Di Palembang, dalam forum Rektor yang digelar di kampus Universitas Sriwijaya kemarin, saya bertemu banyak dosen dan mahasiswa. Dengan orasi penuh berapi-api, seorang mahasiswa mengajukan pandangan-pandangan dan pertanyaannya.
Tapi, sebenarnya itu lebih bersifat orasi. Entah mengapa sekarang banyak sekali mahasiswa yang senang bicara dengan tonesuara yang meninggi, berteriak-teriak seperti seorang motivator yang maaf, kurang terdidik. Atau barangkali juga mirip politisi yang sering kita lihat di TV yang bicara, maaf lagi, ngawur-ngawuran, serbanegatif.
Namanya juga sedang ada bola panas elpiji Pertamina, semua orang senang mengangkatnya, lalu melakukan smes yang tajam. Jadilah proses berpikir-bertindak yang linear dan sama sekali tidak kreatif. Mengalir dari segala sisi, lalu membentuk tekanan, dan meledak di atas, dan efeknya negatif kemana-mana. Yang di atas pun meng-entertainnya, demi terbentuk orkestra dangdut yang membuat \”semua oang senang\”, at any cost.
\”Menyengsarakan Rakyat\”
Seperti kebanyakan orator “rakyat”, anak muda berpakaian seperti kebanyakan remaja yang modis itu mulai menuding sulitnya kehidupan. Dan dia merasakan bahwa harga elpiji yang mahal membuat kehidupan susah.
Dia atas panggung, narasumbernya adalah mantan wakil presiden Muhammad Jusuf Kalla (JK) yang dikenal luas sebagai arsitek transformasi dari minyak tanah menjadi gas. JK dikenal juga sebagai figur yang rasional dan selalu punya “jalan keluar”.
Dengan kata lain, pikirannya tidak linear seperti kebanyakan cara berpikir awam yang selalu menduga habis A maka B, lalu C. Melalui gabungan cara berpikir kreatif dan berpikir kritis, muncul lateral thinking seperti yang ditemukan Edward de Bono (1967). Itu melahirkan cara berpikir yang mengejutkan karena bukan pikiran yang biasa-biasa saja, yang populer terbawa arus.
Yang populer terbawa arus itulah, sepertinya, ada di kepala banyak politisi yang kurang cerdik, lalu logikanya dipakai anak-anak muda dan dituruti oleh pemimpin-pemimpin tertentu yang takut kehilangan popularitas. Takut menghadapi realitas. Takut menghadapi cara berpikir rakyat yang butuh waktu untuk paham dan melakukan sesuatu yang sesungguhnya jauh lebih baik bagi rakyat itu sendiri di masa depan.
Bukankah kemampuan berpikir manusia berlapis-lapis? Lapisan paling depan adalah fakta yang kasatmata seperti yang sehari-hari kita lihat. Nah, di belakang lapisan itu ada labirin-labirin fakta, yang hanya bisa dilihat melalui kecamata berpikir lateral yang membutuhkan kecerdasan, kreativitas dan pengetahuan.
Yang kasatmata itu adalah snapshot, fakta apa-siapa-dimana, yaitu berita pendek di sosial media yang cepat menyebar. Orang \”ngotot\” benar karena merasa benar dari fakta lapis satu yang baru dilihatnya. Di belakang itu, media sosial perlu waktu untuk menggalinya, menerangkan “how and why” lapis satu, lapis dua, lapis tiga, hingga bertemu wujud “udang di balik batunya”.
Di Lapis satu itu kita paling mudah menyajikan fakta-fakta sederhana: Orang berteriak, harga naik, barang hilang, perusahaan rugi, komplain spontan. Lalu, di lapis kedua, menteri-menteri berteriak, saling menyalahkan, saling mengklaim karena merespons teriakan yang kasatmata di lapis satu. Mereka semua melupakan pikiran dilapis ketujuh yang terbentuk dari perbuatan-perbuatan dan kebijakan yang mereka ambil di masa lalu karena tak kasatmata, tak bisa dilihat rakyat.
Mereka abaikan kajian-kajian ilmu pengetahuan, pembentukan karakter, ancaman terhadap kesejahteraan, daya saing, keruntuhan ekonomi, defisit keuangan, krisis yang lebih berbahaya di masa depan, akibat-akibat yang lebih negatif bagi rakyat kecil yang tidak kasatmata.
Semua itu menjadi rumit dijelaskan ketika “keadilan” tidak didapatkan, sehingga menjadi sangat emosional dan membentuk mental blokage yang kuat.
Seperti anak muda tadi, yang dengan gagah “menjual” tema” kesengsaraan rakyat. Ini jelas memerlukan kejernihan-kejernihan baru, ibarat membuka siung bawang yang terasa pedas di mata.
Anak muda itu mengeluhkan harga elpiji yang membuat hidupnya susah. JK memperbaiki cara berpikirnya.
“Anda memakai LPG 3 Kg atau 12 Kg?”
Anak muda itu sulit menjawab. Dia mengatakan 12 Kg dengan suara yang kurang meyakinkan.
“Nah, LPG 12 kilo itu bukan barang bersubsidi. Kalau hidupmu masih susah, pakai saja barang subsidi yang 3 Kg. Orangtuamu bekerja?”
“Tani, Pak”
“Yang benar?” Tanya JK. Dan itu pula yang ada dalam pikiran saya.
“Tani apa? Kebun?”
“Ya, Pak”
“Karet atau sawit?”
Anak muda itu menyebut salah satu dan semua orang tertawa.
“Janganlah engkau meminta uang negara untuk memasak di rumah kalau engkau sudah cukup mampu,” nasehat JK.
Saya pikir, ini banyak benarnya. Ketidakmampuan berpikir lateral telah membuat kebanyakan kita bersepakat untuk mengikuti arus besar yang beredar. Padahal, betapa berbahayanya dan tidak adilnya bila rakyat kaya yang mampu membeli bergalon-galon air mahal dalam kemasan tanpa melihat harganya meminta subsidi gas dari negara.
Lalu, kita semua berteriak, seakan-akan tak ada keadilan, rakyat tak diberi subsidi, seakan-akan harga gas semuanya naik. Lalu, dengan lugunya menteri-menteri mengatakan harusnya gas jangan dinaikkan, harus koordinasi dulu. Mengapa orang pandai itu kacau cara berpikirnya dan menyamakan kebijakan yang sudah diambilnya sendiri? Lalu, yang tak bersalah, yang berpikir logis, justru harus meminta maaf dan dipersalahkan?
Kita perlu memperbaiki cara berpikir bangsa, bukan melumpuhkannya dengan berfoya-foya hari ini sambil mengorbankan masa depan. Saya ngeri melihat negeri yang bersenang-senang yang sudah mirip Yunani dan Spanyol yang menangggung beban saat generasi berikut memimpin. Betapa banyak bom waktu yang kita biarkan ditanam oleh generasi ini. Ayo perbaiki cara berpikir.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan