Sepenggal kata mutiara dari Kahlil Gibran sering saya baca di sejumlah Taman kanak-kanak. “Anak-anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran mini” begitu bunyinya. Tetapi seperti itulah yang tengah dibentuk oleh sistem persekolahan kita. Sehingga tepatlah ucapan Wamenbud, Prof. Musliar Kasim bahwa pendidikan kita telah berubah menjadi sangat membosankan.
Tetapi meski demikian banyak orang tua yang masih berupaya keras mendorong “mesin mogok” anak-anaknya agar mengikuti maunya sistem yang demikian. Walaupun semakin hari sekolah semakin berat, kompetisi materialisme makin menyulitkan, dan anak-anak berbakat luar biasa tak mendapatkan tempat.
Maka kabar bahwa Kemendikbud tengah melakukan evaluasi menyeluruh pada kurikulum pendidikan nasional yang sudah berlalu sejak 6 tahun lalu (2006) perlu disambut dengan baik. Hanya saja antara gagasan dan pelaksanaan perlu pengendalian yang kuat. Dalam kamus penulis buku, dikenal dengan istilah controlling idea, yaitu bagaimana agar hasil dari sebuah ide tidak melantur kemana-mana.
Menghafal yang Tak Penting
Seperti apakah persoalan pendidikan yang dihadapi bangsa ini? Kemendikbud benar, jumlah mata pelajaran yang dibebankan kepada anak-anak kita sudah terlalu banyak. Sudah begitu, sebagian besar bukanlah bahan-bahan penting untuk diajarkan. Selain banyak yang tak penting (menurut anak-anak: “hanya menuh-menuhin isi pala gue”). Cara belajarnya pun sungguh membosankan: menghafal. Agama dihafal, fisika dihafal, bahasa Indonesia dihafal, sejarah dihafal, bahkan rumus matematika dan kimia pun dihafal.
Seminggu yang lalu giliran saya kena batunya\’ saya mendapat pekerjaan menghafal. Disamping saya, ada 2 orang selebriti suami-istri yang masih belia dan biasa berperan dalam layar lebar, sehingga biasalah bagi mereka menghafal skrip naskah. Kepada kami bertiga diserahkan sebuah skrip tebal yang berisi naskah-naskah dialog yang harus kami hafalkan. Tiba-tiba saya jadi ingat kejadian 20 tahun lalu, saat melanjutkan studi. Kepala saya terasa panas, kendati udara di kaki Gunung Gede-Pangrango begitu sejuk. Setelah saya membasuh muka, setiap kali selesai membaca beberapa lembar kertas dialog, kepala saya kembali panas seperti “tengah mengeluarkan asap”.
Kepada para produser, saya lalu menawarkan apakah boleh kami menggunakan cara kami sendiri. Tidak disangka kedua rekan kerja saya segera menyambutnya. Produser sempat bingung karena kalau mau mudah, script harus diikuti dengan kaku. Mudah diedit, tetapi sulit di ingat talent. Setelah beberapa saat berbincang akhirnya putusan diambil: kita gunakan cara bebas saja.
Anda mau tahu peristiwa kimiawi apa yang terjadi di dalam kepala saya? Seperti yg juga anda alami, dengan cepat kepala kami berubah menjadi enteng. Rekan –rekan kerja saya yang semula miskin senyum tiba-tiba berubah menjadi banyak senyum. Kami mrngubah hafalan menjadi pikiran. Alhasil, waktu rekaman yang saya duga akan berlangsung tiga jam ternyata bisa selesai dalam satu jam. Hasilnya ternyata lebih bagus dari naskah.
Kejadian diatas mengingatkan saya pada beban yang dialami oleh anak-anak kita yang setiap hari dipaksa menghafal. Anak-anak yang terbiasa menghafal akan menjadi anak-anak yang berpengetahuan. Namun harus saya akui, anak-anak yang lebih menghafal dapat terganggu daya terobosan dan motoriknya. Perhatikanlah anak-anak yang dijuluki si kutu buku. Mareka cenderung menjadi anak rumahan yang malas. Dan maaf, perhatikanlah juga birokrat-birokrat senior yang direkrut dari kampus-kampus terkenal dengan IPK tinggi. Saya khawatir, “malas bergerak”nya mereka bukan disebabkan oleh beban pelajaran di masa lalu, melainkan karena terlalu banyak “menghafal”. Kuliah menghafal, peraturan-peraturan pemerintah pun dihafal, bukan ditindaklanjuti. Menjadi cenderung “ingin dilayani”, bukan menjabat untuk melayani.
Deep Understanding
Setahun yang lalu saya pernah menulis kolom yang bercerita bagaimana anak-anak saya bersekolah dengan penuh sukacita di sebuah kota yang sejuk di New Zealand. Di Jakarta, anak saya benar-benar menghadapi kesulitan. Sulit bagi saya menemukan guru yang memahami bahwa anak saya bukanlah orang dewasa dalam ukuran mini. Ia diperlakukan sama dengan yang lain dan mungkin dianggap bodoh (dan sepertinya sejarah berulang seperti yang saya alami dulu). Padahal Albert Einstein pernah mengatakan bahwa semua orang yang dilahirkan di muka bumi ini pada dasarnya adalah genius. Masalahnya mereka selalu diukur kecerdasannya bukan atas apa yang mereka miliki, melainkan atas hal-hal yang tidak mereka miliki.
Lantas apa yang membuat anak-anak itu belajar dengan senang dan mencapai prestasinya ? Sebagai masukan kepada para perumus kebijakan, mungkin usulan-usulan berikut ini dapat dipertimbangkan. Pertama, betul bahwa jumlah mata pelajaran dan konten perlu dirampungkan dan hanya hal-hal yang dianggap pentinglah yang perlu diajarkan. Kedua, mata ajaran yang tidak banyak bukan berarti membuang subjek-subjek yang dulu dianggap penting. Berikanlah pilihan kepada siswa agar sedari kecil mereka sudah terbiasa membuat pilihan. Jadi, sejak anak-anak diajak mengambil subjek berdasarkan “apa yang disukai” dan “apa yang dianggap penting” bagi hidupnya.
Ketiga, hentikanlah tradisi menghafal dan bangunlah sistem pendidikan berbasiskan kemampuan belajar dan berfikir. Bedanya antara siswa yang dibesarkan dalam sistem pendidikan berbasiskan tradisi menghafal dengan tradisi berfikir: yang satu lebih berpengetahuan namun tidak kritis sedangkan yang satu sebaliknya. Pengalaman saya sebagai pendidik menunjukkan siswa siswa yang berpengetahuan (dengan menghafal) ternyata kurang memiliki kemampuan berkomunikasi yang lebih terbuka dan kurang aktif bergerak mendaatangi.
Keempat, alihkan kelebaran menjadi kedalaman. anak anak yang belajar harus dialihkan ke dalam berpikir mendalam, bukan sekedar tau banyak namun hanya berada di permukaan. Jadi, perubahan memang diperlukan, tetapi idenya harus dikendalikan. Kalau tidak kita terpaksa harus berubah lagi berkali kali tanpa kejelasan.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan