Di atas pesawat yang membawa saya ke Turki, seorang pria berkebangsaan Malaysia duduk melamun memandangi hujan yang membasahi kaca jendela. Sebelum turun di Kuala Lumpur ia bercerita betapa dongkolnya mengunjungi Jakarta. Tiga jam duduk di atas taxi dari hotel menuju Mangga Dua tak kunjung tiba, akhirnya ia meneruskan perjalanan ke bandara dan kembali pulang.
Kisah terjebak banjir dalam berwisata bukan hal yang baru di dunia ini. Di Amerika saja Anda bisa terperangkap banjir atau terhadang badai tornado. Saya juga pernah kehilangan waktu dan uang saat tur menuju Lake Tahoe di California karena terhadang badai salju yang tebal. Juga bukan hal aneh bila anda terhadang banjir atau kebakaran hutan di Australia. Bahkan dua tahun yang silam saya meninggalkan Suriah hanya satu hari sebelum terjadi konflik bersenjata.
Hari-hari ini jutaan orang pergi berlibur, berdoa, melakukan ziarah, bersilaturahmi, berbelanja dan sebagainya. Data terbaru dari World Tourism Organization menunjukkan, tahun ini jumlah pelancong lintas negara telah menembus satu miliar manusia. Ini berarti satu dari enam penduduk dunia telah bepergian lintas negara. Dan kalau yang lima sisanya bepergian domestik, berarti hampir semua penduduk dunia adalah konsumen wisata. Siapkah Indonesia menjadi penghasil devisa pariwisata yang penting?
Pemburu Perdamaian
Manusia yang berwisata pada dasarnya bukanlah manusia yang senang konflik. Juga tak ada bangsa yang lebih bodoh daripada yang menghamburkan anggaran promosi wisatanya sebelum menurunkan angka kiminalitas dan memperbaiki sanitasinya, termasuk pembuangan sampah. Maka dari dulu saya pikir mengurus pariwisata bukanlah urusan pasang iklan, dan ikut pameran di luar negri, melainkan memperbaiki produk seperti yang dilakukan Turki yang dulu juga tidak aman, atau walikota Palembang yang membersihkan preman sehingga kita kini merasa nyaman berwisata di jembatan Sungai Musi. Bahkan sejak terjadi konflik, Syria yang dulu sedang giat beriklan berhenti berpromosi. Padahal di sana banyak situs peninggalan sejarah, termasuk bekas pasar yang pernah didatangi Nabi besar Muhammad SAW.
Memang ada banyak motif manusia berwisata, tetapi semua orang ingin mendapatkan sesuatu, ya pengetahuan, keindahan alam dan budaya, pengalaman, getaran jiwa, oksigen, kesehatan dan sebagainya.
Di Istanbul-Turki saya bertemu sepasang dokter berkebangsaan Pakistan yang sudah 30 tahun membuka praktek di Wisconssin-USA, seorang investment banker asal Singapura dan seorang tua asal Spanyol yang menggandeng seorang wanita muda yang tak henti -hentinya berpelukan di depan keramaian. Di depan menara Blue Mosque yang sangat terkenal, dokter asal Pakistan itu menanyakan kebenaran tentang arsitek yang kepalanya dipenggal Sultan karena membangun masjid yang tak sesuai dengan keinginannya.
Ahmed, sejarawan muda yang mengantar kami menjelaskan, \”Ada beberapa versi sejarah. Memang Sultan tidak senang ketika melihat bangunan Masjid tak sesuai dengan keinginannya. Setelah itu arsiteknya hilang. Tetapi versi lain menyebutkan, mereka hanya menghilang selama 6 bulan, pergi ke Mekkah untuk melihat Ka’bah, lalu kembali dan menambah satu menara lagi sesuai keinginan Sultan,\” ujarnya.
Di museum Aya Sofia (Hagia Sofia) yang indah kami kembali tertegun. Gereja Katedral ortodox terbesar di timur yang berada di seberang Blue Mosque itu, dulu dibangun kaisar Konstantinopel pada abad ke 4. Tetapi di era kejayaan kerajaan Ottoman, oleh Sultan Mehmed 2, bangunan ini diubah menjadi masjid. Bel gereja dan altar dipindahkan, ornamen-ornamen khas gereja ditutup. Kaligrafi Arab dipasang di bagian dalam bangunan. Mimbar, menara masjid dan mihrab ditambahkan.
Namun setelah Turki menjadi Republik, bapak bangsa Turki, Mustafa Kemal Ataturk mengembalikan bangunan kuno itu menjadi museum. Dan selubung ornamen gereja yang ditutup sejak tahun 1453 dilepas. Kini pengunjung museum bisa menyaksikan jerih payah perjalanan manusia mencari Tuhan. Di puncak altar, ada ornamen gereja yang dilukis seniman Bizantium berupa Bunda Maryam yang memangku Isa. Dan di kiri kanan nya terpampang kaligrafi arab yang indah tentang kebesaran Tuhan.
Kepada seorang profesor Turki saya menanyakan keberadaan Turki dalam EU. Ia menjawab sambil tersenyum, \”Lima belas tahun kami berjuang agar bisa diterima EU, sampai kini tak jelas rimbanya. Sekarang kami bersyukur tak masuk ke dalam EU. Kini merekalah yang butuh Turki. Kini semua orang Eropa ingin menghabiskan uangnya di Turki yang aman dan ekonominya sehat\”
Berwisata, Berpengetahuan
Sudah sejak lama saya mempercayai berwisata merupakan wadah pembelajaran yang penting. Maka saya sering tersenyum -senyum membaca komplain masyarakat terhadap prilaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang senang berjalan-jalan. Melancong itu sehat, sah dan bagus untuk merubah manusia. Sayangnya tak semua manusia senang dengan perubahan. Yang pasti, hanya yang masih mau belajarlah yang bisa berubah, dan itu akan tampak dari apakah ia memakai uang sendiri atau tidak.
Saya sendiri sejak lama mewajibkan mahasiswa saya memiliki passport. Punya passport itu sehat, apalagi sekarang biaya tiket pesawat banyak yang murah. Di luar negeri, saya sering melihat anak-anak sekolah biasa diajak gurunya melancong ke luar negeri. Mereka belajar tentang gunung berapi ke Hawai, batu-batuan alam ke Samoa, dan sejarah Hindu ke Candi Borobudur. Sebelum memasuki perkuliahan, calon-calon mahasiswa dari negara-negara di Eropa bergerombol memburu tiket lelang. Mereka menjadi backpackers, menginap di hotel-hotel bertarif murah. Semuanya memakai uang pribadi, bukan subsidi, bukan perjalanan dinas.
Dari para backpackers lah saya mengerti betapa banyak persoalan pariwisata yang belum diurus pemerintah. Ribuan makalah tentang pariwisata yang ditulis mahasiswa asing di luar negeri menyebutkan arah patiwisata Indonesia tidak jelas, cuma berpromosi saja. Mereka juga menyoroti kelucuan daftar 30 makanan asli Indonesia yang akan dipromosikan. Nasinya saja ada tiga (tumpeng, goreng kampung dan liwet). \”Memangnya kami harus makan semua?,\” tanya mereka. Belum lagi kesemrawutan lalu lintas, sampah dan keamanan.
Tetapi apapun juga harus diakui di beberapa lokasi kita masih bisa menikmati suasana wisata yang berbeda. Naik becak di Cirebon sambil makan nasi jamblang dan belanja batik, makan nasi liwet dan borong batik di Solo, menikmati angklung Ujo di Bandung, mengelilingi sawah di Ubud, membeli gelang baja putih ex pesawat tempur Sekutu di Morotai, menikmati ikan jelawat di Pontianak, atau menembus hutan pala di Maluku.
Jadi, bersyukurlah anda yang masih diberi waktu, kesehatan dan uang untuk berlibur. Ini saatnya bercengkerama bersama keluarga. Berikanlah kesempatan bagi anak-anak anda menjadi guide, memilih hotel, dan menentukan rute perjalanan. Hanya dengan cara itulah kepala anda bisa menjadi ringan, dan liburan benar-benar bisa dinikmati. Dan dengan cara itu pula anak-anak bisa menjadi driver bagi hidup mereka sendiri, bukan passenger yang selamanya menumpang dalam kehidupan orang lain. Selamat berlibur.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan