Mewaspadai Siklus Baru – Sindo

Setiap kehidupan memiliki siklusnya masing-masing. Kupu-kupu bermula dari telur, menetas jadi ulat yang buruk dan bagi sebagian orang menjijikkan, membentuk kepompong, dan akhirnya berubah menjadi kupu-kupu yang indah. Perubahan ini berlangsung secara alamiah.

Kita menyebutnya metamorfosa. Pada akhir siklus, kupu-kupu yang indah itu akhirnya mati juga. Perusahaan atau bisnis pun memiliki siklusnya sendiri. Bermula dari ketika didirikan, mulai tumbuh, tetapi masih lambat, kemudian tumbuh semakin cepat sampai akhirnya mencapai masa kejayaannya. Setelah itu biasanya kinerja perusahaan mulai merosot. Bagi sebagian kita, siklus semacam itu adalah hal biasa. Siapa yang bisa menentang kehendak alam? Setelah lama menikmati pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan, China kini mulai terkena embusan siklus baru, pertumbuhannya melambat.

Kini Indonesia pun tengah memasuki tahap ujian itu. Uang subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik sepertinya tak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan, kini semua anggaran pemerintah tengah dipangkas. Padahal, sebentar lagi rakyat Indonesia akan butuh banyak uang, ya liburan, ya Lebaran. Kita juga butuh layanan publik yang lebih baik. Tetapi siklusnya tengah berbalik. Dalam banyak referensi, siklus semacam itu kita kenal dengan sebutan kurva Sigmoid. Kurva ini merupakan grafik fungsi aljabar yang berbentuk huruf S yang tertidur.

Grafik ini menggambarkan tahap awal pertumbuhan yang masih lambat, kemudian naik semakin cepat, mulai linier dan akhirnya menurun. Betulkah kita harus menerima kenyataan tersebut? Jelas tidak. Meski kurva Sigmoid tadi adalah fenomena alamiah, perusahaan tidak selalu harus berdiam diri dan mengikuti siklus tersebut. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh perusahaan untuk mengangkat kembali pertumbuhannya yang mulai melandai, atau bahkan menurun.

Armada nasional Garuda Indonesia justru bangkit dengan berbelanja di saat siklus ekonomi dalam industri jasa penerbangan memburuk. Istilah Emirsyah Satar (CEO Garuda Indonesia) acting ahead the curve (KORAN SINDO, 02 Agustus 2012). Memang, pada faktanya banyak perusahaan yang mengalami kesulitan untuk menepis berlakunya siklus Sigmoid tersebut. Padahal, gejala-gejalanya cukup jelas. Banyak perusahaan baru menyadarinya ketika kondisinya sudah nyaris menyentuh titik nadir. Saya punya beberapa contoh.

Bagi sebagian generasi yang sudah cukup umur tentu masih ingat ketika mereka merayu kekasihnya melalui sepucuk surat. Setelah selesai ditulis, surat itu kemudian dimasukkan ke dalam amplop, bubuhi prangko dan dimasukkan ke dalam kotak-kotak surat. Sisanya adalah jantung yang berdebar- debar menanti surat balasan. Bisa seminggu kemudian, bahkan lebih.

Lingkungan yang Berubah 

Namun, sejak awal 2000-an saya sulit sekali menemukan anak-anak muda yang merayu kekasihnya dengan sepucuk surat. Mereka menggantinya dengan SMS, kemudian dengan BlackBerry Messenger, atau WhatsApp. Kalau ingin berbicara secara langsung, mereka pakai aplikasi Skype atau Google+. Perubahan lingkungan bisnis, yang dipicu oleh teknologi baru, seperti inilah yang membuat PT Pos Indonesia di masa lalu, dan banyak perusahaan lain, nyaris bangkrut. Pendapatan semakin menurun, laba bersihnya menipis dan akhirnya mulai merugi.

Tengok juga Merpati Nusantara yang model bisnisnya makin tak relevan. Makin menarik lagi didalami, ketika maskapai internasional lain merugi (dan untung itu ada di pasar domestik), petinggi Merpati justru menawarkan proposal baru untuk membuka trayek ke Timur Tengah sebagai solusi. Fenomena ala Pos Indonesia juga dialami oleh perusahaan-perusahaan lain. Sebagian Anda tentu masih ingat ketika era maskapai penerbangan low cost carrier (LCC) mulai tumbuh pada awal 2000-an. Banyak perusahaan terkena pukulan telak.

PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan bus-bus antarprovinsi nyaris bangkrut. Siapa di antara kita yang masih mau menempuh perjalanan berhari-hari lamanya (kalau memakai Pelni) atau semalaman (dengan kereta dan bus antarprovinsi), kalau dengan biaya yang hanya sedikit lebih mahal bisa sampai ke tujuan dalam hitungan satu atau dua jam? Maka, tak mengherankan kalau Pelni, KAI atau bus-bus antarprovinsi kemudian ditinggalkan oleh pelanggannya. Untunglah Pos Indonesia (juga KAI) mampu bangkit. Perusahaan ini melakukan transformasi bisnis dari postal company menjadi network company.

Dari hanya berbisnis pengiriman surat, dokumen, atau uang menjadi bisnis distribusi dan logistik. Pos Indonesia bangkit dengan mengandalkan kekuatannya, yakni jaringannya yang sudah begitu luas tersebar di seluruh Indonesia. Belum ada perusahaan distribusi dan logistik, perusahaan asing sekalipun, yang mempunyai jaringan seluas Pos Indonesia. Kini, Pos Indonesia sudah bangkit lagi. Mereka sudah menuai keuntungan. Begitu juga KAI. Setelah melakukan transformasi, memangkas banyak inefisiensi, KAI berhasil kembali membukukan keuntungan.

Beberapa perusahaan bus antarprovinsi ada yang mengubah segmen bisnisnya. Mereka menaikkan kelasnya. Anda pernah mendengar Omah Mlaku? Ini bus antarprovinsi yang disulap menjadi bus carter yang mewah. Jumlah penumpangnya dibatasi, di dalamnya dilengkapi sofa dan meja rapat, serta fasilitas internet. Bus seperti cocok dipakai untuk roadshow. Kini, hanya Pelni yang kelihatannya masih agak tertinggal. Maskapai pelayaran nasional itu sampai sekarang masih belum bisa sepenuhnya keluar dari jerat krisis.

Reinvention 

Selain transformasi, saya melihat reinvention menjadi kata kunci dari keberhasilan perusahaan-perusahaan seperti Pos Indonesia dan KAI untuk ke luar dari perangkap siklus Sigmoid. Melalui strategi reinvention, perusahaan-perusahaan itu mampu menciptakan sesuatu yang baru, sehingga membangun kurva Sigmoid yang baru di atas kurva yang lama. Sejatinya, banyak perusahaan yang sebetulnya memahami perubahan yang terjadi di lingkungan bisnisnya. Kajian Donald Norman Sull (Why Good Companies Go Bad, 1999) menyebutkan bahwa banyak perusahaan yang bermasalah bukan karena mereka tidak memahami terjadi perubahan lingkungan bisnis, serta tidak melakukan antisipasi.

Mereka memahami dan bahkan menyiapkan strategi antisipasi. Namun, pada akhirnya perusahaan-perusahaan itu harus terjerat dalam masalah karena tidak mampu mengeksekusi strateginya dengan cepat dan tepat. Maka, membuat rencana dan menyiapkan strategi itu harus, tetapi mengeksekusi strategi adalah sesuatu yang lain. Itu sebabnya Ram Charan (2002) mewanti-wanti, 70% kegagalan bukan karena masalah strategi, tetapi karena buruknya eksekusi. Jadi, kerja, kerja, kerja.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

1 thought on “Mewaspadai Siklus Baru – Sindo”

  1. William Tanujaya

    Semua perusahaan dan produk memiliki siklus hidup. sebelum siklus itu menurun, kita sudah harus menggerakan siklus yang baru. Siklus baru ini harus dimulai justru saat siklus sebelumnya dalam masa kejayaan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *