Membantah Issue – JawaPos, 14 Mei 2013

Issue, bisa benar, bisa juga isapan jempol. Pokoknya selama jadi pembicaraan dan sifatnya tidak “resmi” dia adalah issue. Sulitnya memang menafsirkan arti kata “resmi” itu apa. Kalau sistem pengadilan kita bisa dipercaya, ya tentu saja “resmi” itu adalah putusan pengadilan. Kalau dulu, resmi itu miliknya pemerintah, jadi selama pemerintah belum bicara, belum putuskan (misalnya issuedevaluasi atau kenaikan BBM), suatu berita tetaplah issue.

Sekarang issue itu tergantung siapa yang bisa dipercaya masyarakat. Apakah Anda lebih percaya pada KPK atau PKS. Apakah Anda lebih menganggap korupsi musuh rakyat, atau Anda pikir itu boleh-boleh saja. Demikian juga soal Eyang Subur. Terserah siapa yang Anda percaya: Polisi, MUI, Adi Bing Slamet, atau Eyang Subur sendiri. Semakin banyak pilihan publik, dia adalah sebuah issue.

Diikat atau Dilepas

Dulu pernah ada issue “lemak babi”. Mulanya seorang dosen di Malang  yang meneliti soal kandungan yang “diduga” mengandung zat-zat yang diharamkan bagi umat Islam. Ia memeriksa label, bukan membawa ke lab. Setelah dicek, bila ada kata alkohol, gelatin, dan atau lard, ia mengklarifikasikan produk-produk itu sebagai “diragukan”.

Karena publik tak paham arti kata-kata itu, maka issue cepat beredar. Publik takut mengkonsumsi produk-produk itu. Tetapi karena daya ingat manusia terbatas, maka orang-orang yang mau membantu “mengingatkan” kita membuatnya tertulis. Sayangnya mereka tak punya sumber aslinya. Jadi mereka membuat list menurut versi mereka. Bisa dibayangkan distorsinya besar sekali. Satu orang membuat list, yang lain menambahkan, akhirnya produser-produser mie instan, kecap, margarin, es krim, biskuit, sampai sabun mandi – yang tak ada kaitannya sama sekali dengan issue itu ikut disebut. Mereka dihujat habis, diboikot konsumen, penjualannya merosot dan nyaris gulung tikar, bahkan melakukan PHK.

Lalu apa yang dilakukan masing-masing pemilik perusahaan itu?

Ya sama seperti PKS yang menurunkan Fachry Hamzah, mereka semua muncul di depan TV dan koran; membantah. Bedanya Fachry Hamzah terlihat penuh amarah, seperti mau berkelahi.

Tepatkah langkah itu?

Topik ini pernah saya kaji dalam disertasi saya di Amerika Serikat, dan temuannya sungguh menarik. Pertama, setiap orang yang sedang menjadi sasaran berita “negative” (terlepas ia benar atau salah) adalah “tidak kredibel” (dalam menjawab). Kedua, semakin dibantah, maka ikatan antara objek issue dengan orang/ pihak yang membantah akan semakin kuat. Ketiga, untuk melepaskan ikatan itu, sumber berita yang tengah mendapat “serangan”, sebaiknya lebih bijaklah dalam bercakap. Bahkan diam itu mungkin lebih baik.

Namun ada temuan lain, yaitu, kalaupun mau dijawab, jagalah nama baik Anda. Jawablah dengan manis, dengan wisdom. Ingat lho, kita hidup dalam Peradaban Kamera. Televisi yang Anda lihat bukan sekadar televisi, melainkan Social TV. Dalam peradaban kamera – Social TV, khalayak bukan cuma menilai apakah Anda pintar atau bodoh, ganteng atau jelek, melainkan juga gestureAnda. Dari situ kelihatan aura seseorang. Sehingga bila Anda menurunkan “si mulut besar” yang meledak-ledak sebagai juru bicara, ia justru bisa “back fired” dan organisasi kehilangan kepercayaan besar yang sudah dimiliki.

Ayo, berhati-hatilah dalam berbicara. Genit di depan kamera sih bagus. Kalau terlalu “genit” ya susah juga. Ini namanya camera branding bukan sekadar branding. Dan strategi auragenic jauh lebih bagus daripada sekadar cameragenic.

Jadi, semakin dibantah, semakin tidak dipercaya, bahkan tidak tertutup kemungkinan semakin dibenci. Kita seringkali berpikir menurunkan orang pintar itu penting, orang yang logic juga penting. Tetapi riset menemukan, empati jauh lebih penting. Interaksi melahirkan aura, membentuk kepercayaan.

Rhenald Kasali
founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *