Ekonomi Urban Center – Jawapos 7 Mei 2012

Dari Bandara International San Francisco, hari Rabu  minggu lalu saya sudah siap meluncur menuju kota satelit di Castro Valley yang jaraknya sekitar 100 miles. Kalau 10 tahun yang lalu saya minta dijemput, kini saya merasa lebih nyaman mengemudikan sendiri mobil sewa yang sudah saya pesan lewat internet. Sebuah alat pemandu jalan digital (GPS) yang dipandu oleh satelit sudah di tangan. Kami membayar sekitar USD 500 untuk sewa mobil SUV yang sudah diisi penuh bensin nonsubsidi dan asuransi selama 4 hari. Perkiraan saya, paling lama 1 jam sudah sampai. Namun diluar dugaan perjalanan mulur menjadi dua jam.

Bukan karena macet, melainkan mesin GPS mengacaukan perjalanan. Setiap ada kota-kota baru, kami \”dipaksa\” exit, berkeliling barang lima belas menit berputar-putar. Maklum GPS punya cara berpikir sendiri. Namun saya tak merasa dirugikan. Saya tersesat diantara industri yang dibangun dengan cara-cara berpikir baru, yaitu berkembang pesatnya start-up company  di sekitar lembah Silikon dari San Francisco hingga San Jose. Kota-kota baru bermunculan, menarik orang-orang muda berpendidikan dari manca negara, dan mereka menciptakan kesejahteraan-kesejahteraan baru bagi ekonomi California yang sempat bangkrut di bawah gubernur Arnold Schwarzenegger.

Menurut sejumlah hasil penelitian, kehidupan manusia diawal abad 21  telah berubah menjadi komunitas-komunitas  urban yang dibentuk oleh kewirausahaan dan industri properti. Bila pada tahun 1800 hanya 3% penduduk dunia yang tinggal di kota, maka pada abad 19 telah berubah menjadi 47%.  Kota- kota lama seperti Bagdat, Kairo dan Roma menjadi pusat kegiatan para elit dan pengambil keputusan politik yang pnting.  Tetapi di abad ini kota adalah segala-galanya. Menurut data dari PBB, tahun ini saja ada 3,8 miliar. Jadi wajar kalau Anda akan tersesat setiap memasuki kota-kota besar yang lama Anda tak kunjungi. Jangankan San Francisco, ke Bandung saja atau jalan-jalan ke daerah Bintaro saja, Anda bisa tersesat.

Big Opportunity
Big problem, Big Opportunity. Bayangkan bila 3 dari 5 penduduk dunia sudah tinggal di daerah perkotaan, maka hilanglah memory masa lalu anak-anak kita tentang sawah dan belut, surau atau beduh, atau air yang mengalir dengan suara ayam jago yang membangunkan pagi hari kita. Demikian pula dengan sapu lidi saat emak-emak menyapu jalan, Semua digantikan dengan suara elektronik:  alarm, loud speaker, arungan suara ambulans, klakson mobil dan tentu saja bantingan pintu mobil dan jingle  televisi.
Padahal, dulu kota adalah sebuah imajinasi keindahan. Filsuf Ibnu Khaldun, pada tahun 1382 mengatakan Kairo adalah \”Metropolis of the universe, the garden of the world \” Bahkan Thomas Cagut yang mengagumi Venesia menyebutnya sebagai \”The most beautiful queen.\” Tak dapat saya bayangkan bagaimana dulu para khalifah tertarik dengan Yerussalem dan Damaskus, atau bagaimana para seniman-seniman tergila-gila dengan Paris dan Roma. Tetapi sejak kota menciptakan daya grafitasi yang liar, ia telah berubah menjadi pusat segala masalah.

Di Praha saja, para penduduk kota begitu cemas karena tingkat pertumbuhan penduduknya rendah, tetapi ada satu komunitas yang justru tumbuh cepat, yaitu kaum gypsi. Masalahnya, kaum gypsi ini sulit diatur, hidupnya nomaden dan banyak menimbulkan masalah kriminalitas. Tiga dari empat pengutil yang ditangkap, hampir pasti orang gypsi. Nah, kalau mereka menguasai kota, maka kekuatan politik pun akan berubah. Mereka akan menjadi penentu masa depan. Sama seperti benturan budaya yang terjadi di Brussel, Belgia dengan komunitas yang berasal dari kelompok arab.

Singkat cerita, banyak masalah adalah banyak peluang. Bahkan kesejahteraan suatu bangsa, menurut dari ahli urban economics, kelak akan ditentukan bagaimana bangsa itu memilih walikota-walikota dan gubernur-gubernurnya, bukan lagi presiden. Menurut Marc Weis dari Prague Institute for Global Urban Development, \”Cities are the fundamental blocks of prosperity.\”  Jadi bila Anda salah memilih walikota, Anda akan menyaksikan kemiskinan dan keadilan ada di sekeliling kota tempat tinggal Anda. Dengan demikian kesejahteraan manusia abad ini ditentukan oleh kualitas kota-kota itu ditata.

Kota-kota besar itu tengah bergeser menjadi semacam manorial government, seperti yang pernah dialami oleh Virginia dan Massachuset di abad 18, dimana pemerintahan dikuasai oleh para pengembang property. Kota lebih tertata, tetapi mereka bisa mengubah peta demokrasi dan suara orang kota lewat kekayaan dan tanah yang mereka kuasai. Jalan-jalan mereka ubah, dan persoalan-persoalan kota mereka ciptakan.  Jngan-jangan itu pula yang tengah terjadi sekitar megacities Jabodetabek dan Surabaya.

Global GDP
Mckinsey Global Institute (MGI) belum lama ini mengeluarkan hasil penelitiannya yang dilakukan terhadap 2000 metropolitan area di seluruh dunia. Studi ini menyimpulkan bahwa 60% global GDP ternyata telah dihasilkan oleh hanya 600 kota (Urban Center) di seluruh dunia. Bila pada tahun 2007, 308 kota besar itu ada di negara-negara maju dan dari negara berkembang hanya berkontribusi 10% dari Global GDP, maka pada tahun ini kekuatan itu justru datang dari negara-negara sedang berkembang.
Hanya saja MGI mengingatkan, potensi itu tengah bergeser dari Megacities (dengan penduduk diatas 10 juta) ke kota-kota menengah (penduduk antara 150.000 hingga 1 juta jiwa). Hari ini saja, kontribusi ke 23 megacities itu hanya 14% dari global GDP, dan akan turun menjadi 10% pada tahun 2025. Sedangkan midcities yang berjumlah 577 juta, pada tahun 2025 akan memberi kontribusi diatas 50% terhadap pertumbuhan GDP global.

Anda tentu ingin tahu dimana saja pusat-pusat masalah, eks pusat peluang ekonomi dunia itu. Menurut Majalah Far Eastern Economic Review, pada 2025 di Asia akan ada 10 kota mega dengan penduduk di atas 20 juta. Diantaranya adalah Mumbay (33 juta jiwa), Shanghai (27 juta jiwa), Karachi (26,5 juta jiwa), Daka (26 juta jiwa) dan Jakarta (24,9 juta jiwa).

Kota-kota ini menjadi pusat pergerakan uang, manusia, politik, jasa-jasa baru, kewirausahaan, inovasi, pendidikan dan tentu saja kriminalitas. Bisnis akan tetap senang berkumpul di kota-kota besar karena mayoritas pekerja usia produktif dan pemilik-pemilik bakat-bakat cemerlang ada di sana. Ini akan menjadi masalah baru dalam penataan ekonomi Indonesia ke depan.  Kalau sudah begitu, tak cukup hanya infrastruktur seperti irigasi saja yang perlu diberikan untuk mempertahankan keberadaan petani, melainkan insentif lain yang sangat menarik.  Kalau tidak, anak-anak petani pun akan memilih pindah ke kota dan tak ada lagi padi yang menguning. Wajar saja kalau tanah yang Anda gali bukan keluar air bersih, melainkan tomcat dan hama-hama yang tak pernah Anda kenal.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *