Lima Puluh Juta Rupiah – Jawa Pos

SAYA tidak sedang bicara tentang uang muka pembelian mobil. Saya juga tidak sedang bicara tentang harga sebuah jam tangan. Saya sedang bicara tentang pemberantasan korupsi.

Kata Charles Caleb Colton, pemikir yang hidup di abad ke-19, korupsi itu seperti bola salju. Sekali bergulir, bolanya bakal semakin membesar. Maka, cegahlah agar korupsi jangan sampai bergulir.

Lalu, apa hubungan pemberantasan korupsi dengan Rp 50 juta? Saya mengikuti debat capres/cawapres. Saya juga membaca materi visi-misinya yang dimuat dalam website Komisi Pemilihan Umum. Saya juga mengikuti pemberitaannya di berbagai media.

Terkait pemberantasan korupsi, saya belum menemukan sesuatu yang sudah saya tunggu-tunggu dari dua pasang capres/cawapres tersebut. Yaitu, gagasan Undang-Undang (UU) tentang Pembatasan Transaksi Tunai, yang nilainya maksimal Rp 50 juta. Artinya, setiap transaksi di atas nilai itu harus melalui sistem perbankan. Lebih tepatnya lagi, tercatat secara digital. Tidak boleh lagi tunai.

Capek Deh!

Apa hubungan antara UU pembatasan transaksi tunai dan pemberantasan korupsi? Mari kita coba lihat lagi berbagai kasus tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar tertangkap tangan oleh KPK saat menerima uang tunai senilai Rp 3 miliar di rumahnya. Uang itu diduga berkaitan dengan penyelesaian sengketa pilkada Kabupaten Gunung Mas di Kalimantan Tengah.

KPK juga menangkap tangan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini dan menyita uang tunai USD 700.000 atau setara Rp 7,2 miliar. Jumlah ini memecahkan rekor tangkap tangan jaksa Tri Urip Gunawan, yang menerima uang suap USD 600.000, tunai.

Masih terkait suap SKK Migas, KPK menyita uang tunai USD 200.000 dari ruang kerja Sekjen Kementerian ESDM Waryono Karyo. Lalu, KPK menyita lagi uang tunai Rp 2 miliar dari ruang kantor Pusat Pengelolaan Barang Milik Negara, Kementerian ESDM, yang berada di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.

Saya masih bisa menyajikan lagi sederet kasus tangkap tangan oleh KPK, yang semuanya melibatkan uang tunai. Sederet kasus itulah yang membuat saya merasa kita perlu segera memiliki UU Pembatasan Transaksi Tunai.

Dengan adanya UU tersebut, penyuap dan yang disuap bakal mati kutu, kesulitan untuk mendapatkan uang tunai sebesar Rp 3 miliar, seperti pada kasus Akil Mochtar. Apalagi, kalau uang tunainya Rp 7,2 miliar seperti pada kasus suap Rudi Rubiandini.

Untuk mendapatkan uang tunai Rp 3 miliar, misalnya, si penyuap mesti capai bolak-balik 60 kali ke bank. Sebab, sesuai UU tersebut, bank membatasi penarikan dana tunai maksimal Rp 50 juta.

Yang menerima uang tunai Rp 3 miliar, hidupnya pun bakal semakin menegangkan. Untuk memasukkannya ke sistem perbankan, setiap kali setor dia hanya bisa menyerahkan Rp 50 juta. Jadi, supaya yang Rp 3 miliar masuk semua, dia mesti bolak-balik 60 kali ke bank. Merepotkan. Belum lagi dia mesti menjelaskan ke pihak bank tentang asal-usul uangnya, sesuai dengan regulasi Bank Indonesia tentang aturan Know Your Customer. Saya merasa, UU tersebut akan membuat ruang gerak para koruptor dan penyuap menjadi semakin sempit.

Bisakah kita membuat UU tersebut? Saya agak kecut. Sebab, semua produk UU harus lewat lembaga legislatif, DPR. Anda pun tahu betapa riuhnya isu money politic dalam pemilu legislatif kemarin. Sebagian legislator kita tentu berkepentingan agar uang yang mereka investasikan bisa kembali. UU itu bakal kian mempersulit mereka. Jadi, sangat mungkin mereka bakal menolak UU tersebut. Padahal, di hampir setiap negara sejahtera hal itu sudah diberlakukan.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *