Ekonomi Bambu – Jawapos 29 Oktober 2012

Hari Minggu kemarin Rumah Perubahan hadir di Bantaran Banjir Kanal Timur (BKT) – Jakarta. Hari itu, Komunitas Sangga Buana yang dipimpin Haji Idin bersama Rumah Perubahan melakukan penanaman 2000 batang pohon bambu betung. “Tampang jawara, tetapi hati adem”, begitulah Haji idin, Betawi asli yang mengawal tiga kali di sepanjang Jakarta. Itulah yang membedakan H. Idin dengan jawara-jawara Betawi lain yang belakangan banyak membentuk ormas.

Menurut sejumlah pihak, bambu-bambu besar ini terakhir kali dibudidayakan oleh koloni Belanda. Setelah itu, malah digusur. Tanaman yang memiliki suara angin yang indah, dianggap sebagai sarang kuntilanak. “Padahal sekarang kuntilanaknya udah pindah ke Mall”, ujar H. Idin.

Rumah Perubahan menaruh minat terhadap bambu karena potensi ekonomi kerakyatannya begitu besar. Di Sangga Buana, daun-daun bambu dijadikan bahan pakan kuda pacu dan kelinci. Sementara akar-akar bambu di tepi-tepi sungai menjadi menjadi sarang ikan bertelur. Hampir dapat dipastikan pula, dimana ada bongkahan tanaman bambu, selalu ada mata air yang jernih. Bahkan dulu, orang-orang tua sering memberikan airnya untuk pengobatan. Ada kepercayaan, mata air disekitar tanaman bambu mampu menetralisir segala penyakit, bahkan gangguan roh-roh jahat.
Kuliner, Alat Musik dan Bangunan

Hampir tak ada tanaman lain yang mampu menggantikan potensi ekonomi bambu. Di Sumatera, rebung dimasak gulai, di China dijadikan campuran sayuran, di jepang bahkan dijadikan obat, dan di Thailand menjadi makanan yang dimasak dengan bumbu kari kuning yang lezat.

Sewaktu kuliah di Amerika Serikat, saya sering terkagum-kagum menyaksikan rebung basah kiriman dari Thailand yang ukurannya lebih besar dari ukuran paha manusia. Saya membayangkan pastilah itu rebung bambu betung (dendroclamus asper). Sayang sekali, sebagai pemilik bambu terbesar ke 3 dunia (setelah China dan India) Indonesia justru masih impor rebung. Padahal rebung-rebung yang masuk ke Belanda sebagian datang dari Bengkulu. China saja, setiap tahun mampu mengekspor lebih dari 150.000 ton rebung basah, disusul Thailand (sekitar 70.000 ton) dan Taiwan (± 20.000 ton).
Dalam literatur kedokteran China, daun bambu dipercayai memberi khasiat yang tinggi untuk menetralisir racun dan asam urat. Di Sangga Buana, ia dijadikan bahan untuk memperbaiki kualitas buah-buahan yang ditanam di pinggir kali, khususnya belimbing.

Sementara, batangnya telah banyak digunakan sebagai bahan-bahan bangunan dan alat-alat musik. Di daerah Ciomas – Bogor, saya bertemu Komjen Purnawirawan Polisi Didi Widayadi yang aktif menanam bambu. Bahkan mantan kepala BPKP yang juga seniman ini berhasil meramu batang-batang dan anyaman bambu (Bambubos.com) yang mampu tahan lama. Setelah diolah, batang-batang bambu dapat dipakai 30-40 tahun tanpa mengalami gangguan.

Di daerah Cibinong juga ada budayawan Sunda, Jatnika yang dikenal sebagai arsitek Rumah Bambu. Jatnika bukan hanya piawai mendesain rumah, melainkan juga menulis sejarah bambu. Di Bandung, Saung Angklung Ujo mampu mempekerjakan ribuan orang membuat angklung, bahkan ratusan remaja dididik menjadi musisi angklung. Setiap hari, diperkirakan sekitar 500 orang turis datang menyaksikan performasi Saung Angklung Ujo. Namun mereka juga gelisah bahan baku bambu mulai sulit didapat.

Ini belum termasuk potensi ekonomi kerakyatan lainnya seperti kursi-kursi bambu, kerajinan asbak, kap lampu, gedek, dan lain sebagainya. Bahkan sebuah desa di Jember, yang orang-orang tuanya sibuk bekerja sebagai TKI, bambu telah mampu berperan sebagai “teman” bagi anak-anak dan remaja. Cici Farha, anggota Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia membentuk kelompok bermain Tanoker (yang dalam bahasa Madura berarti kepompong) dengan egrang bambu sebagai mediumnya. Kini festival egrang yang diperkenalkan Cici telah menjadi icon ke 3 kota Jember (Ledokombo) setelah Jember Fashion Festival dan kuliner khasnya.

Benturan Ekonomi

Partisipasi ekonomi masyarakat yang berwatak sosial di Barat disebut sebagai ekonomi sektor ke 3. Dari pengalaman saya sebagai penggerak Rumah Perubahan, musuh terbesar ekonomi kerakyatan sebenarnya bukanlah kapitalisme (ekonomi sektor kedua), melainkan korupsi dan conflict of interest di sektor pertama (pemerintah dengan APBN dan APBD).
Di tepi Bantaran Banjir Kanal Timur, anak-anak pohon bambu setinggi sekitar 1 meter yang ditanam rakyat jelata dengan mudah digusur paksa aparat-aparat pemda, kalau di antara mereka melihat tepi sungai lebih sebagai “wilayah kekuasaan” yang berpotensi mendapatkan rente dari proyek-proyek.

Tentu saja pemerintah berhak membangun dan mengatur, tetapi hanya pemerintah lalim lah yang telinganya tersumbat dan matanya tertutup. Di era ekonomi kerakyatan, saya dapat memastikan tanpa partisipasi rakyat dalam perubahan maka pembangunan ekonomi akan sia-sia. Saya mengerti BKT ada penguasanya, dan saya mengerti pula di sana ada proyek-proyek yang bisa membuat aparat tersumbat telinganya. Tulisan ini ditujukan untuk membukakan mata sahabat-sahabat yang mendapat amanah mengendalikan sektor pertama agar bisa “melihat” dan “mendengar” desiran angin dari gemersik daun-daun bambu partisipasi ekonomi kerakyatan.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *