Bukan Singa yang Mengembik – Koran Sindo

Anda tahu jika singa kerap memburu mangsanya, kijang atau rusa, di saat pagi buta? Saat-saat seperti itu biasanya para mangsa sedang tidak waspada. Sebagian masih terlelap dalam tidur. Sebagian terjaga, tetapi belum sepenuhnya waspada. Ketika memburu mangsanya singa terlihat sangat ganas, agresif, tetapi juga fokus.

Meski di situ ada banyak mangsa, ketika singa sudah memutuskan untuk mengejar satu, mangsa-mangsa lain tidak dia pedulikan. Kalau gagal memburu mangsa yang tadi, sang singa tidak lantas ngawur memburu sembarang mangsa yang ada di sekitarnya. Malah dia tidak melanjutkan perburuannya. Mudah menyerahkah? Bukan. Mungkin itu gambaran karakternya yang sportif. Karakter singa yang seperti ini, menurut saya, adalah karakter yang dimiliki oleh seorang pemimpin.

Maka, tak mengherankan kalau ada sejumlah pemimpin yang dijuluki singa. Misalnya, ada Salahuddin al-Ayubi, atau yang oleh dunia barat sering disebut Saladin. Dia seorang panglima perang yang dijuluki “Singa Padang Pasir”. Ketika Saladin meninggal pada 4 Maret 1193 di Damaskus, banyak orang kaget. Sebagai panglima, kekayaan Saladin ternyata hanya selembar kain kafan dan sedikit uang dirham. Beda benar dengan pemimpin-pemimpin kita yang tak pernah habis gairahnya mengumpulkan kekayaan, bahkan sebagian bersembunyi atau membalut dirinya dengan label-label yang mengesankan sosok yang religius. Dan sekarang, semakin dibalut kita justru semakin curiga.

Strategic Agility

Hari-hari ini saya tengah merampungkan buku baru saya yang dibuat berdasarkan studi tentang perusahaan- perusahaan besar yang berhasil melewati masa-masa sulit dan tampil sebagai perusahaan Indonesia yang mendunia. Anda tentu tahu, Garuda Indonesia adalah salah satunya. Dan ketika koran ini sampai di tangan Anda, CEO Garuda, Emirsyah Satar, tengah berada di Inggris untuk kembali menerima penghargaan sebagai salah satu armada terbaik dunia versi Skytrax. Mudah-mudahan habis Hari Raya Idul Fitri besok Anda sudah bisa membacanya dan saya beri judul From One Dollar to be Billion Dollar Company .

Ya, mungkin kebanyakan kita sudah lupa bahwa Garuda pernah mengalami banyak kesulitan, namun berkat kepemimpinan berkarakter singa, Emir akhirnya berhasil memutar roda pesawat berbendera Indonesia ini menjadi satu dari sedikit perusahaan penerbangan yang menguntungkan, dengan pelayanan yang tak kalah daripada armada asing. Tetapi selain buku itu, saya pun tengah meriset rahasia di balik kebesaran yang membangkitkan mereka dari keterpurukan.

Dan rahasianya ternyata ada pada penerapan strategic agility. Ini nama lain dari konsep competitive dynamic, yang artinya kapabilitas atau kemampuan mengambil keputusan, bergerak, dan mengeksekusi tindakan dengan cepat. Itulah rahasia di balik keberhasilan perusahaan-perusahaan yang berhasil mendunia. Bahkan menurut survei yang dilakukan majalah The Economist , 90 persen eksekutif pada global company yang disurvei mengaku agility merupakan penentu bagi keberhasilan mereka. Nah, kebalikan dari agility itu adalah asset rigidity.

Artinya pengusaha membiarkan dirinya terbelenggu dalam berbagai hal yang rigid. Celakanya, asset rigidity itulah yang dipraktikkan oleh banyak pemimpin di sini. Artinya mereka membiarkan perusahaannya atau institusinya, bahkan kemajuan bangsanya yang serba terkunci. Ada yang terkunci oleh budaya korupsi dan kepentingan orang per orang yang saling mengikat, peraturan-peraturan direksi yang saling bertabrakan, undang-undang yang saling mengunci, fixed asset yang tak bisa diapa-apakan selain dibiarkan menjadi kumuh dan hanya dipakai kelompok tertentu, harga atau subsidi yang tak bisa diubah, utang yang mencekik, tradisi yang tak relevan, praktik-praktik dogmatik, manipulasi persepsi, kualitas SDM yang lemah dan seterusnya.

Aset rigidity itu tampak dalam ribuan perusahaan-perusahaan daerah di seantero Nusantara, termasuk para pengelola pasar tradisional. Juga ada di sebagian BUMN, dan gejalanya ada pada sebagian perusahaan keluarga generasi pertama hingga ketiga, sampai yayasan-yayasan sosial tua. Mereka membayar mahal CEO, tetapi mereka membiarkan CEO itu menjalankan praktik status quo. Agility, sebaliknya, adalah sebuah upaya melepaskan belenggu-belenggu sehingga didapat kelincahan gerak.

Agility itu dapat berupa personal agility, operasional agility, portfolio agility, hingga finance agility dan strategic agility. Mereka meremajakan struktur, mengempaskan natural rigidity (yang terbentuk karena usia tua dan kebesaran organisasi dengan SDM skala besar) dan mengadopsi berbagai software pendukung agility yang mutakhir. Saya harap Anda bisa membaca buku tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama.

SDM Kita

Tetapi kita jangan terlalu bersedih karena bangsa ini juga masih banyak memiliki SDM yang kualitas karakternya juga seperti singa. Artinya, personal agility bangsa ini masih ada, seperti yang Anda lihat di Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh, saat para pegawai Angkasa Pura II mempersiapkan bandara untuk membuka Aceh dari keterisolasian akibat bencana tsunami. Padahal, saat itu mereka baru saja kehilangan puluhan bahkan ratusan anggota keluarga. Kondisi bandara juga banyak mengalami kerusakan. Tower menara pengatur juga retak di sana sini, dan alat komunikasi terputus. Bahkan ribuan mayat berserakan di seluruh kota.

Selain di Aceh kita juga melihat personal agility yang kuat di beberapa bandara nasional, termasuk saat Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin operasi pembangunan Bandara Kualanamu yang sudah puluhan tahun dibiarkan terkunci tanpa progress. Pemimpin dengan personal agility mampu mengatasi segala keterkuncian yang di antaranya datang dari cara berpikir yang kaku dan birokratis. Sebenarnya kita juga punya banyak SDM yang pandai— bahkan sebagian birokrat kita sudah banyak yang bergelar doktor, dan terpilih untuk menduduki posisinya melalui proses seleksi yang sangat ketat.

Orang-orang seperti ini juga biasanya sangat fokus dalam bekerja. Selalu menetapkan standar yang tinggi, sehingga kerap kurang disukai. Tapi, kita juga punya banyak SDM yang seperti kambing atau bahkan keledai. Binatang ini senang berkelompok, tidak pernah berani sendirian. Sangat guyub. Bersahabat dan saling melindungi. Dalam negeri dongeng, binatang seperti keledai kadang baru jalan setelah diperintah, diteriaki, bahkan dipukul dengan tongkat. Apa jadinya jika keduanya dicampur? Di lingkungan pemerintahan atau BUMN, saya kerap menemukan karyawan yang berkualitas “singa”, tetapi prestasi kerjanya biasa-biasa saja.

Itu pun kalau tidak mau dibilang jelek. Mengapa? Dia adalah singa yang ditempatkan dalam rombongan kambing dan keledai. Dia kemudian larut dalam lingkungannya. Akibatnya bukannya mengaum, dia malah mengembik, atau meringkik seperti keledai. Bagaimana kalau dia tetap mampu mempertahankan identitasnya sebagai seekor singa? Mungkin Anda pernah mendengar ungkapan dari seorang diplomat asal Prancis, Charles Maurice de Talleyrand, “Seratus kambing yang dipimpin oleh seekor singa akan lebih berbahaya ketimbang seratus singa yang dipimpin oleh seekor kambing.” Bicara soal ini, saya pernah menulis dalam buku, Recode Your Change DNA .

Di situ saya menurunkan cerita yang berkisah tentang Sheikh Mohammed Rashid bin Al-Maktoum. Kisah ini saya ambil saat saya bertugas di Dubai dan pesawat yang saya tumpangi mendadak tertahan. Mengapa begitu? Jawabnya adalah hari itu puluhan kepala negara dari berbagai penjuru dunia datang melayat, melepas kepergian raja yang amat dikagumi itu. Saya ingin mengajak Anda ke belakang mengenal sosok “singa” ini. Pada 18 Februari 1968, menurut media yang menulis untuk mengenang kematiannya, di sebuah tenda berjendela di tengah padang pasir yang panas menyengat, bertemulah dua bangsawan Arab.

Keduanya Sheik Zayed, penerus Emir Abu Dhabi, dan Sheik Rashid yang penerus tahta Dubai. Keduanya bertemu untuk membahas ide pembentukan negara federasi. Sheik Rashid baru tiba dari London. Dia baru menyelesaikan pendidikannya sebagai kadet di Aldershot, sekitar 64 kilometer ke arah selatan London. Di dalam tenda itu, Sheik Zayed bertanya kepada Sheik Rashid, “Bagaimana Rashid? Jadikah kita membangun federasi?” Sheik Rashid menjawab, “Ulurkan tanganmu Zayed. Mari kita bersama-sama membangun negeri tercinta ini.

Andalah Presidennya.” Sheik Rashid kemudian menjadi perdana menteri. Itulah awal terbentuknya Uni Emirat Arab (UEA). Langkah keduanya ini kemudian diikuti oleh emir-emir lain. Kini, UEA adalah kumpulan dari tujuh negara bagian. Apa yang membuat para sheik itu mau bergabung? Padahal, sebagai penguasa kerajaan, mereka bergelimang uang dan bisa menghabiskan hidupnya untuk bersantai-santai. Perubahan kondisi geopolitik. Memasuki abad ke-20, berbagai kerajaan di dunia mulai kehilangan pengaruhnya. Ini dipengaruhi oleh cara berpikir masyarakatnya yang semakin modern, cerdas, dan kritis.

Kondisi inilah yang membuat para sheik itu berpikir bahwa kalau mereka, sebagai pemimpinnya, tidak cerdas, kerajaan hanya akan tinggal sebagai simbol sejarah. Faktor lain, negara mereka yang kaya migas bak kambing jinak yang menjadi incaran sekawanan binatang pemangsa seperti singa. Kisah Perang Teluk, yang diawali oleh invasi Irak ke Kuwait, belum lekang dari ingatan. Kekhawatiran itulah yang membuat para pangeran yang berpendidikan barat tersebut segera menata diri.

Ekonomi, Bukan Politik

Kata Sheik Rashid, “Kami harus bekerja keras dan bekerja cepat. Supaya bisa bekerja cepat, kami harus bisa membangun sistem yang simpel dan berpikir simpel.” Itulah program transformasi yang diusung oleh para sheik tersebut. Dalam program transformasinya, Sheik Rashid mengedepankan ekonomi, bukan politik. Dia percaya bahwa untuk bisa berpolitik secara beradab, masyarakatnya harus sejahtera terlebih dulu. Bukan dibalik, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, politik harus berada di depan. Di UEA, kita bisa melihat hasilnya.

Dua puluh tahun setelah pertemuan tersebut, UEA–yang kini terdiri dari tujuh negara bagian–menjadi salah satu negara yang paling sejahtera di kawasan Timur Tengah. Ketika negaranegara lain di kawasan tersebut diguncang oleh gelombang Arab Spring, UEA tetap tenang karena rakyatnya sejahtera, sehingga mampu menghasilkan karya-karya yang monumental. Di antaranya Burj Khalifah, yang saat ini menjadi gedung tertinggi di dunia. UEA juga berhasil mentransformasi bisnis negaranya yang semula mengandalkan minyak dan gas menjadi lebih mengedepankan bisnis jasa.

Kini, bisnis wisata tumbuh subur di sana. Maskapai penerbangan mereka, Emirates Airlines, pada tahun 2013 menempati peringkat pertama The World The Worlds Best Airlines versi Syktrax. Padahal tahun sebelumnya masih menempati peringkat ke-8. Saat ini UEA juga tengah membangun mal terbesar di dunia, Mall of The World, yang luasnya mencapai 4,4 juta meter persegi. Para sheik itu adalah singa yang berada di kumpulan kambing jinak.

Tapi mereka tetap mengaum, bukan mengembik. Kita baru saja menjalani siklus lima tahunan dengan memilih pasangan presiden dan wakil presiden. Belum ada pemenang resmi. Meski begitu bolehlah sejak sekarang kita menaruh harapan, kelak pemimpin kita dapat menjadi singa-singa berhati mulia yang mampu membuat sejahtera negaranya. Bukan sebaliknya. Juga bukan keledai berbulu singa, atau singa yang mengembik.

 

Rhenald Kasali

Founder  Rumah Perubahan

Sebarkan!!

1 thought on “Bukan Singa yang Mengembik – Koran Sindo”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *