Selama beberapa pekan belakangan ini dibuat terpesona oleh pemberitaan tentang pegawai negeri sipil (PNS). Anda tentu tahu apa yang saya maksud. Iya, soal gaji.
Sebagai dosen, saya juga PNS, dan sudah biasa mendengar janji surga seperti ini. Semoga kali ini benarlah adanya. Mulanya adalah gaji PNS di lingkungan Pemprov DKI Jakarta. Angkanya memang fenomenal. Bayangkan, gaji awal pegawai bisa Rp 7 juta. Ini boleh dibilang setara dengan gaji pegawai baru di perusahaan papan atas Indonesia.
Lalu, gaji lurah bisa mencapai Rp 33,7 juta, camat Rp 44,3 juta, dan wali kota Rp 75,6 juta. Gaji seorang kepala badan bahkan bisa mencapai angka Rp 78,7 juta. Isu berikutnya adalah gaji seorang dirjen pajak. Angka yang sudah beredar adalah di atas Rp 100 juta per bulan. Bahkan, sebagian kalangan menilai angka tersebut masih terlalu kecil.
Ada yang mengusulkan gaji dirjen pajak setara dengan gaji gubernur Bank Indonesia yang Rp 194 juta per bulan. Ini tentu dikaitkan dengan pajak yang mesti dikumpulkannya. Untuk tahun 2015, target penerimaan pajak sebesar Rp 1.300 triliun. Mungkin kita yang awam agak terheran-heran, besar sekali ya? Untuk diketahui, gaji menteri rata-rata Rp 19 juta per bulan. Lalu, gaji seorang wakil presiden RI ”hanya” Rp 42 juta per bulan, dan gaji presiden Rp 62 juta.
Tapi kalau Anda jadi wirausaha senior dan berhasil, Rp 1 miliar saja bisa didapat sebulan. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi. Disharmoni semacam ini harus ia bereskan.
PNS = Kaya
Bicara soal gaji PNS, bukan angkanya semata yang menarik perhatian saya. Sebagai orang yang suka mencermati isu-isu tentang perubahan, justru perubahan itu sendirilah yang menarik perhatian saya. Perubahan seperti apa? Saya ingin mengulang cerita lama. Suatu ketika kolega saya yang asal Sumatera Utara pulang kampung.
Di sana ia berkumpul bersama orang tuanya, juga kakek dan neneknya. Saat berkumpul bersama keluarga dan tetangga kiri-kanan rumahnya, sang nenek mengeluh. Keluhannya begini, ”Iya, cucu saya yang satu ini masih bekerja di perusahaan swasta. Belum jadi pegawai negeri.” Rupanya bagi sang nenek menjadi pegawai negeri adalah idamannya. Pekerjaan terhormat. Itu cita-cita yang bahkan ia sendiri tak mampu mewujudkannya.
Kita yang pernah ke kampung- kampung tentu bisa merasakan hal ini. Penghormatan orang desa terhadap pegawai negeri, yang dulu disebut ambtenaar, memang luar biasa. Ia menjadi orang yang disapa pertama saat berpapasan di jalan. Kalau punya pangkat namanya jadi pejabat. Tapi hal yang paling ditakutinya bukan kata korupsi, tapi mutasi.
Ya, sampai-sampai Bupati Bojonegoro, Kang Yoto, begitu dilantik langsung bilang, ”Tak akan ada mutasi kendati kalian dulu tak mendukung saya.” Ia pun disambut dengan keplokan meriah oleh PNS yang dulu mendukung incumbent. Kembali lagi ke cerita tadi, ketika di desa-desa ada masalah, ia juga menjadi tempat bertanya. Penghormatan semacam ini bahkan mengalahkan minimnya gaji yang diterima oleh sang ambtenaar.
Celakanya, semakin ke sini, penghormatan masyarakat terhadap pegawai pemerintah sudah kian susut. Mereka bahkan dianggap sebagai sumber masalah dengan jargonnya yang sangat terkenal, ”Kalau bisa diperlambat, mengapa harus dipercepat.” Bahkan biasa kita dengar, buat mereka yang ingin kaya, tetapi lewat cara kerja yang jujur, jangan jadi PNS. Orang-orang tua kerap menasihati anak-anaknya, ”Kalau mau kaya, jangan jadi PNS. Jadilah pedagang.”
Kalau ada PNS yang kaya–rumahnya megah, tanahnya ada di mana-mana, anak-anaknya sekolah di luar negeri, dan punya istri simpanan–setiap orang bakal menduga, itu pasti diperoleh dari hasil korupsi. Anggapan seperti itu semoga bakal usang. Setidak-tidaknya di Provinsi DKI Jakarta.
Kalau melihat gaji lurah, camat, wali kota, dan jajaran pimpinan lainnya di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, semuanya seakan-akan menegaskan: siapa bilang menjadi PNS tidak bisa kaya! Memang belum bisa disebut kaya raya, tetapi jelas mereka termasuk kelompok masyarakat yang terbilang berada. Bukan miskin. Ini juga akan menarik calon karyawan Citibank atau Bank Mandiri untuk berpaling menjadi lurah saja.
Menjadikan posisi lurah-lurah lama yang lemot akan tergeser. Dengan gaji barunya, sebentar lagi kita akan menyaksikan– atau malah sudah terjadi– perubahan besar di lingkungan Pemprov DKI Jakarta. Menjadi pegawai di sana adalah sebuah profesi yang membanggakan. Gajinya tidak kalah dengan pegawai swasta.
Dulu menjadi PNS adalah pilihan kedua, setelah tidak diterima bekerja di swasta. Kini di lingkungan Pemprov DKI Jakarta anggapan itu tidak berlaku lagi. Menjadi PNS di sana adalah cita-cita banyak lulusan perguruan tinggi, negeri atau swasta. Perubahan lainnya–ini yang saya harapkan tidak terjadi– kian banyak PNS di Pemprov DKI Jakarta yang memiliki mobil. Sebab, Jakarta bakal semakin macet saja.
Mana Kerjanya
Akankah kenaikan gaji itu diiringi dengan perbaikan kinerja? Itulah perubahan yang juga kita tunggu-tunggu. Ini memang pertanyaan yang rada-rada susah dijawab. Mirip dengan diskusi mana lebih dulu, ayam atau telur. Baiklah mari kita tebarkan semangat optimistis. Bukankah kita sudah memiliki referensinya. Anda ingat bukan langkah seperti itu sebelumnya juga pernah dilakukan oleh Ignasius Jonan.
Sewaktu diangkat menjadi dirut PT Kereta Api Indonesia (KAI), Jonan memilih untuk menaikkan gaji pegawainya terlebih dahulu. Baru setelah itu Jonan menuntut pegawainya bekerja habis-habisan untuk membenahi KAI. Hasilnya kelihatan. Pada masa Jonan, kinerja KAI terus membaik. Kualitas pelayanannya semakin meningkat. Bahkan, KAI menjadi perusahaan transportasi pertama yang menerapkan e-ticketing atau tiket elektronik. Bukan lagi transaksi tunai.
Secara bisnis, KAI juga mampu membalikkan kinerjanya dari semula merugi menjadi menguntungkan. Mungkin itu sebabnya Jonan kemudian ditunjuk jadi menteri perhubungan. Tapi ingat, Jonan bukan cuma urus kenaikan gaji. Ia bongkar banyak hal secara menyeluruh, terpadu. Gaji saja tak akan mengubah kebiasaan. Mustahil kita dapatkan hasil yang berbeda kalau caranya sama berulang-ulang.
Bagaimana dengan kinerja Pemprov DKI Jakarta? Mungkin karena kenaikan gaji itu masih baru, belum lagi dinikmati oleh para PNS di Pemprov DKI Jakarta, dampaknya belum terlalu terasa. Setidak-tidaknya kalau banjir besar yang kemarin melanda Jakarta, kita jadikan sebagai rujukan. Semula saya berharap dengan gaji barunya, kinerja aparat pemprov dalam melayani masyarakat bakal habis-habisan.
Misalnya, jajaran pegawai Dinas Perhubungan bakal habis- habisan mengatur lalu lintas yang saat Jakarta dikepung genangan air kacaunya luar biasa. Bahkan, pegawai dari dinas yang lain pun ikut membantu. Nyatanya saya tidak melihat hal itu di lapangan. Malah, polisi dan ”polisi swasta” yang sibuk mengatur arus lalu lintas. Di mana para pegawai Pemprov DKI? Mungkin mereka sibuk memikirkan jalan pulang. Mencari jalan mana yang bakal mereka tempuh agar tidak kena macet.
Sesuatu yang baru kadang membuat kita gagap. Itu wajar saja. Hanya, saya berharap kegagapan tersebut jangan berlarut-larut. Para pegawai Pemprov DKI Jakarta mesti ingat, gaji kalian naik berkat kami. Uang kamilah yang Anda nikmati. Jadi sudah sewajarnya kalau kami ganti menuntut Anda untuk bekerja keras. Layani kami. Jangan malah membuat susah.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan