Berkali-kali saya katakan perubahan itu pahit. Dan, tak akan ada pembaruan di negeri ini kalau kita tak punya orang-orang yang berani memimpin perubahan. Sebab, memimpin perubahan itu tidak populer, dibenci banyak orang yang tak mau berkorban dan berbahaya.
Seperti itulah yang tengah kita saksikan di Pelabuhan Tanjung Priok. Bak disambar geledek, suatu hari Dahlan Iskan menerima pesan dari Dirut Pelindo 2 bahwa salah seorang direksi beserta jajarannya melakukan pengunduran diri alias resign massal.
Kita semua tahu resign dalam bekerja adalah persoalan biasa, tetapi “resign massal” mengandung konotasi lain: menuntut perhatian, sebuah perlawanan, solidaritas kelompok, ingin mempermalukan, sebuah tanda ketidakberesan, bahkan mungkin juga berkonotasi sabotase. Jadi di Pelindo 2 ini yang mana?
Ikut perubahan atau ikut anak buah
Apa pun yang terjadi, kita harus melihat kasus ini dari konteks perubahan. R J Lino, sama seperti Ignatius Jonan (Dirut PT KAI) dan Emirsyah Satar (Garuda Indonesia), adalah CEO yang khusus direkrut Kementerian BUMN beberapa tahun lalu untuk melakukan perubahan.
Dalam berbagai kesempatan, saya bertemu dengan ketiga CEO itu karena mereka selalu muncul bergantian menjadi nomine CEO terbaik pilihan akademisi dan media massa. Saya juga beberapa kali berinteraksi dengan anak buah mereka baik yang siap berubah, yang banyak komplain, dan yang antiperubahan.
Saya kira kita semua paham, mereka bertiga ditempatkan dalam medan yang supersulit. SDM perusahaannya tua-tua (saat mereka bergabung rata-rata usia pegawai 45-47 tahun), kultur korupsi dan guyubnya sangat kental, serikat pekerjanya sangat solid, dan diisi orang-orang lama yang butuh perhatian dan kekuatan kelompok.
Selain itu, pendapatan perusahaan (sebelum mereka masuk) tidak optimal, cashflow-nya disimpan di bank (tidak diinvestasikan), semua eksekutif punya mainan sendiri-sendiri, tidak ada alignment vertikal maupun horizontal, tak ada investasi-investasi baru, dan masalah baru terus bermunculan. Bahkan perusahaan rugi pun tak ada yang peduli. Anehnya, turnover pegawai amat rendah.
Para change leader itu pun masuk dengan seribu satu ancaman. Padahal, mereka sudah mapan dalam posisi mereka sebelumnya. Dan demi menyatukan institusi, \”mainan\” orang perorangan dikembalikan pada perusahaan. Siapa sih yang bisa menerima mereka? Kalau mereka merapikan SDM dan mendatangkan profesional-profesonal muda, siapa sih yang melawan? Ya, Anda benar: serikat pekerja.
Bukankah para senior yang menghadapi perubahan itu dan sebentar lagi pensiun akan merasa terancam? Sebenarnya kalau mereka mau mengubah sikap menjadi kooperatif saja tak akan ada masalah. Masalahnya, di dalam cohort itu terdapat tradisi saling melindungi yang berawal dari kebiasaan bagi-bagi rezeki dengan cara-cara lama.
Tradisi-tradisi seperti itu tentu harus diubah, dan tak ada kompromi bagi seorang change leader. Kita tentu tak bisa berpura-pura lugu bahwa itu tak ada sama sekali di sini, hanya menuduh tanpa bukti dan seterusnya.
Tetapi, nanti dulu. Generasi yang lebih tua sudah biasa melindungi anak buah yang juga pernah menyervis kita bukan? Jadi, amat sangat biasa surat hukuman tidak ditandatangani, bahkan tidak diteruskan kepada yang bersangkutan.
Kita menjadi takut berhadapan dengan anak-anak buah yang tahu sebagian besar “rahasia” kita. Bukan hal baru, banyak manajer dalam institusi yang menjadi feodal itu selalu mengatakan begini \”Sebentar ya saya tanya anak-anak dulu ya,\”. Lho, kok manajer minta pendapat anak buahnya?
Jadi kita ini mau bersekutu dengan siapa?
Dengan bos baru yang belum kita kenal yang memimpin perubahan ataukah dengan anak buah yang melindungi kita?
Keduanya ada risikonya. Kalau ikut bos, anak buah akan sakit hati dan berpotensi membuka rahasia hidup kita, bahkan membuka aib kita. Tetapi, bos akan memercayai kita, budaya perusahaan bisa lebih mudah dibangun, perubahan ada dalam genggaman.
Lantas bagaimana kalau kita berpaling ke anak buah? Tentu mereka senang dan bos besar akan marah, jabatan kita menjadi taruhannya. Pilihannya hanya dua: diberhentikan atau minta berhenti. Berhenti pun ada 2 cara: mengundurkan diri sendirian atau beramai-ramai. Kalau sendirian, kita akan dituduh macam-macam, tapi kalau beramai-ramai maka bosnyalah yang akan jadi sasaran kemarahan publik. Sederhana saja, bukan?
Uji karat perubahan
Seperti emas, pemimpin perubahan juga ada ukuran karatnya. Semuanya bisa diukur dengan memeriksa sejumlah elemen. Tetapi, ambil saja tiga hal ini: integritas, end-result, dan popularitas.
Integritas tak bisa diukur dari popularitas, bahkan keduanya sangat bertolak belakang. Semakin kuat integritas seseorang, kalau ia memimpin perubahan dalam organisasi tua yang berbudaya guyup, maka sangat mungkin ia akan menjadi tidak populer.
Jadi, integritas dapat dilihat dari kegigihannya menegakkan aturan, dari ada tidaknya bukti-bukti pelanggaran hukum (bukan desas-desus). Dan, integritas hampir pasti berhubungan dengan hasil (end result) yang dicapai.
Sampai di sini saya bisa mengatakan perubahan di PT Pelindo 2 itu riil, setidaknya sama kencangnya dengan yang terjadi di Garuda Indonesia dan PT KAI. Namun, seperti juga RJ Lino (CEO Pelindo 2) yang kini menghadapi ujian dari serikat pekerja dan sebagian kecil jajarannya, Emirsyah Satar dan Ignatius Jonan juga mengalami hal serupa.
Bila ancaman mogok dari SP di Pelindo baru wacana, di Garuda Indonesia mogok kebetulan itu sudah pernah terjadi. Emirsyah Satar pun dituding arogan. Anda mungkin masih ingat saat pilot-pilot yang tergabung dalam Asosiasi Pilot Garuda (APG) melawan.
Dan, terlepas dari kemajuan di PT KAI, saya kira Anda juga tahu banyak mahasiswa UI yang tak menyukai Jonan saat ia menggusur pedagang asongan dari stasiun kereta api. Bahkan, tak banyak penumpang yang senang saat disemprot tinta hitam karena menumpang di atap kereta.
Saya bisa bercerita banyak tentang hal ini, tetapi saya kira penting bagi kita untuk melihat progres yang dicapai di ketiga BUMN itu: servis mereka membaik, GCG juga membaik, regenerasi bergerak cepat, pendapatan (gaji) karyawan meningkat tajam, kepuasanstakeholder meningkat, investasi-investasi baru (belanja modal, capex) terealisasi dengan progresif.
Saya sependapat dengan banyak komentar yang menyayangkan terjadinya resign massal. Padahal, sebagian dari mereka sudah disekolahkan di luar negeri. Tak terbayangkan oleh saya berapa besar ganti rugi yang harus dikembalikan dan hilang kesempatan untuk ikut dalam pesta besar perubahan yang menggetarkan jiwa ini.
Perubahan itu memang pahit dan mengusik rasa nyaman kita. Mengusik solidaritas, membuat yang perasaan “teraniaya”. Tetapi,the show must go on dan harus ada orang yang rela berkorban dan rela tidak populer.
Ayo bangun rasa percaya diri dan kehormatan, bukan solidaritas yang lembek dan lempar batu sembunyi tangan. Yang berani itu tidak akan bertahan dengan kekuatan massa, melainkan kekuatan pribadi dengan pikiran dan fakta. Hadapi saja perubahan.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan