Saya ajak Anda sejenak ke Banyumas, kabupaten di Jawa Tengah. Bagi para pemudik Lebaran, nama Banyumas sangat familier. Sebab, saat pulang mudik, sebagian di antara mereka akan melintasi jalan-jalan di sana. Sebagian lagi kenal karena daerah tersebut dulu melahirkan banyak tokoh terkenal seperti jenderal polisi jujur sepanjang sejarah: Hoegeng.
Sekali lagi, hanya melintas. Bukan mampir. Mengapa? Sebab, nyaris tidak ada yang memikat di Banyumas yang membuat pemudik ingin mampir –dan tentu membelanjakan uangnya. Banyumas memang belum menjadi salah satu tujuan wisata. Orang lebih suka berwisata ke Solo. Atau, kalau ingin mencari udara sejuk, mereka memilih Dieng di Wonosobo.
Kondisi itu membuat Banyumas tidak banyak berkembang. Apalagi tidak kaya dengan sumber daya alam seperti minyak atau gas seperti Bojonegoro yang bergeliat di tangan Kang Yoto.
Namun, pekan lalu, saya melihat geliat di kabupaten itu. Banyumas menggelar sayembara city branding. Tujuannya, memanfaatkan potensi di sektor pariwisata dan tentu potensi-potensi lainnya. City branding –dengan segala event-nya– merupakan cara untuk memikat orang agar mau datang ke sana. Dan harap dicatat, sebentar lagi Kediri yang dipimpin tokoh muda, Mas Abu, juga akan memikat kita seperti Banyuwangi. Insya Allah.
Persaingan Daerah
Di Indonesia, kini persaingan terjadi bukan hanya antarpebisnis, tapi juga antardaerah. Ini fenomena yang menggembirakan. Setiap daerah berlomba-lomba ingin lebih dikenal, lebih disukai investor, lebih mampu menyediakan lapangan kerja yang berkualitas, dan lebih ramai transaksi perdagangannya. Itu semua akan membuat uang yang datang dan beredar di daerah lebih banyak. Dalam konteks itulah city branding menjadi penting.
Sayangnya, di sisi lain, masih banyak pemimpin daerah yang belum sadar akan pentingnya city branding. Apalagi yang kaya sumber daya mineral. Akibatnya, daerahnya kaya, tetapi masyarakatnya kurang sejahtera.
Lalu, seberapa penting city branding?
Kalau kita bepergian ke Eropa atau Amerika Serikat, kadang kita merasa jengkel karena orang-orang di sana mengenal Bali, tetapi tidak tahu apa-apa tentang Indonesia. Bahkan, yang lebih menjengkelkan, mereka ternyata lebih tahu tentang Malaysia atau Singapura, tetapi tidak kenal dengan Indonesia –negara yang jauh lebih besar ketimbang dua negeri jiran tersebut.
Menggemaskan. Tetapi, apa mau dikata, Malaysia dan Singapura lebih dulu sadar akan pentingnya pencitraan atau branding. Malaysia ke mana-mana selalu bilang negaranya sebagai Truly Asia. Cukup ke sana saja, Anda sudah lihat semua ada. Singapura selalu menjual slogan Uniquely Asia. Kita?
Sejatinya, city branding mencakup aspek yang sangat luas. Sayangnya, kalau melihat slogan atau tagline city branding-nya, tampaknya lebih banyak terfokus pada kegiatan pariwisata. Coba saja Anda amati beberapa contoh.
DKI Jakarta mengusung slogan Enjoy Jakarta. Lalu, Jogjakarta denganJogja Istimewa. Pekalongan men-branding diri sebagai Kota Batik. Kendari, menurut saya, agak kurang jelas karena mengusung slogan I Like Kendari. Kota Bandung sejak lama menyebut diri sebagai Paris van Java. Mungkin yang agak ke luar sedikit adalah Kota Surabaya yang mem-branding diri dengan Smart City.
Padahal, bukan hanya pariwisata yang bisa ’’dijual’’ daerah. Contohnya, Selandia Baru. Mereka membangun citra negaranya dengan produk susu segar dan agrobisnisnya. Langkah itu ternyata mampu mengundang investor untuk menanamkan modalnya dalam bisnis peternakan sapi dan pengolahan susu serta perkebunan kiwi dan apel.
Dukungan Pusat
City branding sama sekali tidak untuk menggantikan strategi pembangunan daerah. Ia hanya menjadi pelengkap. Meski begitu, city brandingibarat brand promise. Ia juga janji. Jadi, harus ditepati. Karena itu, slogan sebuah kota harus menjadi mimpi bersama seluruh warganya.
Itu tidak mudah. Contohnya begini. Kita dengan mudah menemukan kota yang menyebut dirinya bersih dan beriman. Tetapi, sebentar saja berkeliling kota, kita dengan mudah menemukan timbunan sampah di berbagai sudut. Sampah itu basah dan berbau lagi. Artinya, sudah berhari-hari tidak diangkat.
Apanya yang beriman? Lihat saja, kekerasan yang bernuansa agama kerap terjadi di kota-kota tersebut. Berbeda sedikit saja tentang keyakinan, kekerasan mudah tersulut dan dibiarkan pula.
Mungkin ada benarnya syair lagu, ’’…tapi janji, tinggal janji.’’ Keberhasilancity branding memang sangat ditentukan oleh pengertian para pemangku kepentingan di kota tersebut.
Malahan, bukan hanya itu. Dalam sejumlah kasus, city branding juga memerlukan dukungan pemerintah pusat. Celakanya, banyak pula pejabat di pusat yang tidak seiring sejalan dengan pemerintah daerah.
Dulu, semasa menjadi gubernur Gorontalo, Fadel Muhammad ingin membangun daerahnya sebagai provinsi jagung. Karena itu, dia menganjurkan rakyatnya menanam jagung sampai berlimpah.
Suatu ketika, industri pakan ternak di Jawa mengeluh kekurangan jagung. Mestinya itu menjadi peluang. Tetapi, apa yang terjadi? Menteri perdagangan ketika itu malah membuka keran impor jagung.
Akibatnya, harga jagung pun anjlok. Para petani babak belur. Mereka kapok menanam jagung. Begitulah nasib city branding kalau yang satu maunya ke kanan, yang lain ke kiri.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan