Bertempur Melawan Kemiskinan, Perbaiki Dwelling Time – Koran Sindo

Untuk mengetahui gerakan ekonomi suatu negara, tak harus menjelajahi negeri itu ke pedalaman atau mencari data statistik tentang jumlah penduduk miskin atau pendapatan per kapitanya. Kita misalnya bisa menilai dari kesibukan pelabuhannya.

Di situlah tampak peradaban, perputaran uang, dan kemahiran me-manage perekonomian yang ujungnya menghasilkan kesejahteraan atau pemborosan. Negara yang pelabuhannya sepi bisa dikategorikan tertinggal dibandingkan tetangganya. Jika sangat ramai dan teratur, hampir pasti itu negara maju. Koordinasi berlangsung baik, perputaran barang lancar, aparaturnya bekerja dengan governance, dan sopir truknya bisa punya rumah yang layak.

Sebaliknya, bila pelabuhannya ramai, tetapi semrawut, sulit mengurus dokumen, aparaturnya bekerja sendiri- sendiri, mungkin kita tengah berada di negara berkembang. Di negara ini koordinasi menjadi masalah serius, banyak rigidity yang berakibat pemborosan, sopir truknya kumuh, dan rakyatnya miskin. Melihat tiga perbandingan tadi, kita bisa menilai di mana posisi Indonesia saat ini. Inilah yang sedang saya kaji dalam penelitian saya tentang ”Perekonomian Negeri Kepulauan”. Keberhasilan kita menata pelabuhan menjadi penentu apakah kita akan naik kelas atau tertinggal. Ini bukan semata-mata tugas Kementerian BUMN atau perusahaan di bawahnya, melainkan MANAJEMEN BIROKRASI lintas sektoral.

Tumpang Tindih

Isu krusial yang mesti kita benahi itu bernama dwelling time . Bagi yang belum familier, begini penjelasannya. Menurut World Bank (2011), ini waktu yang dihitung sejak saat kontainer (barang) dibongkar dari kapal sampai meninggalkan pelabuhan. Prosesnya meliputi urusan preclearance, customs, dan post-clearance. Pre-clearance adalah peletakan kontainer di tempat penimbunan sementara dan penyiapan dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Sedang customs clearance meliputi pemeriksaan fisik kontainer (khusus jalur merah), verifikasi dokumen oleh Bea Cukai, dan instansi terkait lain (Karantina, Kementerian Perdagangan, Perindustrian, BPOM).

Setelah itu Bea Cukai mengeluarkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). Lalu, post clearance adalah saat peti kemas diangkut ke luar pelabuhan. Sebenarnya, kalau mau, sehari saja semua bisa beres, jika clearance dari semua instansi terkait memiliki standard waktu yang jelas, terintegrasi dan dapat dilakukan secara online. Dengan adanya kepastian dan kecepatan waktu perolehan clearance, inventory dapat ditekan sehingga pasti akan menurunkan biaya logistik dan semakin mengundang pengusaha untuk memakai jalur laut.

Jadi, secara matematis dwelling time hasil penjumlahan tiga clearance tadi. Inilah komponen utama penilaian kinerja layanan, efisiensi birokrasi dan kualitas aparatur negara dalam logistik. Sampai Juni lalu di Pelabuhan Tanjung Priok lama dwelling time sudah turun dari 8,34 hari menjadi 6,2 hari. Namun, masih kalah jauh dengan di Singapura (1,5 hari), Malaysia 3 hari, dan Thailand 4-5 hari. Potret ini kemudian tercermin pada peringkat Indonesia dalam Global Competitiveness Index 2013-2014 (World Economic Forum).

Di situ infrastruktur pelabuhan Indonesia menempati peringkat ke-89 dari 148 negara. Kalah dari Malaysia (ke- 24) dan Thailand (ke-56). Mengapa dwelling time kita begitu buruk? Sederhana. Persoalannya bukan ada di Pelindo I s/d IV, melainkan pada instansi- instansi pemerintah yang mengurus izin barang keluar dan masuk. Memang Bea Cukai telah memperbaiki pelayanannya setahun belakangan ini. Tetapi, tidak yang lainnya. Semua sibuk urus diri sendiri, tidak ada koordinasi dan integrasi sehingga tidak tercipta one stop service, dan tidak efisien.

Ini terjadi baik di lapangan maupun regulasinya. Bayangkan bahan baku yang diimpor berulang-ulang oleh perusahaan bereputasi tinggi, perizinannya harus diurus per shipment dari awal lagi. Ini menjadi kegelisahan pula bagi pemerintahan daerah yang ingin mengurus sendiri pelabuhannya. Regulasinya jadi pertempuran ekonomi. Ini misalnya tampak ketika Perda No 1/2001 yang diterbitkan Pemkot Cilegon dibatalkan Mendagri (ketika itu dijabat Hari Sabarno), melalui SK No 112/ 2003, lalu sejumlah pemkab mengajukan uji materiil ke Mahkamah Agung (MA).

MA mengabulkan judicial review tersebut karena SK Mendagri tersebut tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah. Ada 27 pasal dalam PP No 69/2001 yang dibatalkan MA. Di lapangan UU No 17/2008 tentang Pelayaran juga memicu tumpang tindih kewenangan. Misalnya, Syahbandar dengan Otorita Pelabuhan sama-sama mengatur soal safety dan security di pelabuhan. Ini sudah pasti memicu saling lempar tanggung jawab.

SLA vs SLG

Dampak dari overlapping ini sungguh menyengsarakan. Benar dwelling time kita telah lebih baik, tetapi itu rata-ratanya. Nah, bahayanya, ada pada variannya. Walaupun rata-rata bisa keluar enam hari, faktanya ada kontainer yang clearance-nya bisa keluar dari pelabuhan hanya satu hari, namun juga bisa 50 hari, bahkan ada yang dua tahun!! Inilah yang disebut pengusaha sebagai KETIDAKPASTIAN, pemicu high cost economy. Pengusaha, jadi harus menyediakan buffer stock yang besar, cari alternatif lain, dan memicu keinginan membayar suap.

Pada 2013 misalnya salah satu bahan baku turunan hewan tertahan di pelabuhan selama 53 hari. Akibat itu, biaya sewa di tempat penimbunan sementara meningkat dari Rp 8 miliar menjadi Rp 15 miliar. Parahnya, bahan baku tersebut tidak lagi dapat digunakan karena sudah rusak. Produksi dan penjualan terganggu dan mereka memutuskan memindahkan pabrik ke negeri tetangga, buruhnya menganggur, pengusaha jadi enggan menyediakan perumahan, apalagi menaikkan upah bagi buruhnya.

Saya kira untuk meretas masalah ini, pemerintah harus bersungguh- sungguh memenggal red tapes ini dengan menetapkan service level agreement (SLA) dan service level guarantee (SLG) di antara mereka. Semua aturan clearance dibuat jelas: persyaratannya, biayanya, dan jelas selesainya. Artinya, masing-masing pihak perlu merumuskan dan menyepakati SLA dan SLG-nya. Jika semuapersyaratanlengkap, kontainer otomatis bisa meninggalkan pelabuhan selambat-lambatnya dalam tiga hari.

Ini akan menciptakan kepastian berusaha, menurunkan biaya logistik sehingga harga barang dapat menjadi lebih murah dan dapat dinikmati seluruh warga negara Indonesia dan meningkatkan daya saing Indonesia. Bukan menjadi bancakan oknum. Siapa yang mesti menangani? Jelas bukan pejabat setingkat menteri. Pengalaman di negara kita, koordinasi sesama menteri tidak pernah berjalan dengan baik. Jadi, harus dipimpin pejabat di atasnya. Bisa Menko, bahkan Presiden atau Wakilnya. Dan, yang penting lagi, harus segera!

 

Rhenald Kasali

Founder  Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *