Lagi, Kecanduan Subsidi – Jawa Pos

Anda yang pernah punya bisul tentu tahu rasanya: sangat mengganggu. Tapi, ternyata ada juga yang bisa menikmatinya ketika bisul itu dielus-elus. Katanya bisa membuat merem melek.

Sekarang bukankah kita sedang mengelus-elus bisul? Namanya subsidi energi –baik BBM, listrik,maupun elpiji. Siapa pun tahu bahwa subsidi berlebihan yang tak tepat sasaran itu jelas penyakit. Tidak adil, mendorong perilaku boros, merusak mindset,… dan silakan sebut puluhan lagi.

Namanya juga bisul, ya harus dipecahkan, bukan dielus-elus. Apalagi, itu candu yang membuat rakyat ketagihan. Begitu tidak ada, rakyat sakau, mencarinya ke mana-mana. Dan terjadilah pertarungan kebenaran melawan pembenaran. Lihatlah ketika Pertamina memutuskan untuk mengendalikan konsumsi, kelangkaan BBM segera terjadi, terutama di luar Jakarta. Tapi, apa yang kita lakukan?

Lihatlah, bak candu, ketika BBM bersubsidi hilang, pemilik mobil rela berkeliling jauh mencari yang masih menjualnya. Begitu didapat, puas sekali rasanya. Lalu, dengan bangga mereka berbagi cerita tentang ”perburuan” itu kepada kolega-koleganya.

Lain lagi elpiji. Dulu, ketika harga elpiji 12 kilogram dinaikkan, banyak rumah tangga di kawasan elite yang tanpa malu-malu memburu gas tabung ukuran 3 kilogram. Rumah boleh elite, tas mewah buatan Italia, tapi perilaku mencari barang murah adalah hal lain.

Pun konsumsi listrik. Kita protes saat tarif dasarnya naik, tetapi kita biarkan AC, dispenser air panas, dan lampu di gedung-gedung beton terus menyala meski tak seorang pun ada di situ. Sekali lagi, saya tak antisubsidi kalau saja penikmatnya memang mereka yang harus disubsidi. Kini sudah campur aduk dan tak pantas lagi dielus-elus dengan pembenaran karena science tak bisa dipakai untuk mengelus bisul. Kecuali, Anda belajarnya dari Ponari.

Efek Candu

Begitulah kalau energi murah sudah menjadi ”candu”. Sebagaimana orang kecanduan, perilaku kita menjadi aneh dan menyimpang. Boros dan kurang peduli.

Tapi, jangan salah, perilaku itu bukan hanya milik konsumen. Itu ternyata juga diidap banyak pejabat. Akibatnya, keputusan-keputusan yang dibuat kontraproduktif. Contohnya begini. Mereka tahu bahwa setiap tahun jumlah penjualan kendaraan bermotor selalu bertambah. Untuk 2014, misalnya, jumlah sepeda motor diperkirakan bertambah 10 juta–12 juta unit. Lalu, untuk mobil, diperkirakan mencapai 1,25 juta unit.

Lalu, apa yang para petinggi kita putuskan? Mereka malah mengurangi kuota BBM bersubsidi dalam APBN 2014 dari 48 juta kiloliter menjadi 46 juta kiloliter. Sudah harganya tidak naik, jatah kuota diturunkan. Itu jelas ilmu jurus batu Ponari, bukan? Akibatnya apalagi kalau bukan antrean panjang dan kelangkaan?

Dampaknya kita lihat di mana-mana. Betul-betul heboh.

Perilaku aneh lainnya begini. Bagi sejumlah produsen, naik harga sebisanya dihindari. Tapi, ketika kondisi sudah tak terelakkan, mereka akan melakukannya. Dalam kasus BBM, kondisinya tidak begitu. Kalangan legislatif maupun eksekutif seakan-akan alergi dengan kata ”menaikkan harga BBM”. Mereka mati-matian menghindarinya. Saling mengunci.

Level of Playing Field

Baiklah, kita harus fair. Dalam teori ekonomi apa pun, subsidi, meski mendistorsi pasar, adalah hak rakyat yang membutuhkannya. Namun, bukan berarti distorsi itu tidak diperlukan. Sebab, dalam batas-batas tertentu, pasar bebas tidak sepenuhnya baik bagi kita.

Persaingan bebas bisa diterapkan jika ada kesamaan tingkat dari para pelakunya (same level of playing field). Sederhananya begini. Petinju kelas berat hanya layak ditandingkan dengan sesama kelas berat. Apa jadinya kalau si kelas berat diadu dengan si kelas bulu? Jelas bukan pertandingan, melainkan pembantaian.

Jelas kita masih memerlukan subsidi, namun yang tepat sasaran. Subsidi di sini tak hanya dalam bentuk finansial, tapi bisa juga berupa kebijakan.

Lalu, bagaimana subsidi BBM kita? Banyak riset menyebutkan bahwa hanya 30 persen dari subsidi BBM yang tepat sasaran, diterima mereka yang membutuhkan. Sebagian besar malah dinikmati oleh mereka yang tidak berhak. Di luar Kota Namlea, Pulau Buru, tempat Rumah Perubahan berkarya, misalnya, masyarakat adat harus membayar BBM bersubsidi seharga Rp 27.000. Itu pun sering tidak ada.

Dan, kita terlalu lama membiarkan kondisi semacam itu berlarut-larut. Kini bukan masanya lagi bagi kita untuk mengelus-elus bisul. Kita harus membuatnya pecah. Bukan pakai batu Ponari, melainkan akal sehat

 

Rhenald Kasali

Founder  Rumah Perubahan

 

Sebarkan!!

1 thought on “Lagi, Kecanduan Subsidi – Jawa Pos”

  1. Biar harga BBM tidak disubsidi tapi setiap dibutuhkan ada pasti dibeli,namun sebaliknya Bbm murah tapi tidak ada barangnya untuk apa….? Air saja harganya sudah mahal..kok BBM mau murah,kalau mau murah produksi sendiri untuk diri sendiri. Mau !!! coba saja…habis itu bagi2 penemuanya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *