Apa pesan di balik puji-puji yang diberikan lembaga dunia terhadap masa depan perekonomian Indonesia? Ya, betul. Tetaplah berkonsumsi, belanja, dan belanjakan terus uang Anda, wahai konsumer. Jangan tunggu uang Anda mengendap di Bank. Belanjakan terus.
Pesan itu seperti masuk ke alam bawah sadar kita. Sehingga setiap kali habis gajian semua mesin ATM penuh dengan antrean, dan setiap tanggal muda, jalan-jalan keluar kota dari Jakarta ke Puncak, Semarang ke Bandung atau dari Surabaya ke Batu selalu macet selalu macet dengan kelas menengah baru yang rindu menghabiskan uang. Dari hawa gunung, beralih ke luar negri, dari Singapura kini sudah di Hongkong, LA dan entah mana lagi. Dan Anda mungkin masih ingat saat orang-orang yang mabuk berbelanja, bahkan nyawa menjadi taruhan untuk mendapatkan Blackberry terbaru?
Atau kejadian 3 tahun lalu saat antrian berjajar dari lantai terbawah di Mall Senayan City terus berputar seperti ular menuju counter sandal/ sepatu Crocs di lantai paling atas? Salah seorang GM Crocs berkebangsaan Malaysia bahkan terkekeh-kekeh. Katanya ini pertama kali terjadi di dunia, bapak-bapak di sini memelopori trend berebut sandal sisa berwarna pink, dan benar-benar di pakai.
Konsumsi dipercaya menjadi motor penggerak ekonomi Indonesia yang penting. Bahkan dalam sebuah forum, Gubernur BI, Darmin Nasution mengatakan konsumsi sebagai salah satu sumber resiliensi (ketahanan) ekonomi Indonesia dari ancaman krisis global. Indonesia telah menjadi negara dengan tingkat pertambahan ekonomi ke-2 terbesar di dunia setelah China.
Tetapi sabar dulu, konsumsi juga menjadi ancaman terbesar ketika barang-barang inipun terus membanjir mulai dari tepung terigu hingga kedelai, dari batik China sampai gadget. Semua yang mahal-mahal kita simpan. Kalau dulu orang memesan (reserve) meja makan untuk 3 orang memesan meja untuk bertiga, sekarang menjadi berempat, siapa yang duduk di kursi yang ke-4 itu? Itulah “Tuan” Louis Vuitton, atau “Nyonya” Hermes. Ya, maklum rata-rata tas orang Indonesia sudah di atas 10 juta rupiah. Barang mewah sudah biasa.
Lain di kota, lain di desa. Tetapi semua orang bergaya sama: konsumsi. Tak punya uang, perut kosong, tetapi handphone harus berbunyi. Ini sungguh ironi. Inilah ekonomi vacum cleaner, ekonomi penyedot debu.
iPhone 5
Di Amerika Serikat, kendati ekonominya belum pulih dari krisis, penjualan iPhone 5 ternyata juga sama saja. Antrean begitu panjang. Bahkan sebagian konsumen antre sejak dini hari. Apalagi setelah majalah Time menobatkan gadget ini “The most artfully polished gadgets anyone’s ever built”. Penjualan gadget menembus angka 5 juta dalam minggu perdananya.
Masih kalah memang dengan Samsung Galaxy S III yang sejak peluncurannya Agustus lalu telah terjual 18 juta unit. Bahkan di China, Android mengusai 90% pasar Smartphone. Hanya saja, dari pengamatan saya, mereka yang antre benar-benar punya penghasilan yang layak. Antreannya pun tak sepadat di sini. Sabar menanti dan tertib.
Bagaimana disini? Memasuki abad 21, smartphone baru selalu menjadi gaya hidup. Di dunia maya saya membaca celotehan eksekutif muda bercerita tentang kebahagiaan membeli iPhone, kendati harus pergi ke Hongkong atau Singapura sebelum produk itu dirilis disini. Bahkan sejumlah anggota DPRD dari Makassar tanpa malu-malu menunjukkan gadget barunya kepada wartawan. Inilah peradapan Conspicuous Consumption, yang dalam ilmu prilaku dipahami sebagai belanja yang ditonjol-tonjolkan kan untuk menunjukkan “Saya juga bisa memilikinya”. Kalau saya menjadi yang petama memiliki, \”berarti saya pelopor, trend setter, risk taker, dan saya lebih dari yang lain\”.
Mengapa kaum mapan yang sudah kaya raya dan punya jabatan itu masih memerlukan “konsumsi” untuk membangun citra terhadap jatidirinya?
Para ahli berpendapat, Comsumption conspicuous itu dilakukan sebagai alat “signal”. Ya, seperti ponsel yang tak ada manfaatnya kalau tak mampu mengirim signal, manusia-manusia seperti itu lemas kala tak bisa mengirim signal “Bahwa saya punya uang”. Barang-barang dan konsumsi dijadikan acuan untuk menunjukkan “Saya telah sukses, lihatlah saya”.
Dengan kata lain sebenarnya, masih banyak orang yang kurang mampu menunjukkan karya, sehingga Comsumption conspicuous pun dijadikan sasaran. Apa boleh buat. Inilah beban yang masih harus dipikul para guru, dosen, ulama, pendidik, pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat. Jadi janganlah bicara pengetahuan melulu, atau ayat-ayat melulu, bahkan aturan-aturan melulu. Ajarkanlah cara berkarya, berbuat sesuatu yang menimbulkan dampak besar dan jadilah role model. Negeri tanpa role model hanya akan menghadapi energy drain, dan kalah menghadapi mesin-mesin penghisap debu.
Rhenald Kasali
Founder RUmah Perubahan