Pemilu dan Sifat-sifat Buruk Kita – Kompas

Seorang teman yang  tahunan tinggal di Berlin tiba-tiba begitu bersemangat ikut mencoblos.  Padahal, dulu di Jakarta dia sama sekali tidak pernah menyentuh undangan untuk ikut memilih. \”Malas,\” katanya.

Sama seperti sebagian besar kita, malas karena banyak alasan.  Malas karena lawannya, atau  kecurangan yang bakal dihadapinya sudah tak berimbang.  Ada calon yang kita sukai, namun lawannya ternyata mempunyai wajah yang lebih cameragenic. Jadi, apalah artinya suara kita,  mudah diduga hasilnya. Tak memilih pun tak ada pengaruhnya.

Ada lagi suasana lain, kita sudah yakin jagoan akan menang. Nyatanya kalah juga. Kabarnya, banyak kecurangan yang bisa dilakukan, mulai dari suara yang bisa dibeli, panitia yang bisa diatur, sampai komputer yang bisa dimainkan.  Tetapi kini, 16 tahun setelah reformasi, sepertinya kita sudah sama-sama pintar.

Mereka yang dulu menang, dua bulan lalu marah-marah di tivi karena tahun ini kalah dalam pileg. Tapi dengarkanlah kemarahannya, \”Saya bukan kalah, tapi dicurangi. Ini kecurangan ada dimana-mana,\” ujarnya ketus. Seorang teman yang dulu dikalahkan terkekeh-kekeh mendengar ocehan politisi yang suka bicara seenaknya di tivi itu. \”Lha, orang-orang lain belajar curangnya dari mana kalau bukan dari dia?\”

Sampai hari ini kita masih banyak mendengar sas-sus tentang aneka kecurangan yang dilakukan berbagai pihak dalam pemilu beberapa tahun lalu. Modusnya amat beragam. Ada yang mengaitkan dengan pembobolan bank, mafia migas, impor bahan-bahan pokok, dan lain sebagainya. Otak kita keruh dipenuhi hal-hal itu.

Tapi mengapa teman saya dan juga tenaga-tenaga kerja kita di luar negeri begitu bersemangat mencoblos? Ia memberikan alasan.  \”Pertama, saya serem melihat mafia makin bertebaran di Indonesia. Saya takut jago saya kalah,\” ujarnya.

\”Dan kedua,  apa yang mereka lakukan kepada jago saya, adalah cerminan dari apa yang dilakukan orang-orang jahat  terhadap saya. Dan itu adalah cerminan dari sifat-sifat buruk bangsa kita, yang harus dikalahkan,\” ujarnya.

Seperti apa?

Seperti apakah sifat-sifat buruk itu? Tidak sulit menemukannya karena ia hidup nyata dalam perjalanan karier kita sehari-hari.  Bahkan di dunia akademik, ini pun biasa sekali dihadapi banyak orang.  Di perusahaan swasta juga makin banyak ditemui. Dalam birokrasi, sifat-sifat buruk itu biasa kita dengar saat menjelang pelantikan pejabat. Orang yang sudah terpilih bisa tak jadi dilantik gara-gara sms atau surat kaleng. Gunjingan negatif justru disebarkan pada orang-orang bagus.

Dalam soal tender, bukan hal baru orang saling sikat dan menjelekkan, bahkan membawa pesaingnya ke ranah hukum, menyebarkan kesalahan kepada wartawan abal-abal yang siap melakukan pemerasan. Sewaktu menjadi pansel KPK, saya juga biasa menerima black campaign yang ditujukan pihak tertentu terhadap calon-calon tertentu. Jangan heran, black campaign tak pernah diarahkan pada kandidat yang lemah.

Di sini kita menjadi biasa melihat kebenaran dijungkir balikkan. Orang yang bersih dituduh korupsi dan sebaliknya. Akademisi pintar dikatakan plagiat, yang plagiat menjadi aktivis antiplagiat. Demikian seterusnya. Kalau kita biarkan, jangankan keluar dari middle income trap, memutuskan siapa yang layak ya menjadi presiden saja kita tak akan mampu.

Lihatlah tak mudah orang mengakui kekalahan, meski itu bagian dari karakter pemenang. Ditambah lagi KPU dan Bawaslu cenderung mendiamkan. Bayangkan di zaman kecepatan dan keakurasian data seperti ini kita harus menunggu sampai tanggal 22. Maksudnya kita dibiarkan ribut terus selama dua minggu?

Yang saya maksud adalah sifat-sifat buruk dalam menghadapi persaingan. Maklum, selama lebih dari 30 tahun kita tidak menghadapi persaingan. Semua jabatan publik adalah pemberian presiden atau atasan.  Atasan pun mendapatkannya bukan karena memenangkan persaingan, melainkan karena mendapatkan melalui rekomendasi atau kebaikan budi.

Sifat-sifat buruk itu diawali dengan penghinaan, lalu diikuti dengan fitnah demi fitnah, selebaran gelap, lempar batu sembunyi tangan, mudah terhina, merasa cepat tersinggung, sakit hati, lalu membalas dendam dengan mengirim kebencian. Kita bukan membuat puisi untuk menyatakan kekaguman pada seseorang, melainkan untuk mencacinya. Alih-alih menyampaikan program, sifat-sifat buruk itu justru ditampilkan dengan menjelek-jelekkan calon pemenang. Kita beranggapan akan menjadi terlihat hebat karena mampu menghina orang yang disangka hebat.  Kita menjadi termotivasi untuk menang bukan karena kita memiliki sifat-sifat sebagai pemenang, melainkan karena kita tak mampu menerima kekalahan.

Kita berdoa untuk menang karena kita tidak mau mendengar sabda Tuhan. Kita hanya berbicara terus tiada henti agar Tuhan menutup mulut, dan beranggapan hanya kita yang punya hak untuk menjadi pemenang.  Padahal hidup ini adalah sebuah keseimbangan, dan dalam setiap kompetisi hanya akan ada satu pemenang, namun tentara sejati tahu persis: terdapat perbedaan antara memenangkan pertempuran dengan memenangkan peperangan.

Dan prajurit sejati akan menjunjung tinggi kehormatannya, tahu dimana medan pertempuran dan siapa yang harus dilindungi.  Demokrasi adalah kompetisi untuk merebut suara rakyat, bukan untuk membumihanguskan negeri.

Prilaku seperti ini pernah dibahas Denis Waitley dalam buku Psychology of Winning untuk menjelaskan karakter yang biasa dimiliki para pemenang. Pemenang menjalankan prinsip-prinsip yang membuatnya dihormati, bukan sebaliknya.

Salim Bueno (209) menulis:  \”Winners train and grain, losers complain. Losers seek attention, while winners earn respect. Losers blame others for their problems, while winners find solution.\”

Hari-hari lalu kita telah menyaksikan sifat-sifat buruk yang dipertontonkan orang-orang yang katanya bertarung untuk menjadi pemimpin. Ada mantan petinggi di berbagai lembaga yang dulu kita pikir mereka sangat terhormat. Sebagai pendidik, harus saya katakan saya sangat kecewa dan sedih menyaksikan ulah mereka. Apalagi bila membiarkan pihaknya melakukan cara-cara curang, memelintir fakta, menyebarkan kebencian demi kemenangan.

Anak-anak muda, perhatikanlah, itu bukan karakter winners.  Mereka menganut azas-azas yang dianut para losers. Apakah mereka bisa menang? Bisa! Bisa saja, tetapi kalau kita ingin membangun bangsa ini menjadi bangsa yang besar, bukan itu caranya.  Tengoklah bangsa-bangsa besar. Mereka justru mengadopsi mentalitas pemenang.

Dengarkan pula kata bijak Vince Lombardi berikut ini:  \”Winning is not a sometime thing; it\’s an all time thing. You don\’t win once in a while, you don\’t do things right once in a while, you do them right all the time. Winning is habit. Unfortunately, so is losing.\”

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *