Tahun Ini Kitalah Penentunya – Jawa Pos, 1 Januari 2014

Di meja rapat besar, teman saya, seorang pengusaha besar yang disegani di Asia bercerita tetang keputusan yang baru saja diambilnya. Mungkin karena semua direkturnya sudah terpencar di Madrid, Paris, Amsterdam, Istanbul, dan Denpasar untuk berlibur, dia pun menceritakan semua angan-angannya kepada saya.

Tentu saja secara alamiah eksekutif-eksekutifnya yang dipercaya memimpin perusahaan sedang gelisah. Mereka tidak menyangka pimpinan perusahaan membatalkan liburannya, sedangkan anak-istri sudah membeli tiket dan menetapkan jadwal liburan. Padahal, saat mereka berlibur itu pulalah bos besar akan turun ke lapangan mengecek segala ketidakberesan.

Alhasil, di meja itu, kami menyimpulkan, ”Perusahaan ini menjadi besar karena kita sendirilah yang menentukannya.” Anda tentu boleh menambahkan, “Atas kehendak Tuhan.” Saya setuju saja. Tetapi, bagaimana kita menangani situasi akan menentukan bagaimana alam bereaksi.

Yang Tidak Berhasil

Dari blusukan akhir tahunnya itu, sahabat saya menemukan sejumlah kejanggalan. “Barang ada, uang ada, bawahan-bawahan yang hebat pun ada. Tetapi, mereka tidak bisa bekerja karena atasan-atasan tidak mengeksekusi.“

Saya pun terkekeh-kekeh mengingat hal serupa juga dikeluhkan publik terhadap kinerja birokrat yang dikenal “slow-dan-low” dalam penggunaan anggaran negara. Maksudnya, sudah serapannya rendah (di bawah 80 persen), proyek-proyeknya pun baru dikebut akhir tahun sehingga benar-benar slow.

Tetapi, meski begitu, mereka tetap bisa menikmati liburan enak di tempat yang indah. Tinggallah anak buah yang gelisah bersama-sama dengan pemilik perusahaan atau penanggung jawab tertinggi.

“Orang-orang yang memimpin seperti itu, proyeknya tidak akan berhasil,” ujar teman saya tersebut. Mereka menunda-nunda waktu, bingung sendiri. Padahal, orang yang bingung harus mencari pegangan dan bertindak. Faktanya, mereka mendiamkan.

Tetapi, ada lagi orang bingung lain yang mengambil langkah keliru.  Mereka mendiamkan dirinya dikendalikan pihak ketiga yang menyajikan data-data yang terkesan bagus untuk dieksekusi. Harap Anda ingat, eksekutif bertugas mengambil keputusan dengan justifikasinya. Nah, Justifikasi itu adalah data dan analisis.

Teman saya memberi contoh keputusan yang nyaris menghancurkan bisnis yang dibangun dan dibesarkan dua generasi itu. Ketika Mei 2013 harga saham perusahaan-perusahaan domestik sedang bagus-bagusnya, mereka mendapat tawaran pembiayaan dari bank asing dalam bentuk USD. Kurang lebih dibutuhkan investasi sebesar Rp 10 triliun. Ini bukan jumlah yang kecil. Tetapi, semua hitung-hitungannya (justifikasinya) sangat menarik.

Jaminannya pun bisa dipenuhi: saham-saham perusahaan.  Pembayarannya ringan dan semua orang optimis melewati hari esok. Tetapi, kawan saya segera teringat kasus-kasus lain yang pernah mengakibatkan kolega-koleganya  gulung tikar. Kalau harga saham tiba-tiba turun dan IHSG melemah, mereka harus menambah jaminan atau saham-saham itu dilelang bank asing tersebut.

Saya kira Anda paham, hal ini pernah dihadapi sejumlah konglomerat Indonesia yang berakibat kebangkrutan dan pengalihan-pengalihan aset-aset disertai sengketa panjang di pengadilan.

Yang Berhasil

Sekali lagi, kitalah penentu keberhasilan itu. Melanjutkan kisah tadi, sahabat saya tersebut mengambil langkah yang berbeda. Dia melihat dana sebesar itu bisa didapat dari sindikasi perbankan nasional dengan cara yang lebih mudah dan lebih murah. Lagi pula,cash flow-nya berbentuk rupiah. Ia berpikir, “Kalau melompat dengan cara biasa saja sudah bisa sampai di seberang, mengapa harus bersusah payah  lompat galah yang beresiko kaki patah?”

Cara seperti itu sempat diulas penulis terkenal Malcoln Gladwell dalam bukunya David and Goliath. Di situ, Gladwell berkisah bahwa “yang kuat tidak selalu benar-benar kuat.” Sebaliknya juga benar.

Tetapi, apa yang membuat Goliath yang perkasa dan bertubuh besar itu kalah menghadapi anak gembala yang hanya bersenjata ketapel (David)? Jawabnya adalah karena David tidak mau bertarung mengikuti irama permainan yang berlaku umum, yaitu bermain pada jarak dekat, pedang melawan pedang. Ketika Goliath menantang dengan hunusan pedang panjang, berpakaian perang dengan tubuh dilapisi logam yang berat, David justru bertarung menggunakan gerakan cepat, kegesitan tubuh, dan dengan ketapel.

Dia bermain pada jarak jauh. Itu ibarat perang darat bersenjata panser tentara Saddam Hussein yang dihadapi serangan udara oleh tentara sekutu. Percuma melayani lawan  berotot kuat dengan otot.

Alhasil, rekan saya tersebut bisa tetap tersenyum di akhir tahun 2013. Saat IHSG merosot tajam dan nilai rupiah melemah begitu drastis, aset-asetnya aman. Tetapi, berapa banyak  pengusaha yang terbebas dari jebakan itu?  “Bayangkan, keputusan eksekutif dengan justifikasi yang terlihat indah namun keliru itu, walau hanya beberapa menit saja, bisa menghapuskan hasil kerja keras dua generasi,” ujarnya.

Pembaca, seperti Anda, semua eksekutif memiliki pertanyaan yang sama: Apa yang akan terjadi pada 2014 yang pancaroba ini? Saya hanya bisa menutupnya dengan kalimat ini, “Kita sendirilah yang menentukannya. Kalau kita tahu keadaan lapangan dan mau bekerja keras, kritis terhadap data, semua masalah bisa kita atasi.”

Jangan lupa, selain science dan justifikasi angka, alam juga memberikan uji alamiah yang data-datanya bisa kita rasakan kalau kita bersungguh-sungguh tinggal di dalamnya. Sekarang tinggal Anda yang menentukan: Mau menguji data itu  tetapi  tak pernah berada di dalam data itu sendiri atau secara sungguh-sungguh berenang dalam debu dan realitas, mengunyah segala kebenaran dalam percobaan alami? Saya memilih yang kedua, kendati sebagian orang menuduhnya sebagai micro managing.

Itulah esensi perubahan pada 2014. Selamat Tahun Baru, semoga kita semua diberi berkah, kesehatan dan kesejahteraan alami.

Rhenald Kasali
founder  Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *