Suara terompet malam tahun baru terus berbunyi hingga dini hari. Tapi di banyak pelabuhan laut di ASEAN, ribuan pekerja sibuk berbenah di bawah pijaran kembang api.
Di Jakarta, pekerja di Pelabuhan Kalibaru disinari lampu penerang mengangkut peralatan demi terbentuknya New Priok. Di Selat Malaka, selain Kompleks Iskandar Malaysia yang menggabungkan pelabuhan dengan industri dan pariwisata, Pelabuhan Kuantan pun terlihat sibuk. Malaysia berambisi menaklukkan Singapura dengan investasi sebesar USD28 miliar dengan luas tiga kali Singapura.
Tapi Pemerintah Singapura sendiri berambisi menaklukkan Shanghai yang baru saja dinobatkan sebagai pelabuhan kontainer terbesar dunia. Pada 2022 mereka akan memiliki pelabuhan dengan kapasitas dua kali lebih besar yang mampu menampung 65 juta kontainer standar (20 feet). Mereka baru saja membebaskan lahan (termasuk reklamasi) seluas 1.000 hektar. Total anggarannya USD8 miliar.
Dalam sebuah report, saya membaca beragam ambisi Singapura yang bersungguh-sungguh membangun pelabuhan yang lebih modern untuk menampung datangnya kapal-kapal besar generasi baru. Ekonom DBS mengatakan, ” Kami tidak ingin bisnis Singapura tumpah ke pelabuhan-pelabuhan tetangga.” Tentu saja termasuk ke Indonesia.
Bagaimana Kesiapan Indonesia?
Selain banyak kebimbangan, suasana akhir tahun pelabuhan kita masih diwarnai keributan-keributan kecil seputar rasa sakit hati yang sebenarnya bukan persoalan penting. Padahal, Malaysia saja, sejak 2005 sudah sadar, untuk melakukan transformasi diperlukan pemimpin yang kuat dan satu suara yang saya sebut sebagai The Cracker.
Dalam buku Cracking Zone (2010) misalnya, saya mencontohkan deal yang dilakukan Hasnul Suhaimi saat diminta Axiata mentransformasi XL. Hasnul mengajarkan kepada politisi muda Malaysia bagaimana memimpin dengan teori X-nya. ” X itu adalah huruf yang memiliki sebuah pertemuan di tengah, yang berarti komisaris dan direksi harus bermuara ke satu titik. Saya tidak mau memimpin direcoki suara-suara yang berbeda-beda.
Semua komisaris harus bermuara di tangan satu orang dan mereka tidak boleh langsung ke masing-masing direksi. Semua harus ke saya, lalu saya yang menentukan ke semua direksi,” ujarnya. Dengan berbekal itulah Hasnul memperbaharui XL dari posisi nomor 3 ke nomor 2 di bawah Telkomsel. Pemimpin transformasi memang butuh tim yang solid.
The Cracker menghadapi dua lawan: di dalam menaklukkan kebiasaan lama, keluar ia memperbarui industri. Bambang E Cahyana, CEO Pelindo I di Sumatera Utara, memberi tahu saya. Saat ia merencanakan perubahan infrastruktur, kegelisahan pun dirasakan para CEO pelabuhan negeri tetangga.” Mereka menawarkan untuk membuatkan master plan-nya,” katanya.
Pendulum Nusantara
Dalam suatu presentasi yang dilakukan CEO Pelindo II, RJ Lino, di akhir tahun lalu, saya membaca slide ini: ” Harga BBM kapal dunia meningkat 600% dalam 5 tahun terakhir, namun freight container (ongkos) hari ini lebih murah (rendah) dari 5 tahun yang lalu.” Harap Anda maklum, 60% cost dari freight container merupakan biaya BBM.
Namun, sebaliknya, saya membaca lagi, ketika ongkos angkut kontainer internasional sudah turun, ternyata di dalam negeri tidak. Saya tidak terkejut ketika menemukan ongkos angkut kontainer standar (20 feet) Jakarta–Padang ternyata 1,4 kali lebih mahal dari ongkos laut kontainer yang sama dari Jakarta ke Hamburg atau sekitar tiga kali lebih mahal dari ongkos Jakarta–Tokyo.
Tidak mengherankan kalau indeks kemahalan harga-harga kebutuhan pokok di Indonesia bagian timur tinggi. Sambil berseloroh, di sebuah stasiun televisi, RJ Lino berkata begini kepada saya: ”Saya takut kalau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) jadi kenyataan dan orang-orang di pelabuhan tidak mau berubah, kelak saudara-saudara kita di timur akan menuduh bahwa mereka dijajah oleh kita yang tinggal di Pulau Jawa.”
Lho kenapa demikian? Ceritanya begini. Dalam MEA, beras dari Thailand bisa langsung dikirim ke berbagai pelosok Nusantara tanpa melalui Jakarta lagi. Demikian pula barang-barang lain dari negeri tetangga. Dan kalau tarif angkut mereka lebih murah, bisa dibayangkan perasaan sebagai Negara Kesatuan Indonesia akan terkoyak-koyak. Kita tentu tak bisa lagi menutupi semua persoalan ini.
Lantas mengapa bisa lebih murah? Jawabannya karena pelabuhan- pelabuhan laut mereka dipimpin profesional yang melakukan transformasi dan didukung kuat oleh pemerintahnya. Dan semua itu harus satu suara, satu pikiran, satu perbuatan. Ceritanya begini. Dewasa ini, biaya angkutan barang yang dilakukan melalui laut adalah 1/10 dari biaya angkutan darat.
Nah, karena itulah fokus pembangunan infrastruktur mereka dipusatkan ke pelabuhan laut. Namun untuk mendapatkan low cost economy, diperlukan kemampuan mendatangkan kapal-kapal besar generasi baru yang mampu mengangkut lebih dari 18.000 kontainer. Nah, kapal-kapal ini butuh pelabuhan dengan kedalaman laut (deep droughts), lebar dermaga di atas 6.000 meter, craneberteknologi terkini, kapasitas logistik, akses darat ke pelabuhan yang lancar, dan tentu saja manajemen yang berkualitas danhighly productive.
Dengan kemampuan itulah Singapura menduduki posisi teratas dalam indeks keterhubungan angkutan laut (Liner Shipping Connectivity Index) dengan skor 113,2. Malaysia juga tinggi (99,7). Adapun Indonesia (26,3) berada jauh di bawah Vietnam (48,7) dan Thailand (37,7). Ini berarti kita benar-benar belum efisien, belum canggih dan masih banyak guyub. Kalau sudah begini, mana mungkin Indonesia menaruh CEO-CEO yang lembek dan kurang pengalaman untuk memimpin di pelabuhan?
Persoalannya, begitu kita mendapat pemimpin yang kuat, kita pun mendua, menjadi serbaparadoks, karena pemimpin yang kuat itu mempunyai ciri-ciri: tegas, nonkompromistis, kurang guyub, dan cenderung demanding.
Paradoksnya, kita mengatakan mereka sombong. Saya setuju kita perlu pemimpin yang peduli dan rendah hati, tetapi untuk memimpin di pelabuhan, mungkin kita juga perlu yang sedikit kepala batu, tetapi pintar dan bisa membuktikan kinerjanya. Yang jelas pelabuhan-pelabuhan kita perlu dipimpin orang-orang hebat dengan teknologi dan manajemen yang canggih.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan