Seperti 10 tahun silam, di jantung Kota New York jarang ditemui kaum muda berpakaian kasual. Memasuki pintu Gedung Yale Club di Vanderbilt Avenue, tertera tulisan tentang dress code yang berlaku, yaitu business attire.Tulisan seperti itu ada di banyak tempat.
Tak ada jins atau sepatu kanvas. Hanya jas hitam setelan Wall- Street dengan jemputan limo dan aroma financial center. Namun sarapan pagi teramai tetap ada di kedai-kedai kecil kaki lima yang dulu hanya menjajakan bagels dan hotdog. Globalisasi menggeser bagels dan hotdog menjadi kebab, chicken kungpao, colombian coffee, dan curros dari Brasil yang dimasak imigran asal Arab, Iran, China,atau Pakistan.
Sementara di highway tetap dapat ditemui sopir-sopir truk kulit putih bertubuh besar, bercelana jins dengan aneka tato bendera nasional. Bahkan truk Volvo yang datang dari Swedia saja gagal menembus dominasi dan nasionalisme pekerja transportasi ini.Mereka hanya ingin truk buatan Amerika. Di Vancouver, Kanada, ribuan imigran yang bekerja sebagai sopir taksi biasa memutar puji-pujian berbahasa India.
Tak peduli penumpangnya dari negara mana atau beragama apa.Yang jelas mereka berasal dari daerah yang sama di India dan pendengar setia radio dan televisi channel India yang gelombangnya bisa ditangkap di Amerika dan Kanada. Di tepi Jalan Burrard yang ramai, Sala Thai dan kios Japadog tak pernah sepi. Tamunya tentu saja beragam. Ada bule yang makan nasi goreng nanas (yang disajikan di atas potongan nanas besar yang dibelah dua) porsi besar, atau orang Asia yang selalu minta tambahan cabai iris.
Kios-kios kaki lima Japadog yang jumlahnya puluhan di Vancouver mirip dengan usaha gerobak-chise anak-anak muda di sini. Kalau di Yogya, usaha seperti ini agak mirip seperti jaringan usaha kaki lima nasi kucing angkringan yang dikelola orang-orang yang berasal dari Purwokerto. Kudapan yang disajikan Japadog agak mirip dengan hotdog di New York. Namun globalisasi telah menggeser hotdog lama yang rasanya datar menjadi kobe beef, chicken teriyaki dan sup misu.
Tentu saja topping-nya bukan mayonais keju, tetapi rumput laut, togarasi, picanta, dan wasabi. Namun di Busyro, kota ziarah Suriah, dan Kanaan, Palestina, masih biasa kita temui petani Arab yang bersahaja, menunggang keledai dengan raut muka yang tetap ceria di antara derungan Lexus yang menyalip tak sabar.
Sama bersahajanya dengan penduduk Desa Metar di Waeapo, Buru Utara, yang masih setia memakai ikat kepala yang diwariskan nenek moyang yang datang dari Pulau Jawa di era kejayaan Majapahit dan menari tifa. Mereka tetap setia memasak minyak kayu putih meski tambang emas dan telepon seluler dari China dan Finlandia menggempur kehidupan mereka.
Dunia yang Membingungkan
Dunia yang menyatu, terintegrasi memang belum dinikmati semua bangsa dari berbagai kelas. Ada yang memilih bertarung habis-habisan, ada yang tak memedulikannya, tetapi ada yang membangun dinding besar-besaran, memilih jalur proteksionisme. Jangankan businessman, politisi yang sering jalan-jalan ke luar negeri saja bisa tersesat dalam perangkap ideologi globalisasi menurut versinya sendiri.
Menurut Ian Bremmer dan David Gordon, kalau logikanya benar, inilah era yang disebut G-Zero. Era di mana tak ada negara yang dapat dijadikan role model karena globalisasi tengah mengarah pada memudarnya kepemimpinan global. Jadi bukan G-20, bukan G- 7, G-3 atau G-2 lagi yang mengatur dunia, melainkan G-Zero. Umpatan ”neolib” belakangan banyak diucapkan di sini untuk menolak kehadiran globalisasi, bahkan memfatwakan mekanisme pasar sebagai gerakan ”tak bermoral”.
Padahal ketika para teknokrat menggaungkan langkah deregulasi yang marak sebagai paket ekonomi era 1980–1990-an, tak ada yang menentangnya. Deregulasi disambut hangat karena peran negara saat itu begitu dominan. Deregulasi adalah bagian dari arus globalisasi, bahkan anak emas neoliberalisme. Caci maki terkuat di era 1980–1990-an sepertinya hanya terjadi di Inggris saat pemerintahan Margaret Thatcher yang dikenal sebagai Iron Lady.
Peran negara benar-benar dimundurkan ke belakang, diganti pasar secara besar-besaran. Beberapa kalangan mengakui itulah awal kebangkitan yang pahit. Demo besar dan krisis terjadi di era Thatcher. Di dunia global dia dianggap satu paket dengan Ronald Reagan. Tapi meski dituding sebagai kebangkitan neoliberalime, dipercaya keduanyalah yang mampu menyelamatkan kapitalisme. Sementara mereka yang memilih peran negara yang dominan justru mengalami kebangkrutan.
Negara-negara super seperti Uni Soviet bersama dengan sejarah komunismenya bangkrut. Bersama dengan China, mereka membuka diri menjadi ”pasar” yang bagi kaum tua dianggap ”tak bermoral” itu. Mereka tidak menerima persaingan dalam kehidupan, bagi mereka semua orang sebaiknya mendapat bagian yang sama dengan subsidi dari negara. Kalau para penolak arus globalisasi menuding lawannya sebagai ”neolib”, mereka sendiri tak mau disebut ”neokom”.
Tapi kalau ditelisik memang mereka menghendaki peran negara yang besar, sentralisme, kurang mendukung persaingan bebas, menuntut subsidi di banyak sektor, dan tak ada pemikiran tentang efisiensi atau skala ekonomis. Bahkan pendekatannya pun menjadi dialektis-konfrontatif. Saya masih ingat di awal 1990-an serombongan pejabat dari Bappenas mengunjungi kampus saya di Amerika Serikat. Mereka meminta diperkenalkan dengan profesor-profesor ekonomi terkenal.
Namun di hadapan tokoh-tokoh penerima hadiah Nobel ekonomi itu terjadi dialog yang menarik. Bappenas mencari mentor yang bisa mengajari mereka ekonomi perencanaan, sementara penerima hadiah Nobel mengatakan ekonomi perencanaan yang sentralistis sudah mati dan tak akan ditemui di kampus mana pun, kecuali di Rusia (sebelum perang berakhir). Dikotomi pasar-perencanaan mulai terkuak dan gagasan desentralisasi mulai dibicarakan.
Namun, di era itu, tak mudah manusia mencernanya. Bahkan model paradoks seperti yang dipraktikkan di China sekarang saja belum kelihatan. China mempraktikkan mekanisme pasar di bawah kepemimpinan Partai Komunis. Anak kesayangannya, Vietnam, mengatakan market mechanism under socialism leadership. Di banyak negara muncul gejolak yang membingungkan yang menolak globalisasi dengan berbagai pemikiran.
Mekanisme pasar tak pernah terjadi secara sempurna, sedangkan peran negara juga sering mengalami kegagalan (government failure). Anda mungkin masih ingat umpatan Rupert Murdock yang sangat terkenal yang ditujukan pada kapitalisme Amerika Serikat di awal krisis. Dia mengatakan, ”Kalian mengatakan krisis terjadi karena pasar yang gagal, kehancuran dunia keuangan Amerika justru diawali keinginan pemerintah agar rakyat bisa membeli rumah murah dan Fannie Mae didorong memberi kredit perumahan secara besar-besaran.”
Di Indonesia, kita bingung melihat pemerintah ragu-ragu membatasi pemakaian subsidi BBM. Bahkan membiarkan barang subsidi itu dipakai untuk kegiatan ”bersenang-senang” oleh rakyatnya, baik untuk geng motor, pelesiran ke Puncak atau menikmati mobil mewah berkeliling jalan tol yang macet atau seperti menyaksikan auto show saat kondangan.
Dalam bidang pendidikan, kelas menengah yang mampu membayar harga pasar ”dipaksa” menikmati biaya SPP bersubsidi, sementara sekolah asing dibiarkan beroperasi di sini. Sekolah murah tentu tak boleh berkualitas murahan, tetapi bayaran terhadap PNS yang murah hanya menghadirkan pelayanan yang buruk,low quality, dan komplain. Akhirnya, ketidakjelasan sikap hanya mengakibatkan ”pasar”dinikmati pemain-pemain asing.
Empat Dunia
Sementara dunia sendiri tengah berintegrasi, deregulasi dan regulasi tengah bertarung di sini. Indonesia sendiri seperti tengah kebingungan, demikian juga politisi dan ekonomnya yang dibesarkan dalam pemikiran-pemikiran silo-isme yang asyik dengan mainannya sendiri-sendiri. Ekonom yang dulu bisa memimpin pemikiran-pemikiran ekonomi kini justru berada di bawah kendali mesin-mesin partai politik.
Suara mereka tak selantang pemilik polling atau pemegang corong di parlemen. Di tengah-tengah pemikiran itu,muncul pemikiran yang justru datang dari ekonomi pinggiran. Pankaj Ghemawat dari Harvard (dan sekarang menjadi guru besar di IESE Business School Barcelona) membagi gejala globalisasi ini ke dalam empat kriteria yang dia sebut World 0.0,World 1.0, World 2.0, dan World 3.0.
Membaca pemikiran itu akan jelas di mana Anda berada dan mengapa dialog mengenai subsidi dan neolib di sini menjadi kumuh dan tak berujung. Tentu saja dampaknya akan terasa pada bagaimana para CEO menempatkan dirinya di tengah pusaran perubahan ini. Kalau ekonominya sedang membaik,harusnya usaha Anda ikut tumbuh dan akan banyak ada kemudahan.
Dalam realitasnya, justru banyak incumbent yang ”terkapar” dalam ekonomi tanjakan ini. Mirip truk-truk besar yang mogok di tanjakan Pancoran atau Slipi di dalam jalan tol yang harusnya lancar dan membuat Anda bisa lebih cepat sampai. Saya akan mengulasnya dalam kolom ini minggu depan.
RHENALD KASALI
Ketua Program MMUI
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/491708/34/