Role Model dan Conflict of Interest – Sindo 13 Desember 2012

Tanggal 15 Agustus 2011, tiga orang warga negara Indonesia — Judilherry Justam, Chris Siner Key Timu, dan Muhammad Chozin Amirullah – mengajukan permohonan untuk menguji UU no 27 (2009) ke Mahkamah Konstitusi. Bila berhasil, maka sebenarnya Indonesia punya kesempatan untuk membangun “budaya baru”, yaitu budaya bersih yang amat dirindukan bangsa ini.
Sayang pengajuan ini sepi dari perhatian masyarakat, dan sayang pula MK “gagal” melihat esensi dibalik pengajuan itu, atau memiliki pandangan lain, atau ada pertimbangan hukum yang lebih kuat sehingga permohonan ketiganya tidak dikabulkan. Anda mungkin bertanya, apa sih yang mereka persoalkan?

Conflict of Interest
UU no 27 (2009) adalah UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Dan Pasal-pasal yang mereka uji adalah Pasal 208 ayat (2), Pasal 277 (2), Pasal 327 ayat (2) dan Pasal 378 ayat (2). Menurut ketiga warga negara ini, telah terjadi kerugian dan ada potensi kerugian dari Pasal-pasal itu. “Wakil-wakil rakyat dan Wakil-wakil daerah tidak akan bekerja untuk kepentingan rakyat, terutama untuk memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara karena adanya pekerjaan lain selain menjadi anggota DPR maupun anggota DPD dan DPRD, ” demikian yang dicantumkan dalam surat permohonan pengujian ketiganya.  \”Pekerjaan lain\” yang dimaksud tentu bukan sekedar pekerjaan sambilan, melainkan pekerjaan lain yang memungkinkan seorang  pejabat publik mengalami konflik kepentingan.
Tentu saja tulisan ini bukan dimaksudkan untuk membuka perdebatan hukum yang bukan menjadi keahlian saya (dan tidak akan saya tanggapi), melainkan untuk membangun kesadaran bahwa negeri ini tidak bisa tumbuh menjadi besar dan kuat tanpa landasan yang kokoh. Dan landasan itu adalah terbebasnya para pengambil keputusan dari Conflict of Interest. Hanya dengan itulah Indonesia akan memiliki role model yang dapat ditiru kaum muda, baik dalam kegiatan ekonomi maupun politik.
Saya sendiri mengetahui uji materi UU ini karena diminta oleh para pemohon untuk menjelaskan efek “Conflict of Interest” sebagai saksi ahli. Tentu saja saya melihatnya dari sisi ekonomi. Sebenarnya mudah saja melihatnya. Saya misalnya, tidak pernah “menang” dalam setiap kali mengikuti proses tender sepanjang panitia lelang atau orang di belakang mereka sudah punya jago-jagonya sendiri. Anak saya tidak akan pernah diterima bekerja di sebuah lembaga negara hanya karena panitia penerimaan pegawai sudah menerima komitmen (beserta fee-nya) dari calon-calon lainnya. Seseorang mengalami conflict of interest ketika mengambil \”janji\” atau komitmen lain yang membuatnya sulit bertindak secara objektif.
Di gedung parlemen kita saat ini juga miskin role model. Sejak bertemu saja, setiap kali mendengar seseorang berkedudukan sebagai anggota parlemen, rakyat berkasak-kusuk menggunjingkan sesuatu. Di dalam gedung parlemen bukan satu-dua orang yang megatakan kepada saya aroma perubahan sikap sahabat-sahabat yang dulu dikenal sebagai orang yang santun dan jujur menjadi garang dan unpredictable. Mereka bisa memarahi anda di depan sorotan kamera televisi, bahkan mengusir anda hanya karena anda cenge\’ngesan.
Lantas apa sih yang digunjingkan masyarakat? Apakah sedemikian bodohnya sahabat-sahabat, orang tua, murid atau mahasiswa kita yang sekarang duduk di parlemen itu sehingga berpura-pura tidak mengetahuinya?
Para penguji UU itu mempersoalkan bebasnya “rangkap jabatan” dan absennya penegakan etika. Ini juga sangat kasat mata dan mudah dilihat kendati ada juga yang samar-samar, tetapi di zaman ini masyarakat mudah menelusurinya. Tengok saja bisnis-bisnis apa saja yang ditekuni masing-masing anggota palemen baik di pusat maupun di daerah. Hampir semua anggota palemen yang berada di bawah komisi yang membawahi energy berbisnis energy, dan hampir semua anggota parlemen yang bergerak di bidang hukum mempunyai kaitan dengan kantor-kantor pengacara (baik langsung maupun tidak langsung).  Akhirnya publik menyaksikan  ruang usaha dipenuhi oleh jalur koneksi ke parlemen, mulai dari catering hingga PJPTKI, dari buku cetakan hingga kitap suci, dari impor alkohol hingga konstruksi. Bahkan dari dana CSR sampai bantuan sosial.  Ini belum termasuk dana yang dicuri oleh eksekutif yang juga melakukan hal serupa.
Di berbagai kabupaten dan kota madya kita juga menyaksikan perebutan bisnis kontruksi hingga pertamanan yang membuat eksekutif sulit bekerja. Seorang direktur salah satu BUMN menyebutkan sulitnya mengganti crane di pelabuhan dengan satu merek yang sama. Masalahnya, masing-masing crane harus disewa dari orang-orang yang di back up oleh oknum anggota parlemen. Bila hal itu dilanggar, mereka akan diminta mengikuti rapat dengan pendapat di gedung parlemen, lalu bersiap-siap lah menerima semprotan minyak panas.
Lain bisnis, lain lagi penegakkan etika. Ketika Dahlan Iskan melaporkan sejumlah oknum anggota parlemen yang diduga telah memeras BUMN, saya pun teringat dengan pengujian materi UU 27 tahun 2009 itu yang diajukan oleh tiga warga negara Indonesia tadi. Ketiga pemohon juga meminta agar MK meninjau Pasal 123 dan Pasal 124 ayat (1) tentang keanggotaan Badan Kehormatan DPR dan Pasal 234 ayat (1) huruf f, Pasal 245 ayat (1), Pasal 302 ayat (1) huruf f, dan Pasal 353 ayat (1) huruf f yang menyangkut Badan Kehormatan di DPD dan DPRD.
Masalahnya, badan-badan kehormatan itu diisi oleh orang-orang yang berasal dari kalangan sendiri, yang bersifat “perimbangan dan pemerataan” jumlah anggota dari tiap-tiap fraksi. Sekarang, bisakah etika ditegakkan dari kalangan yang sangat berkepentingan terhadap “nama baik” keluarga besarnya sendiri?  Artinya, berapa kuatkah nama-nama besar setinggi Siswono atau dr Prakosa kalau mereka mengabdi pada dua \”atasan\” sekaligus?   Atasan pertama adalah pimpinan fraksinya sendiri, sedangkan atasan kedua, ya hati nuraninya.  Apalagi kalau yang diadili rekan atau sahabat sendiri.  Bukankah kita lebih baik mengacungkan tangan, mengaku ada conflict of interest ketimbang haus mengambil langkah yang tak enak dihati.
Itulah masalah yang dipersoalkan ketiga orang itu. Andaikan MK saat itu mengabulkannya, mungkin Indonesia sudah memiliki kultur politik yang sedikit lebih baik. Kultur tentu tidak bisa dibentuk oleh hanya satu elemen, namun dalam ilmu perubahan, kita percaya seseorang yang diberi pulpen bagus  akan diberitahu oleh anggota keluarganya agar memakai baju yang bagus pula. Kalau bajunya sudah bagus, istri/suaminya mungkin akan memberikan celana dan sepatu yang matching pula. Satu elemen tidak otomatis merubah semuanya, tetapi ia bisa memicu perubahan.
Tetapi Indonesia tidak bisa maju dan mencapai posisi 6 besar dunia seperti yang diramalkan Standard Chartered Bank pada tahun 2030, atau posisi nomor 7 menurut Mc Kinsey Global Institute kalau membiarkan dunia usaha berjalan diatas politik yang sarat dengan konflik-konflik kepentingan. Indonesia tak juga menpunyai role model dari figur-figur  yang \”lain di depan-lain di belakang\”.  Role model yang demikian pandai berbohong,  semakin berani melawan kendati salah.  Tanpa role model yang bebas dari kepentingan, kita hanya akan melahirkan bangsa yang kalah,  bangsa pecundang.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *