Setiap kali menonton pertandingan sepak bola, sebagian besar kita, penonton, kerap kali merasa lebih jago daripada pemain-pemain yang kita jagokan sekalipun.
Kita merasa paling tahu dan lebih tahu bagaimana menggiring bola, mengirim umpan ke rekan, dan bagaimana menendang bola langsung ke gawang lawan. Mereka beramai-ramai menempatkan diri sebagai pemain di lapangan. Tak mengherankan jika Anda menyaksikan siaran langsung pertandingan sepak bola antara tim Indonesia dan tim asing, baik melalui stasiun televisi ataupun datang langsung ke stadion, Anda akan kerap mendengar ungkapan banyak orang yang bunyinya begini (maaf) “goblog, tolol, payah” atau seruan “huuuuu”.
Dari situ saja Anda mungkin sudah bisa membayangkan bagaimana prestasi tim nasional kita. Meminjam analogi sepak bola, kali ini saya pun ingin berandai- andai dengan menempatkan diri sebagai seorang penonton dalam pertarungan sejumlah tokoh untuk memperebutkan posisi RI-1. Hanya saja, kali ini saya ingin menjadi penonton yang baik. Saya tidak akan melontarkan makian atau seruan. Hanya berkomentar. Berikut ini beberapa komentar saya.
Presiden adalah Pelayan
Pertama, saya sungguh tidak mengerti menyaksikan betapa kuatnya syahwat beberapa orang yang prestasinya tak jelas mendeklarasikan diri sebagai calon presiden RI. Ada apa? Bagi saya, posisi sebagai presiden atau pejabat pemerintahan lainnya pada hakikatnya adalah menjadi pelayan masyarakat.
Kalau memakai logika sederhana, tak banyak orang yang benar-benar mau menyodor-nyodorkan diri untuk dipilih menjadi pelayan. Menjadi majikan atau atasan, mungkin, tetapi pelayan? No! Tapi berakting, berpura-pura menjadi pelayan, ah, barangkali masih ada yang mau. Sebab, menjadi pelayan, dengan segala maaf, bukan pekerjaan yang menyenangkan. Jauh lebih menyenangkan menjadi majikan atau atasan. Bayangkan, dengan menjadi pelayan berarti setiap saat kita harus siap menerima perintah dari majikan.
Tak peduli saat itu kita sedang ngantuk luar biasa atau mood sedang tidak enak karena semalam bertengkar dengan istri. Dalam kondisi apa pun kita mesti selalu siap melayani, ditegur dan dimarahi, dan untuk itu semua kita juga mesti rela dibayar dengan gaji yang tidak terlalu tinggi. Mana ada pelayan yang gaji atau penghasilannya melebihi majikan atau atasannya. Begitu pula menjadi pelayan dengan beratribut Presiden Republik Indonesia. Bicara gaji, nilainya juga tidak tinggi-tinggi amat.
Hanya berkisar Rp62,5 juta per bulan. Kelihatannya besar bagi kita yang bergaji Rp2 juta sebulan, tapi kecil bagi selebritas, pengacara atau CEO sekalipun. Memang, Presiden RI memiliki dana taktis dan operasional sekitar Rp2 miliar per bulan, tetapi itu tidak termasuk penghasilan. Gaji Presiden RI bahkan masih kalah jauh dari gaji Gubernur Bank Indonesia atau CEO-CEO BUMN. Apalagi jika dibandingkan dengan CEO-CEO perusahaan- perusahaan swasta. Padahal, tanggung jawabnya lebih besar.
Dan jangan lupa, bangsa ini (seperti bangsa-bangsa Asia lainnya) sesungguhnya punya jiwa melawan dan sulit memaafkan (bahasa halusnya: “memaafkan, tapi tak melupakan”). Sekali Anda punya “dosa publik”, misalnya membiarkan rekan-rekannya melakukan korupsi atau kejahatan, membingkai penegak hukum yang bersih untuk dipenjarakan, menguburkan persahabatan demi kekuasaan, membiarkan istri dan anak-anak ikut mengatur kekuasaan, maka tiada ampun bagi masa depan Anda.
Kekuasaan itu ibarat berjalan di atas gunung terjal yang berlumut. Sebagai CEO, kita mungkin hanya bertanggung jawab terhadap karyawan atau stakeholders lain. Kalau perusahaannya tergolong perusahaan besar, jika dihitung-hitung, jumlahnya mungkin ratusan ribu orang. Sementara sebagai presiden, kita mesti bertanggung jawab terhadap 240 juta rakyat Indonesia. Jadi, apa yang mendorong mereka yang modalnya paspasan tampak begitu kuat untuk menjadi presiden RI? Saya sungguh tidak paham.
Mungkin karena itulah tidak pernah ada pihak yang mau mencalonkan saya menjadi presiden RI? Habis untuk urusan yang mendasar saja banyak yang saya tidak mengerti. Bukan berpura-pura tak mengerti, tapi saya memang sungguh-sungguh tidak mengerti. Kita tak bisa membangun negeri besar hanya pakai persepsi saja, apalagi asumsi-asumsi sederhana atau pakai ilmu spesialis yang menjadi kekuatan kita. Kita butuh daya ungkit yang kuat, kemampuan berpikir integratif dan bertindak cepat.
Timing-nya Berat
Catatan saya yang kedua, mereka berlomba-lomba menjadi “pelayan” justru di saat kinerja perekonomian kita sesungguhnya tidak dalam kondisi terbaiknya. Nilai tukar mata uang rupiah kita terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Dulu kita sempat swasembada pangan.
Kini, produksi beras kita tak lagi mampu memenuhi pertumbuhan jumlah penduduk sehingga selama tahun 2013, setiap bulan kita harus mengimpor beras sekitar 40.000 ton atau senilai rata-rata Rp203 miliar. Itu hanya untuk beras. Selain itu kita juga masih harus mengimpor kedelai (karena kita pemakan tempe-tahu), jagung (sebagian besar untuk pakan ternak), gula (terutama untuk kebutuhan industri; kita merencanakan revitalisasi 25 pabrik gula, tapi hanya 1 yang terealisasi), dan daging sapi (kita semua suka daging).
Saya lebih cemas lagi kalau membaca berita soal energi, terutama minyak. Permintaan minyak kita saat ini terus meningkat (bayangkan, penjualan mobil baru setiap tahun sudah di atas 1 juta unit, sementara sepeda motor bisa 7,7 juta). Sementara itu volume produksi minyak kita terus menurun. Kita sekarang telah menjadi salah satu importir minyak terbesar di dunia. Impor minyak kita sekarang mencapai 826.000 barel atau senilai Rp1,3 triliun per hari.
Sekali lagi, per hari! Sudah begitu, sepuluh tahun terakhir ini bangsa ini telah dibuai dengan subsidi yang salah sasaran. Benar subsidi adalah hak rakyat, tetapi tahukah Anda ketika bensin bisa dibeli murah, beras sudah dua kali lebih mahal dari bensin? Dengan kurs yang lemah, kita akan membeli pangan dari luar negeri dengan rupiah yang semakin besar.
Dan itu adalah awal dari kebangkrutan besar yang jauh lebih menyakitkan daripada sekadar manisnya bensin murah. Itu sebabnya saya sering kali merasa sebal jika masih saja ada pejabat kita, politisi atau siapa pun yang sesorah, “Negeri kita kaya dengan sumber daya alam. Cadangan minyak kita ada di mana-mana.” Apa mereka tidak tahu kalau cadangan minyak mentah kita terus menipis dan diperkirakan bakal habis dalam 10 tahun ke depan?
Sudah menipis, letaknya sangat sulit dijangkau, teknologinya tak dikuasai, volume di setiap lokasinya kecil-kecil (sehingga kurang menarik bagi investor), ongkos kirimnya mahal karena kondisi pelabuhannya tidak dimodernisasi, dan seterusnya. Jangan lupa Anda tinggal di sebuah archipelago terpanjang di dunia dengan tingkat keberagaman yang tinggi. Dengan kondisi seperti itu, kita rasanya pantas memberi dorongan semangat kepada tokoh-tokoh yang punya track record kuat, berpandangan luas, dan telah terbukti bekerja sangat cepat mengatasi masalah serta tak punya dosa publik.
Kita perlu mendukung siapa pun yang akan terpilih menjadi presiden ketujuh Republik Indonesia agar tidak cepat menyerah menghadapi beban-beban yang bertubi-tubi. Dulu, kita semua menyaksikan ada sejumlah orang yang sujud syukur ketika diangkat menjadi menteri. Kali ini saya akan mencermati betul apakah ada orang-orang yang melakukan sujud syukur ketika diangkat menjadi menteri pada kabinet pemerintahan mendatang. Saya tidak berkeberatan kalau mereka bersujud seraya berdoa semoga diberi kekuatan dalam menjalankan amanat sebagai menteri. Tapi, kalau ada yang bersujud syukur, saya pasti akan mengelus dada, seraya berbisik dalam hati, “Orang ini tahu tidak sih apa yang bakal dihadapinya?”
Koordinasi dan Eksekusi
Dalam banyak kesempatan, saya sering melontarkan pernyataan, “Sebagai bangsa, kita ini ibarat tidur di ranjang yang sama, tidur di kasur yang sama, tetapi mimpinya berbeda- beda.” Itulah yang selama ini terjadi pada bangsa kita. Politik “bagi lapak” telah membuat banyak tokoh hanya asyik urus lapak masing-masing. Maka, ini catatan saya yang ketiga, siapa pun presiden negeri ini kelak, dia mesti bisa menyatukan mimpi yang berbeda-beda dari setiap anak bangsa.
Maksudnya, bukan dengan memberangus mimpi-mimpi mereka, tetapi mengolahnya sedemikian rupa sehingga setiap mimpi mampu bersinergi ke arah yang sama, yakni menuju Indonesia yang lebih adil dan sejahtera. Menjadi dirigen dalam sebuah simfoni orkestra besar yang membuat pemain-pemain musik menunjukkan kehebatannya dalam nada yang harmonis. Bagaimana caranya?
Saya terus terang tidak tahu karena saya memang tidak dan belum pernah berpikir untuk menjadi capres. Kita bagi-bagi peran saja karena PR saya mengurus pendidikan masih banyak dan Tuhan tampaknya mengarahkan saya untuk menggeluti bidang ini.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan