Seorang ibu tergopoh-gopoh mendatangi Gandhi. Permintaannya amat sederhana, agar Gandhi bersedia memberi menasehati anaknya yang sedang sakit. “Tolong nasehati dia agar berhenti makan gula. Gigi dan levernya rusak,” mohon si ibu.
Gandhi terdiam sesaat. Setelah berpikir, ia meminta ibu itu kembali dengan membawa anaknya tiga minggu lagi. Padahal si ibu butuh saat itu juga. Namun karena tak ada pilihan ia pun menurutinya. Tiga minggu kemudian ia kembali bersama putranya yang sakit dan keras kepala itu. Namun begitu memandang Gandhi, aura positif mengalir dalam diri mereka. Anak itu menuruti pesan Gandhi.
Ia berhenti mengonsumsi gula sama sekali dan perlahan-lahan daya tahan tubuhnya membaik. Sampai ia sembuh total dan diajak bertemu kembali dengan Gandhi oleh sang ibu untuk mengucapkan terimakasih. Sebenarnya si ibu punya pertanyaan khusus. Dan Gandhi paham tentang hal itu. Ia pun menanyakan apa yang masih menjadi pikirannya.
“Saya hanya ingin tahu satu hal” ujarnya, “Ya, katakanlah,” kata Gandhi. “Aku ingin tahu, mengapa saat itu engkau meminta kami kembali tiga minggu lagi? Bukankah engkau bisa melakukannya hari itu juga.” Dengan halus Gandhi menjawab, “maaf ibu, saya tidak pernah mengucapkan apa yang tidak saya jalankan. Saya butuh tiga minggu untuk menjalankan sendiri apa yang akan saya ucapkan. Saya belajar berhenti mengkonsumsi sebelum meminta anak itu melakukannya.” Saya tertegun. Bukankah banyak orangtua perokok yang melarang anaknya merokok tapi tak didengar?
Sekolah Nilai-Nilai
Belakangan ini banyak perusahaan memperkenalkan corporate values dengan istilah yang disingkat-singkat. Bank Mandiri menyebutnya TIPCE (Trust, Integrity, Profesionalism, Customer Service dan Excellence). Bank BJB dengan singkatan Go Spirit (Service Excellence, Profesionalism, Integrity, Trust) dan Pertamina dengan 6C (Clean, Competitive, Confident, Costumer focused, Commercial dan Capable). Demikian juga perusahaan-perusahaan lainnya.
Kita juga sering mendengar values berakhiran “as” seperti kerja keras, kerja keras dan kerja cerdas. Namun yang menjadi masalah adalah, apakah values itu benar-benar dijalankan oleh para pembuatnya, pimpinan atau foundernya? Apakah yang dituliskan sebagai values itu benar-benar apa yang sudah dijalankan para pemimpin perusahaan? Melihat metode penanaman nilai yang selama ini ada, saya cenderung mengatakan masih kurang tepat, yaitu dipajang dan dihafal. Harap dimaklumi, memorizing is not a good thinking. Values harus dimengerti, dipikirkan, bukan dihafal.
Saya tentu percaya ketiga perusahaaan yang sekarang tumbuh pesat diatas itu benar-benar menjalankan valuesnya. Namun di luar ketiga perusahaan itu saya masih sering melihat lebih banyak values sebagai hiasan dinding daripada hiasan pikiran para pegawai dan eksekutif, Lebih jauh lagi, kalau kita lihat jauh ke dalam sistem persekolahan kita, maka jelas anak-anak terlalu sering menerima ekspose orang dewasa yang tidak menepati apa yang dijanjikan. Dengan kata lain mereka belajar dari orang-orang yang tidak menjalankan apa yang dipercaya. Terlalu benyak hiasan bibir mewarnai dinding sekolah.
Setahun lalu seorang anak sekolah di Kelapa Gading Jakarta dikeluarkan karena ayahnya diketahui menderita HIV. Anak menjadi korban keadilan dari program sekolah yang lebih mengedepankan aspek komersial ketimbang menjalankan apa yang biasa diajarkan dalam pelajaran agama atau PPKN tentang cinta dan keadilan. Akhir tahun lalu di Situbondo bocah kelas 9 (SMP) juga diberhentikan, dianggap aib karena korban perkosaan. Dan belum hilang dalam ingatan kita tentang kasus-kasus itu, bulan ini terjadi lagi di Depok. Menurut berita yang saya baca, ia disindir kepala sekolah saat mengikuti upacara bendera sehingga semua mata melirik padanya. Begitu mengikuti pelajaran ia diminta berkemas pulang dan diberhentikan. Semua prahara itu dikoreksi sekolah setelah viral sensation ‘menghukum mereka’. Sekolah hanya berubah karena ancaman sangsi sosial yang diterima jauh lebih merugikan ketimbang mengkoreksinya. Sepotong lirik lagu Iwan Falls mengingatkan anak-anak Indonesia: “Jika cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang.” (Bongkar).
Fondasi dasar atau values persekolahan kita adalah pendidikan, dan hanya bisa menjadi tiang Negara kalau orang-orangnya percaya bahwa sekolah merupakan tempat yang aman bagi anak-anak untuk belajar tentang kehidupan. Sekolah bukanlah tempat untuk menjadi pintar atau kaya. Sekolah diadakan untuk membentuk kehidupan. Dan khusus di Indonesia, kita memegang teguh core values yang tertulis dalam pembukaan UUD 45 dan Pancasila.
Jadi masih percayakah mereka terhadap values itu ? Values tentu harus dijalankan, dan hanya mereka yang mempercayai values itulah yang menjalankannya. Jadi, buat apa memajang Pancasila atau corporate values di dinding perusahaan atau sekolah kalau tidak dijalankan ?
Rhenald Kasali
Founder RUmah Perubahan