Pilpres dan Piala Dunia – Jawa Pos

DALAM beberapa hari ke depan, kita akan disuguhi dua pertunjukan besar. Pertama, 4 Juni sampai 5 Juli, kita akan menyaksikan kampanye capres. Setelah itu, pada 9 Juli, kita bersama-sama menentukan siapa yang bakal menjadi pemimpin lima tahun ke depan.

Kedua, 13 Juni sampai 13 Juli, kita juga akan menyaksikan pentas olahraga paling akbar di planet ini, Piala Dunia 2014. Sebanyak 32 tim terbaik dari 32 negara bakal bertanding untuk menentukan siapa yang layak disebut sebagai juara dunia.

Layaknya event besar,  tim-tim yang akan bertanding tentu sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Akhirnya akan tampak siapa yang mempersiapkan internalnya baik-baik, siapa yang hanya sibuk mengomentari apa yang dilakukan orang lain.

Setelah itu, para aktor politik pun merekrut orang-orang yang pintar berdebat. Tontonan yang seru di Mata Najwa sudah kita saksikan bersama. Sementara, yang lebih suka berpikir masuk sebagai anggota think tank, memasok amunisi konsep. Mereka juga merekrut pakar-pakar komunikasi untuk membentuk opini publik.

Hal serupa juga ada di tim Piala Dunia. Setelah merekrut orang-orang terbaik, mereka melakukan serangkaian pertandingan pemanasan.

Melihat persiapannya,  terbayang di benak kita bahwa tontonan ini bakal seru. Asyik ditonton kecuali saat menyaksikan mereka yang bermulut besar yang hanya mendompleng karena sedang butuh kompensasi mental karena ekspektasinya tidak terpenuhi di masa lalu. Jangan lupa selalu ada losers yang butuh panggung.

Baiklah soal pilpres, sebagian orang mungkin kurang suka dengan istilah pertandingan. Tapi, menurut saya, dengan bahasa yang diperhalus sekalipun, kita semua punya persepsi yang sama bahwa ini adalah ajang pertandingan.  Sebab, di sana hanya akan ada satu pemenang. Mungkin Anda boleh menghibur diri dengan dengan menyebut pihak yang kalah sebagai pemenang ke-2. Namun, kenyataannya tetap saja, tim yang tidak menjadi pemenang pertama akan kalah!

Maka, bagi setiap tim, kemenangan adalah segala-galanya. Jadi, harus ada aturan agar pertandingan berlangsung fair. Di sepak bola, misalnya, menyentuh bola dengan tangan (handsball) atau mengecoh wasit dengan sengaja menjatuhkan diri (diving)  dilarang. Yang  melakukannya dihukum. Sementara, bermain keras dengan tackling atau membenturkan badan (body charge) masih dibenarkan.

Negative atau Black Campaign

Begitu juga ajang pilpres. Melakukan kampanye negatif (negative campaign) katanya masih bisa dibiarkan, tetapi kampanye hitam (black campaign) dilarang. Apa bedanya?

Kampanye negatif dilakukan untuk melemahkan posisi lawan dengan menyerang kelemahan visi-misi atau program, termasuk sosok dan kompetensi. Intinya menjatuhkan reputasi lawan di hadapan publik. Sementara, black campaign dilakukan dengan menyebar informasi palsu, kebohongan,  bahkan fitnah. Meski haram hukumnya, sudah banyak beredar black campaign yang disampaikan oleh akun-akun bodong.

Apa yang sebaiknya menjadi titik singgung dari dua ajang tersebut? Dunia olahraga sangat menjunjung tinggi sportivitas. Dalam pertandingan catur, lawan kita–orang yang duduk di seberang meja– adalah teman adu otak. Dalam bulu tangkis, lawan di seberang net adalah teman berolahraga.

Itulah semangat sportivitas dalam dunia olahraga yang perlu kita pindahkan ke ajang Pilpres 2014. Seperti kata Anies Baswedan, jadikanlah lawan debat sebagai teman berpikir.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *