya, bumi kali ini tengah dilanda sebuah masalah, yaitu ledakan penduduk dan eksploitasi yang berlebihan. Kalau Indonesia ingin maju, kita tentu perlu berpikir sebaliknya, yaitu memperkaya bumi, bukan menghancurkannya.

Rhenald Kasali
founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *