Dokter Tukang Kue – Jawapos 12 September 2011

Entah mengapa, ada banyak kisah lucu tentang label yang merekat pada manusia di negeri ini. Beberapa hari  ini ramai diberitakan serba gelar. Dokter Aisha Wardhana, yang gambarnya sering ditampilkan di sebuah media dotkom sedang memeriksa pasien dikabarkan hilang diculik teroris di Somalia. Sebagai relawan tentu banyak orang bersimpati padanya.
Selagi Kementerian Luar Negeri sibuk mencari, tiba-tiba diberitakan ia sudah kembali ke Indonesia. Gimana ceritanya sehingga ia bisa lolos? Ia mengaku terluka tembak di bahu kiri. Betapa heroiknya relawan ini, pikir kita.

Namun belakangan ceritanya diralat. Aisha ternyata bukanlah dokter. Nama aslinya pun bukan Aisha, melainkan Caroline Tyassasanti, dan beberapa orang yang mengenalnya memberitahu wartawan bahwa “Aisha” yang mereka lihat itu sesungguhnya adalah seorang pembuat kue, bukan dokter. Beda benar dengan citra diri yang diciptakan oleh media massa, seorang berjubah putih dengan masker hidung berwarna hijau muda tengah memeriksa seorang pasien anak-anak yang diantar oleh ibunya.

Pupus sudah cerita tentang dokter yang heroik. Sama pupusnya tentang kehebatan yang melekat pada Nazaruddin setelah ia tertangkap polisi Interpol di Columbia atau kesakralan yang melekat pada seorang ulama yang terlibat kasus, atau seorang “genius” yang mempromosikan pupuk serba hebat yang ternyata merusak tanaman.

Charismatic Authority
Apa yang dilakukan orang-orang itu untuk menampilkan kehebatan tentang dirinya sebenarnya tak lepas dari teori yang dikenal pada tahun 1970-an, tentang Charismatic authority. Konsep ini begitu kuat di era radio yang membuat orang berkhayal, ditambah era pencitraan di tahun 1980-an.

Charismatic authority adalah sebuah otoritas yang dilandasi oleh kekuatan tunggal berupa kharisma. Tidak didukung pengalaman, pendidikan atau faktor-faktor penting lainnya yang sesungguhnya sangat dibutuhkan. Charisma itu begitu kuat, ibarat baju yang membuat orang terkesima dan patuh, menaruh rasa hormat dan seterusnya.
Tetapi pertanyaannya, mengapa tokoh-tokoh yang menggunakannya di abad 21 satu persatu berguguran? Jawabnya adalah karena di abad 21 ini tak ada lagi yang namanya rahasia. Semua yang tertutupi begitu cepat dibuka atau terbuka, betapapun kuatnya benteng tameng seseorang.

Orang bisa saja mengaku sebagai ahli pembuat komputer kelas dunia seperti Jusuf Randy yang dulu dikenal dengan lembaganya yang karismatik (LPKIA). Namun belakangan ia terbukti berbohong sehingga lari ke luar negeri. Demikian pulalah dengan dokter Aisha yang dalam sekejap terungkap jati dirinya, meskipun surat kabar sempat memberitahukan bahwa yang bersangkutan adalah dokter lulusan salah satu perguruan tinggi.

Untuk memiliki otoritas yang kuat di abad 21 ini manusia perlu membangun 2 hal, yaitu karakter dan kompetensi. Bahkan Stephen Covey menyebutkan, leadership is nothing than what a person is and what a person does. What a person is tampak dari karakter yang dimiliki orang tersebut yang hanya bisa didapat dari pengalaman dan didikan keluarga di masa kecil. Karakter tidak bisa dibohongi karena itulah jati diri manusia yang sebenarnya.
Sedangkan what a person does tercermin dari kompetensi yang dimilikinya. Kompetensi ini didapat dari orang lain, dari guru, buku, dan sekolah. Ia dapat dipelajari dan dilatih agar terus berkembang menjadi suatu kekuatan. Kompetensi akan tampak pada hasil atau output suatu kegiatan.

Di Panitia Seleksi KPK, saat pemeriksaan makalah dilakukan kami melarang tim pembaca mengetahui nama masing-masing pemakalah. Dan saat wawancara dilakukan, semua kandidat dilarang memakai seragam dinas masing-masing. Jadi para kandidat hanya boleh datang berbaju batik saja. Sebab, apalah artinya polisi tanpa seragam dinas? Anda – pengemudi – tentu tak akan berhenti hanya diberhentikan seseorang yang berpakaian sama seperti diri Anda. Namun begitu orang itu berseragam, lain pulalah ceritanya.

Di hari lebaran ini saya menerima sebuah foto digital yang dikirim teman-teman melalui jaringan BBM yang judulnya: Suami yang setia. Anda tahu foto apa itu? Ya, itu foto seseorang berseragam polisi, lengkap dengan atribut-atributnya, sedang berselonjoran di lantai dapur mengupas bawang dan memotong cabai. Pusing kepala saya untuk menanggapinya.
Kompetensi dan karakter adalah sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Orang berkompetensi tanpa karakter adalah penipu. Sedangkan karakter tanpa kompetensi adalah penggerutu. Gabungan keduanya melahirkan manusia yang unggul, dicintai dan menjadi modal besar bagi perubahan. Bagaimana bila Anda tak memiliki keduanya? Tanyakan saja pada tukang kue yang mengaku menjadi dokter itu, dia pasti tahu jawabannya.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *