Generasi bingung bahasa – Sindo 25 Oktober 2012

Seorang presenter radio terkenal, juga guru komunikasi yg handal datang ke Rumah Perubahan beberapa hari lalu. Di sekolah komunikasinya yang banyak diminati kaum muda, juga di program radionya ia menemukan semakin banyak anak muda yang bingung berbahasa. Ingin berbahasa Inggris tapi kurang pas. Membuka percakapan dengan guru dalam bahasa Inggris tapi patah-patah. Bingung memilih kata, apalagi pengucapannya.  Bunyinya tak jelas. Namun begitu dilayani dalam bahasa Inggris, dijawab pakai bahasa Indonesia yang juga tak jelas.

Mungkin masih lebih jelas bicara dengan saudara kita di belahan Timur Indonesia yang bahasanya makin singkat. Seperti, \”Sapi nonton bola\” yg berarti \”Saya pergi nonton bola\” atau di paling Barat, saat orang Aceh mengatakan air kelapa dengan \”ie u\”. Tetapi dimanapun mereka bersekolah, masalah yang dihadapi tetap sama: anak-anak kita sungguh lemah mengungkapkan gagasan tulisan dalam bahasa Indonesia.  Sehingga berapapun tingginya IPK akademis mereka, tetap saja sulit siap pakai untuk bekerja karena tak bisa diminta membuat laporan, proposal, atau bahkan minute of meeting sekalipun. Bahkan banyak calon doktor yang gugur pada tahap penulisan kesimpulan disertasinya.

Selain bingung bahasa juga muncul generasi alay yang gemar menggabungkan huruf dengan angka dan simbol. Meski menyulitkan, orangtuanya ternyata ikut-ikutan alay. Beruntung masalah bahasa belum menimbulkan perpecahan bangsa. Tetapi di Filipina, keretakan hampir terjadi karena bahasa anak muda yang dikenal dengan istilah jejemon cukup membuat Menaker-nya khawatir keunggulan daya saing tenaga kerja Filipina di dunia internasional akan terganggu. Pasalnya mereka hanya saling mengerti diantara mereka, sedangkan bahasa Inggris tak lagi dipahami.

Menjelang hari sumpah pemuda akhir pekan ini ada baiknya kita merenungkan kembali sumpah para pemuda di tahun 1928 yang menyadari pentingnya bahasa pemersatu. Bahasa Indonesia tengah mengalami ujian yg berat, baik melalui gempuran budaya pop, bahasa asing, maupun sikap mental orang kalah yang membentuk mentalitas pecundang. Namun lebih dari itu, masih adakah tokoh yang mau mengawal persatuan melalui bahasa yang indah ini?

MENGHILANGNYA AHLI BAHASA
Siapakah ahli bahasa Indonesia yang sekarang dapat menjadi panutan kaum muda?  Bila dulu ada mendiang Anton Moeliono dan Yus Badudu, mungkin sekarang kita sulit mencari panutannya. Padahal nama-nama mereka,di era TVRI  dulu tidak kalah populer dengan Rhoma Irama. Namun nama-nama ahli bahasa sekarang tenggelam, tak bisa mengimbangi ahli ekonomi dan politik, apalagi musisi dangdut atau stand up commedian.

Untuk mengambil hati kaum muda, bahasa Indonesia juga butuh role model, bahkan \”selebriti\” yang tak kalah persuasif. Namun apakah benar pemerintah menaruh perhatian dalam membina bahasa persatuan ini?

Bila untuk sila pertama Pancasila saja, negara rela mengucurkan dana besar mencetak sarjana-sarjana agama, berapa besar negara mengucurkan dana untuk mencetak sarjana bahasanya sendiri? Saya bahkan khawatir, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah tidak lagi diberikan oleh guru-guru hebat seperti yang pernah dialami generasi saya. Padahal kini direktorat kebudayaan sudah berada di bawah kendali kementrian pendidikan. Bahkan Wakil Menteri-nya sudah ada. Yang belum ada adalah insentif untuk menumbuhkan kecintaan orang muda dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Juga belum terlihat studi bahasa sebagai studi yang menarik. Masa depan lulusan ilmu bahasa, apalagi bahasa Indonesia belum dipikirkan dengan baik. Bidang studi ini praktis hanya bisa menerima mahasiswa yang paling sedikit, lalu fasilitasnya juga jauh memadai. Saya kira beasiswa yg tersedia juga tidak banyak. Kalau pun ada, ia kalah populer dengan ilmu komputer yang sedang seksi. Tidak bisakah dilakukan intervensi yg lebih menarik?

Yang jelas ilmu bahasa, terlebih bahasa persatuan memerlukan revitalisasi yang amat serius. Ilmuwan bahasa juga perlu menjelajahi bahkan mengawinkan ilmunya dengan ilmu-ilmu sosial lainnya untuk mengembalikan kejayaan bahasa persatuan. Bagi saya bahasa adalah pemandu karakter bangsa, pemersatu sekaligus pembentuk masa depan. Hanya dengan bahasa yang baik maka negeri ini mampu menghasilkan politisi-politisi yang bijak, atau ilmuwan kelas dunia.

BAHASA PECUNDANG

Tentu saja kerancuan bahasa bukanlah semata-mata masalah bahasa dengan segala elemen yg dipelajari ilmuwan bahasa. Bahasa adalah cerminan watak dan merupakan ungkapan pikiran bangsa. Dan setiap kali memasuki era baru, tak dapat dipungkiri suatu bangsa pasti mengalami kegalauan. Di era demokrasi kita menyaksikan kegalauan-kegalauan itu dengan manusia-manusia yang beralih dari kepribadian yg terbelenggu dan pasif menjadi agresif dan lepas kendali. Kita belum benar-benar memiliki pemimpin dengan kualitas bahasa yg mampu menghormati dirinya sendiri sekaligus respek terhadap orang lain. Manusia assertive yg harus  kita bangun masih jauh panggang dari api.

Maka setiap kali menyaksikan tayangan-tayangan demokrasi di televisi yang diramaikan oleh para politisi, pengamat, LSM dan akademisi (apalagi kalau ada pengacara) masyarakat hanya bisa merasakan kegalauan dan bingung bahasa. Bahasa yg mereka gunakan bukanlah bahasa bangsa yg berbahagia, melainkan bahasa campuran antara kepentingan ekonomi, transaksional, kekuasaan dan ketidakpuasan.

Bahasa kemenangan yang menimbulkan rasa kebahagiaan tenggelam diantara prahara politik uang dan kekuasaan. Yang melahirkan bahasa kaum pecundang. Ya itulah bahasa orang-orang kalah yang menurut psikolog Denis Waitley sebagai ungkapan cara berpikir orang-orang yang akan bermuara pada kekalahan.

Kaum pecundang akan selalu menyuarakan ketidakmampuan, ketiadaan sumber daya dan permodalan (constraint, not opportunity), rasa sakit yang ditonjolkan (\”the pain\”, not \”the gain\”), alasan-alasan yang dibuat (bukan solusi), ancaman dan konflik (bukan persaudaraan dan kepedulian), terkurung oleh masa lalu (bukan melihat ke depan), menyerang atau menyalahkan orang lain (bukan menunjuk dirinya sendiri sebagai sumber masalah), tahu sedikit tetapi bicaranya banyak (bukan banyak mendengar meski sudah banyak tahu) dan seterusnya.

Makanya kita lebih banyak memiliki provokator daripada pekerja sosial, lebih banyak koruptor yang tak tahu malu ketimbang pemberi kurban yg ikhlas. Kita lebih banyak melahirkan \”motivator\” ketimbang wirausaha sungguhan, karena sudah merasa serba mengerti meski usahanya belum seberapa besar. Kita lebih banyak menemui orang yg ingin jalan pintas dengan jurus sukses dua menit ketimbang kerja keras, atau lebih memilih \”cara kepepet\” daripada melakukan \”persiapan\” yang panjang.

Bahasa adalah soal rasa, dia berinteraksi dengan aneka motivasi, kejadian dan tuntutan zaman. Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan, yang mungkin jauh lebih penting ketimbang armada nasional, infrastruktur fisik, atau alat2 persatuan lainnya. Yang jelas, daya tariknya harus diangkat kembali setinggi bintang-bintang di langit…

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *