Senin 9 Februari 2015, hujan yang tak henti dari malam sebelumnya membuat genangan air hebat di hampir semua bagian ibukota. Air mencari jalan, berebut dengan kendaraan. Ribuan orang tertahan di jalan, dan seabrek lukisan tentang banjir ibukota beredar di media sosial.
Hari itu sulit saya lupakan, karena malamnya saya sudah punya agenda penting: merayakan anniversary pernikahan ke-26 bersama keluarga dalam bentuk makan malam di Jakarta. Batal!
Tetapi esoknya cuaca mendung perlahan-lahan beralih menjadi terang. Air mulai surut. Pagi hari saya mengajar di kampus UI Depok, di luar dugaan hampir semua mahasiswa hadir. Jalan pun tak macet-macet amat. Jam 11 saya beranjak dari kampus menuju Jalan Merdeka Selatan.
Sejak pagi saya sudah minta supir agar terus memantau perkembangan. Radio, TV, social media, dan sms ia pantau sepanjang pagi. Kesimpulannya, Jakarta telah berubah menjadi danau raksasa. Ia pun kebingungan, hampir semua jalan tergenang banjir.
Akhirnya kami putuskan lewat Cimanggis, terus menembus Jembatan Semanggi-Thamrin. Di perjalanan saya bertanya beberapa kali: Banjirnya di mana? Ia pun kebingungan. Beberapa nama lokasi yang disebut banjir, saat dilewati tak tampak genangan air sedikitpun.
Tidak pernah saya duga, hari Selasa itu dari Depok saya hanya butuh waktu 25 menit untuk sampai di Jembatan Semanggi. Ketika saya ceritakan di Twitter ada follower yang dongkol. Mustahil, katanya.
Ya, mustahil karena di saat normal, minimal satu setengah jam. Rekan saya yang datang dari arah Ciputat bahkan sudah lebih dulu sampai di Merdeka Selatan. “Supirnya ngebut, cuma 20 menit sampai, ujarnya.”
Semua Kegiatan Batal
Tetapi, sesampainya di Bundaran Hotel Indonesia saya menerima kabar pertemuan penting di dekat istana hari itu dibatalkan. Kabarnya banyak orang yang tak masuk. Mereka semua terheran-heran begitu mendengar kabar dari saya jalan begitu lengang, genangan air tidak ada.
Dapat dikatakan, hampir semua orang Jakarta percaya ibukota tengah dikepung air bah besar. Wajar kalau semua membatalkan kegiatan.
Ibarat petinju yang swing ya gagal, di sebuah apartemen di jalan Jenderal Sudirman Jakarta saya pun duduk lunglai di depan pesawat televisi. Semua channel berita saya buka, ternyata isinya semua tentang berita banjir. Demikian juga kicauan di group Whatsapp. Seorang teman memposting berita tentang posko siaga banjir.
Iseng-iseng saya menanyakan semua teman yang sedang berada di jalan tentang kondisi lalu lintas. Ternyata laporan mereka berbeda dengan berita tivi. Bahkan rute bandara – menuju ke tengah kota Jakarta juga aman.
Tetapi, sebagian yang lain masih melakukan hal serupa: mem-posting berita dari berbagai media tentang tingginya air di lokasi-lokasi yang maaf, keadaan di lapangan telah berubah.
Tak percaya dengan perbedaan informasi itu, saya pun keliling ibukota. Saya lewati pusat-pusat kebanjiran yang selalu menjadi perhatian. Di Kampung Melayu saya berhenti di atas jembatan dan melongok ke dalam aliran sungai. Ajaib: airnya rendah.
Kalau Kampung Melayu aman, rasanya Kampung Pulo yang langganan banjir pun aman.
Tetapi ketika hal itu saya sampaikan pada teman-teman, hanya sebagian orang yang percaya, selebihnya mempercayai berita dari media massa. Apalagi sebuah media dotcom berpengaruh hari itu menurunkan liputan kemarin: Jakarta Dikepung Banjir.
Saya pun menyimpulkan: ini pasti siaran ulang. Persis seperti berita tentang badai salju yang menimpa Boston belum lama ini. Media massa lokal menyiarkan kabar bencana itu selama beberapa hari. Padahal badai itu telah berlalu, dan Boston sudah berangsur normal kembali.
Tetapi ini Jakarta loh, beritanya juga untuk orang Jakarta. Berapa jauh sih jarak antara kita dengan kejadian? Harusnya kita bisa cepat melakukan up date. Namun gara-gara berita itu, kolega-kolega saya dari mancanegara ikut gelisah. Mereka mengirim pesan-pesan empati, seolah-olah Jakarta sudah dikepung bencana nasional.
Karena semua kegiatan batal, saya pun iseng memposting pengamatan lapangan itu melalui Twitter. Saya mendapat dua respons yang berbeda: yang percaya dan yang menentang.
Kelompok yang pertama adalah mereka yang melihat sendiri keadaan di ibukota. Mereka sependapat dengan saya. Kelompok satunya, seperti biasa, bukan hanya membantah, melainkan mengungkapkan sumpah serapah, mengata-ngatai secara negatif, dan mengirimkan berita-berita tentang banjir dari berbagai media.
Setelah saya baca, postingan-postingan negatif itu didasarkan foto-foto dan berita yang terjadi pada hari Senin, persis ketika Jakarta benar-benar dikepung banjir dan dikirim oleh mereka yang selalu menulis pesan-pesan negatif. Padahal, Selasa siang matahari sudah kembali tersenyum, laut pun tidak sedang pasang, sungai-sungai begitu cepat surut. Genangan tersisa di daerah berbentuk cekungan yang airnya selalu terperangkap. Kalau tak dipompa keluar, air-air itu tetap akan menggenang di sana.
Itulah sifat air, selalu berjalan menuju area yang rendah. Bila dulunya ia adalah rawa-rawa resapan air, seperti di area Kelapa Gading dan Grogol, atau di kolong-kolong jembatan dan daerah yang berbentuk cawan (depan SD Tarakanita Jalan Tendean atau jalan Bank di Kebayoran) maka air akan kembali berteduh di sana.
Di Balik Awan Gelap Ada Matahari
Kejadian ini menyisakan pertanyaan, mengapa kita melebih-lebihkan kabar tentang banjir? Pertanyaan saya, apakah bedanya banjir dengan genangan air sepertinya sulit dijawab mereka yang senang menyebarkan berita buruk.
Saya jadi teringat hal ini. Di sebuah sekolah bisnis saya pernah memajang sebuah kutipan yang saya adaptasi dari Leonard Levinson, “Seorang pesimis adalah orang yang tak bisa melihat indahnya matahari di balik awan yang gelap.”
Ya, kalimat itu saya tujukan kepada anak-anak muda (dan juga para guru) yang selalu menyuarakan kesusahan masa lalu, segala musibah yang sudah berlalu yang seakan-akan ada terus hingga hari ini.
Maaf, bukannya saya tak percaya banjir telah terjadi. Bukan pula saya tak berempati terhadap para korban. Tetapi kita harus bersyukur pula ketika Tuhan telah mengirimkan mentari yang tersenyum dan orang-orang yang telah bekerja keras memompa air ke gorong-gorong yang membawanya ke laut.
Mendengar pengalaman itu, seorang teman berbagi cerita tentang dua anak yang diberi hadiah besar oleh ayahnya. Yang satu kamarnya diberi hadiah penuh mainan. Anak pertama itu membanting pintu karena menduga “pasti ayah ada maunya dengan memberi hadiah sebanyak itu.” Sebaliknya, anak kedua diberi, maaf, sebongkah besar tahi kuda.
Begitu melihat tahi kuda sebesar itu, anak kedua meloncat kegirangan. “Terimakasih ayah, itu pasti kuda Pony yang kau berikan.”
Kata teman saya yang lain, “susah juga ya memberi hadiah yang pas bagi orang yang sudah nyaman hidupnya.” Jadi maunya apa dong? Tahi kuda atau mainan yang banyak?
Tetapi baiklah, bukankah setiap musibah itu adalah hadiah penting yang disampaikan Tuhan agar kita melakukan change?
Namun begini.
Hari ini bukanlah pengulangan dari yang kemarin, dan berita ulangan bukanlah berita hari ini. Kita syukuri bahwa kita masih diberi waktu untuk melihat indahnya pelangi. Orang optimis melihat pelangi, sedangkan yang pesimis hanya bisa melihat awan yang gelap?
Bila esok banjir kembali datang, kita harus lebih siap menghadapinya, bukan terus mengutuk dan saling menyalahkan. Dan bila ia telah pergi kita pun siap menyambut hari-hari yang cerah.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Berita itu disebarkan bertepatan dengan isu isu national yang lagi hot sekarang dengan terus di beritakan mungkin nanti dampaknya bisa menciptakan citra yang buruk pada seseorang.