Pidato Prof Emil Salim – Sindo 8 September 2011

Sejak mahasiswa, saya sangat mengagumi Prof Emil Salim.Dulu,sebagai seorang menteri, Emil Salim adalah satu dari sedikit orang yang tetap aktif memberikan kuliah di Universitas Indonesia (UI).

Bahasanya jelas, teknik komunikasinya begitu indah, kontennya futuristik,dan selalu memukau. Dia adalah sosok yang mampu memisahkan ilalang dari rumput-rumputnya. Senin lalu (5/9), saat memberikan orasi ilmiah, dia mengejutkan banyak orang.Selain mendatangkan massa,gagasannya merembes begitu cepat,menyatukan sikap dan gerakan bukan hanya di lingkungan civitas academica, melainkan di kalangan masyarakat luas.

Tidak mengherankan bila undangan beredar begitu cepat dan mendatangkan ketakutan dari pihak-pihak yang ”khawatir” boroknya akan dibuka. Saya semula sempat bertanya, ”Borok apa sih? Kok ada pihak-pihak yang ketakutan? Mengapa pidato itu tiba-tiba diumumkan batal oleh pihakpihak tertentu?”Rupanya,ada kekuatan status quo yang begitu khawatir dan tentu saja perilaku mereka menjadi backfired.

Mungkin mereka yang mencoba membatalkan orasi tak mengenal banyak sosok profesor yang paling banyak dicinta civitas academica UI saat ini.Prof Emil bukanlah ”tukang cabut gigi jalanan”. Dia juga bukan orang yang mudah dipengaruhi atau ditunggangi sesuatu yang belum tentu benar.

Hati nuraninya sangat kuat. Mungkin karena itu pula kelompok-kelompok yang ”khawatir”itu menduga nasibnya sudah di ujung tanduk. Beberapa pejabat publik sibuk mengecek dan meminta Prof Emil membatalkan pidatonya. Bahkan ada pejabat yang terang-terangan mengatakan akan mengirim polisi untuk pengamanan.

Aneh-aneh saja. Begitulah sebuah kekuatan nurani. Tak ada yang bisa memengaruhinya, mengotori, apalagi membatalkannya. Alhasil Prof Emil berbicara juga. Namun bukan ”cabut gigi”,Prof Emil ”hanya berbicara”soal moral, yaitu pentingnya UI untuk tetap menjadi mercusuar penegakan moral dan hati nurani. Saya melihat sejumlah orang tergetar saat dia mengatakan,”I am not for sale.”

Gerakan Perlawanan 
Selama lebih dari 31 tahun menjadi civitas academica UI, saya sendiri belum pernah menyaksikan gelombang perlawanan internal dan eksternal terhadap pimpinan UI sebesar sekarang ini. Gelombang itu begitu kuat, beredar merata di semua fakultas, mulai dari guru besar hingga mahasiswa, kecuali para dekan yang diangkat langsung oleh rektor.

Bukankah selama ini Rektor UI adalah pejabat yang amat ”disegani” masyarakat? Apa yang salah dengan semua ini? Setiap hari seperti yang dialamiProfEmil, saya jugamenerima ribuan messages sehingga alat-alat komunikasi saya harus di-charge berkali-kali. Mulanya hanya saling bertanya.

Beberapa orang mencoba memberikan pandangan. Tapi lambat laun semua orang mengungkapkan fakta demi fakta yang sungguh menyakitkan. Anehnya, kok semua memiliki pengalaman yang sama? Ini benar-benar aneh. Semua pejabat di garis bawah di lingkungan UI merasakan adanya ketidakjujuran dan ketidaktransparanan seperti kata Prof Emil, ”Jangan ada dusta di antara kita.”

Ada yang berbicara soal transparansi penerimaan mahasiswa baru, transparansi keuangan di lingkungan pimpinan, soal pemberian gelar DHC yang terkesan ”buta nurani”dan menimbulkan ”damage” yang sangat besar bagi reputasi UI. Seorang peneliti menulis:

”Uang untuk perjalanan dinas melakukan paparan ilmiah pada simposium di luar negeri sangat terbatas.Saya hanya diberi SPJ untuk tiga hari.Begitu sampai, langsung presentasi, lalu pulang. Hati saya teriris saat mengetahui rektor mengantarkan gelar DHC ke Raja Saudi beserta 23 orang dan mereka bersantai-santai di sana selama 10 hari.

Apa bedanya mereka dengan wakil rakyat yang sering kita kritik?” Yang lainnya memberikan informasi lain. ”Saya lihat di koran yang membela kepentingan rektor adalah orangorang yang sudah diumrahkan. Pantaslah mereka mengatakan cepat-cepat bahwa pemberian gelar itu tak ada masalah. Mereka benar-benar telah kehilangan nurani.”

Seorang doktor muda yang sering tampil di televisi menjelaskan kepada saya betapa lemahnya pengetahuan anggota- anggota komite tetap yang dibentuk rektor. ”Bayangkan, ” ujarnya. ”Mereka ternyata tidak mengerti bahwa pemberian gelar harus ada promotor dan pidato ilmiahnya.Saya saat itu diminta mengevaluasi gelar untuk seorang budayawan. Setelah saya gali ternyata tokoh itu mengaku bukan budayawan, melainkan sastrawan.

Saya pun mengajakkomitetetapitupergi ke kantor tokoh itu. Saya surprise mengetahui komite tetap yang melakukan evaluasi itu ternyata tidak mengerti karyakarya sastra yang dihasilkan tokoh itu dan karya-karya sastra nasional.

Pantas saja, bidang ilmu mereka yang menilai bukan di situ,”tambahnya. Maka saat terjadi keributan terhadap pemberian gelar DHC pada Raja Saudi, rekan saya tadi maklum. ”Saya pikir mereka menjadi lebih berhatihati, ternyata tidak,” tambahnya.

Nurani dan Kepercayaan 
Sama seperti Prof Emil,saya dan kawan-kawan di UI pada prinsipnya juga tidak merasa nyaman menyampaikan cerita internal ini kepada Anda. Kita semua ingin agar persoalan di UI cepat selesai dan dunia akademik bisa kembali memberi contoh yang baik kepada publik tentang pentingnya ”integritas”,demokrasi, saling menghormati,prinsip kesetaraan, dan saling bekerja sama.

Pendapat tentu boleh saja berbeda-beda, tetapi kepala harus tetap dingin dan berbicara dengan kejujuran. Namun apa yang terjadi? Saya menyaksikan satu per satu kebohongan publik yang tidak bisa kita diamkan, apalagi UI selama ini selalu dicontoh kalangan perguruan tinggi.

Maka itulah pidato Prof Emil disampaikan secara halus, yaitu soal governance dan pendidikan berhati nurani. Saya menafsirkan apa yang disampaikan Prof Emil sudah sangat tepat, yaitu adanya persoalan leadership yang tidak dilandasi prinsip-prinsip governance.

Namun kalau Anda peka, Anda pasti membaca pesan di balik kehalusan budi Prof Emil, yaitu ”Masihkah Anda bisa dipercaya?” Prof Djoko Santoso,mantan Rektor ITB yang saat ini menjadi Dirjen Pendidikan Tinggi, mengingatkan kepada saya bahwa dia sudah pernah mengingatkan Rektor UI tiga bulan lalu bahwa pemberian gelar itu tidak tepat. Celakanya, peringatan itu tidak didengar.

Saya kira persoalannya akan menjadi lain bila seorang pemimpin berhati nurani dan mau mendengarkan ”suara-alam”,yaitu feedback,atau ”suara rakyat”. Prof Djoko Santoso menambahkan, dulu dia juga mengalami hal serupa,saat ITB memberi gelar DHC kepada seorang yang sangat berpengaruh di sini.”Tapi saya aman karena dari awal prosesnya dikawal banyak orang.” Saya selalu mengatakan, ”Ini keputusan kita bersama.”

Hal itu tentu berbeda dengan yang terjadi di UI belakangan ini.Spirit kolegialitas lenyap, digantikan hubungan sentralistik seperti di Uni Soviet saat kepemimpinannya dikuasai Partai Komunis yang otoriter dan satu arah. Sepanjang pemimpin bekerja dengan kesungguhan dan menjaga integritasnya, maka semuanya beres.

Struktur yang kaku dan otoriter, asal dijaga orang-orang yang berhati mulia dan rendah hati,bisa saja menghasilkan respek. Meski begitu semuanya diselewengkan dan drama sandiwara dikedepankan.

Maka, di zaman yang serbaterbuka ini, perilaku buruk bertopengtopeng itu dengan mudah disingkap. Saya tentu tidak bisa bercerita soal-soal lain yang tidak sedap di sini. Sungguh, saya tak pernah melihat gelombang perlawanan, kekecewaan, dan amarah yang begitu kuat di lingkungan UI seperti saat ini

Rhenaldk Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/426148/34/

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *