Saya tahu, Anda mulai bosan mengikuti berita politik. Maka, izinkan saya mengajak Anda mencicipi durian. Sedikit saja, dicicipi satu dua colekan kalau dilarang keluarga.
Kalau ke pelosok Nusantara dan tidak menikmati duriannya, rugi besar. Kendati durian monthong lebih besar dan dagingnya lebih tebal, rasa durian lokal jauh lebih mantap. Ibarat cabai, durian lokal adalah cabai rawit yang menggigit. Sebaliknya, monthong adalah cabai hijau: besar, tapi tidak pedas.
Di Medan, salah satu gerai durian yang terkenal adalah Durian Bang Ucok milik Zainal Abidin Chaniago. Tapi, karena brand Ucok lebih dikenal, jadilah semua memanggil namanya Bang Ucok. Maklum, dia sudah 25 tahun menggeluti bisnis durian.
Saya ingin mengajak Anda belajar dari bang Ucok, menjadikan usaha kecil sebagai ikon kuliner di ceruk pasar.
Tak Kenal Musim
Beginilah ganjaran orang yang tak pernah berhenti dalam berusaha. Dari emperan, kini Ucok sudah memiliki dua gerai, di Jalan Iskandar Muda dan Jalan Wahid Hasyim. Gerai Bang Ucok buka 24 jam, tetapi ramainya malam. Kalau kita pergi ke Medan dan belum mampir ke gerai Bang Ucok, rasanya kurang lengkap.
Dia begitu ramah menyapa pelanggannya. Itu beda benar dengan pedagang durian di tepi Sungai Mahakam, Samarinda, yang marah-marah sambil membawa pisaunya yang tajam saat duriannya ditawar. Pantaslah kalau dagangan durian mereka tak selaku dan seterkenal durian Bang Ucok. Ada tiga hal yang perlu kita pelajari.
Pertama, keberlangsungan pasokan. Durian bukanlah kerupuk yang bisa dibuat setiap saat. Ada musimnya. Tetapi, kita juga tahu, dulu di Medan durian nyaris tak ada harganya karena begitu musim panen tiba, para pemilik tak tahu mau jual ke mana.
Ucok membuat para pemilik kebun durian tahu ke mana mesti menjual. Tapi, ada syaratnya: berusaha itu tak boleh ada liburannya. Anda boleh saja beristirahat dengan tidur atau pelesir untuk menikmati hasil usaha, tetapi warung harus buka terus. Dan benar, Kini Bang Ucok tak perlu repot-repot lagi mencari durian ke desa-desa. Para petani itulah yang mengirimkan durian mereka.
Gerai Ucok Durian juga memicu munculnya gerai-gerai durian sejenis yang tampak di Jalan Sumatera atau di kawasan Pasar Merah. Lalu, ada juga toko-toko yang menjual produk turunannya dalam bentuk pancake atau pie durian.
Berkembangnya gerai-gerai durian membuat para petani menjamin kontinuitas pasokan, tidak mengenal musim. Beda dengan di daerah lain yang hanya bisa kita nikmati pada waktu-waktu tertentu. Dan begitu mendarat, kita hanya disambut dengan kalimat ini: maaf, musimnya sudah lewat.
Kedua, soal quality control yang ditangani dan disupervisi langsung oleh Bang Ucok. Di gerai Bang Ucok, kita akan disodori dua pilihan rasa durian: manis atau pahit. Kita tinggal menyebut, nanti Bang Ucok atau karyawannya yang akan memilihkan sesuai keinginan kita. Bagi saya, baik yang manis maupun yang pahit, sama saja nikmatnya.
Ketiga, untuk menjamin kualitas rasa dan layanan, kalau durian yang disajikan tidak sesuai dengan keinginan, kita boleh minta ganti tanpa dikenai biaya tambahan. Bukankah itu yang kita kenal sebagai quality assurance?
Bagaimana Ucok bisa menjamin bahwa kualitas duriannya pasti enak? Semuanya berangkat dari puluhan tahun dia menekuni bisnis durian. Sebelum menyajikannya kepada pelanggan, Bang Ucok selalu mencium dan memukul-mukul durian tersebut. Setelah yakin, baru durian itu dia belah dan sajikan kepada pelanggan. Pilihan Bang Ucok tak pernah salah.
Hal-hal itulah yang menurut saya berperan penting dalam menjadikan Bang Ucok sebagai ikon kuliner Kota Medan. Semuanya ditangani dan disupervisi langsung oleh Bang Ucok. Jadi, Ucok sendirilah yang menjadi taruhannya.
Pertaruhan semacam itu memang sangat mahal, tapi Bang Ucok berhasil memenanginya. Itu sebabnya, Kita tentu tak perlu menunggu skala usaha menjadi besar dahulu untuk menjadi ikon yang berdampak bagi banyak orang, bukan?
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan