BAGASI – Jawapos 5 September 2011

Setiap lebaran saya selalu tertegun melihat persiapan para pemudik.  Yang saya pikirkan adalah bagaimana masing-masing membawa bagasi.  Sudah sesak isi manusia di kereta api, atau kapal laut, bagasi bawaan setiap orang, Masya Allah…banyak dan besar-besar.  Cara membawanya pun sungguh ribet.  Bukan dipersiapkan dalam koper kecil beroda, tapi dalam kardus-kardus bekas.  Bukankah harga koper sekarang sudah jauh lebih murah dari harga sebuah ponsel?

Di jalan tol pada H-2 saya juga melihat rombongan mobil yang penumpangnya sangat padat, tapi bagasinya yang besar-besar juga tampak dibungkus kain terpal, diikat di atas kap mobil.  Beruntung lebaran kali ini jatuh di musim panas, tak ada hujan dan petir yang bisa membuat isi bagasi rusak.

 

Cerminan Rasa Pede

Melihat itu semua saya suka tersenyum sendiri.  Bukankah dulu, kalau bepergian kemana saja saya juga suka begitu?  Saya masih ingat, dalam trip pertama ke luar negeri, koper bawaan saya besar sekali.  Lebih besar dari ukuran badan saya dan dibelikan orangtua di jalan Surabaya.  Katanya, koper itu bekas punyanya orang asing, jadi kualitasnya bagus.

Tapi karena isinya segala macam, di bandara selalu timbul masalah.  Kelebihan beratlah.  Bentuknya jadi gelembung sana sinilah.  Bawanya setengah mati.  Handelnya tiba-tiba putus.  Tak bisa diangkat petugas karena kebesaran.  Bahkan pernah di Los Angeles, saat transit dan koper dipindahkan ke ban berjalan di stasiun domestik, tiba-tiba petugas setempat membanting koper seenaknya.  Maklum di sana cara kerja petugas sangat kasar.  Bantingan itu membuat saya sungguh malu.  Isi koper berceceran.  Anda tahu sendirilah, penumpang dari dunia ketiga yang baru pertama kali bepergian….

Di Eropa, saat melakukan trip saya pun juga mengalami kesulitan karena membawa barang terlalu banyak.  Saat itu, pasar bersama Eropa belum terbentuk sehingga setiap kali naik kereta api, di perbatasan antarnegara, gerbong pun dipisah-pisahkan.  Di Itali Utara, tengah malam, dengan bawaan dua koper besar dan beberapa tas kecil saya kewalahan berpindah gerbong.  Mereka tak berbahasa Inggris, sedangkan saya tak berbahasa Italia.  Saya tak mengerti harus ganti gerbong untuk menuju Swiss.

Alhasil, sesampainya di Swiss kami bisa bernapas lega meski pingang hampir patah rasanya.  Namun pengalaman itu mengajarkan kami bahwa sesungguhnya tidak perlu membawa barang sebanyak itu.  Pakaian yang dibawa ternyata kebanyakan, cukup seperempatnya saja.  Bahkan kami pernah membawa overcoat yang hanya dipakai di musim dingin, tapi ternyata di Italy tak ada salju.  Saat itu belum ada internet dan biaya sambungan telefon sangat mahal untuk mencari informasi.  Kalau mau jalan-jalan, buat apa bawa pakaian banyak-banyak?  Bukankah pakaian yang sama bisa dipakai beberapa kali?

Demikian pula dengan makanan untuk diperjalanan. Karena khawatir tak bisa makan atau mahal makan di restoran, kita membawa makanan banyak sekali.  Padahal tidak mesti seperti itu.  Bawaan yang banyak membuat perjalanan tidak nyaman.  Belum lagi membawa oleh-oleh.  Parfum, cokelat, makanan, barang kerajinan, dan banyak lagi.  Padahal semua itu sudah bisa dibeli di Indonesia.  Bahkan air zam-zam dan korma asli dari Arab saja bisa dibeli di Pasar Tanah Abang atau di depan Asrama Haji Pondok Gede.  Tetap saja, kebanyakan kita tidak merasa afdol kalau tidak menenteng sendiri.

Selagi muda, kalau ada uang lebih semua yang ada, ingin dibeli.  Di kapal laut sering saya temui pemudik yang membawa tivi.  Bahkan tukang bangunan di tempat kami, pulang kampung membawa beberapa bass speaker besar yang sungguh merepotkan.  Pertanyaannya, mengapa tidak membawa uangnya saja dan belanja di kampung?  Bukankah semua kebutuhan sudah ada di kampung?

Pernahkah Anda membandingkan karakter penumpang yang bepergian di bandara?  Di bandara Soekarno-Hatta terlihat jelas  perbedaan antara penumpang yang terbang dari Terminal 1 (domestik-non Garuda) dengan yang terbang dari Terminal 2 (Garuda Indonesia dan Internasional).  Apa yang membedakan mereka?  Ya apalagi kalau bukan ukuran dan bentuk bagasinya.

Namun demikian dalam penerbangan internasional tetap saja terlihat perbedaan.  Penumpang yang terdiri dari para tenaga kerja yang pulang kampung, apakah itu TKI dari Hongkong atau Middle East, dengan para tenaga kerja Philipina yang balik dari USA, ternyata bagasinya sama saja.  Meriah dan selalu bikin heboh petugas airline.  Tidak jarang mereka diminta mengurangi isi koper, bayar denda, atau kopernya tak bisa diangkut.

Setelah saya perhatikan lebih jauh, isi koper dan bentuk bagasi ternyata mencerminkan siapa pemiliknya.  Semakin sering seseorang melakukan travelling, maka akan semakin terlihat lebih pede karena mereka lebih berpengetahuan.   Dan orang-orang yang pede ini biasanya tidak mau ribet.  Mereka ingin lebih dapat menikmati perjalanan, dan bersedia membayar biaya kenyamanan itu.  Mereka tahu koper sama pentingnya dengan hape.  Bayar sedikit lebih, akan membuat perjalanan lebih menyenangkan, apa salahnya?

Di Ubud – Bali, saya bertemu dengan seorang GM Hotel butik yang mewajibkan petugas hotel mengenali tamunya dari jenis bagasi yang dibawanya.  Dan benar saja,  bagasi yang dibawa turis yang bepergian ke Ubud ternyata berbeda dengan turis yang menginap di Kuta atau Nusa Dua.  Semakin elit, bagasi mereka semakin ramping.  Lantas apa gunanya mengenal jenis bagasi?  GM itu bilang begini,  \”Kalau tas luarnya saja sudah bermerek, apalagi dalamnya?  Tuntutan mereka pasti juga berbeda.\”

Jadi, ini peluang bagi para pembuat koper.  Mungkin diperlukan cara baru dalam memasarkannya di sini karena setiap tahun jutaan orang bepergian dan makin hari pasti mereka akan makin pede, dan butuh kenyamanan.  Kata pembantu saya, \”Masa bawaanya kardus terus.\”

Rhenald Kasali

Guru Besar Universitas Indonesia

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *