Belajar Melihat – Jawa Pos, 24 Desember 2013

Salah satu pelajaran yang paling saya gemari sewaktu mengikuti program doktoral di Amerika Serikat adalah ini, “belajar” melihat. Pembimbing saya, Prof Clark McPhail, seorang ahli kerumunan memperlihatkan betapa banyak orang “yang punya mata namun tak melihat.”

Persis seperti syair lirik lagu Bimbo yang biasa diputar di bulan Ramadhan. Atau lebih lengkap lagi, “punya telinga tak mendengar, punya harta tak bersedekah.”

Nah, katanya, akhir tahun adalah saat yang tepat untuk “belajar” kembali, mengasah panca indera, khusus untuk melihat hal-hal yang tak terlihat. Pertanyaannya, kalau semua yang kasat mata itu terlihat jelas, mengapa hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengambil kesempatan?

Akhir Tahun

Selain menikmati bonus dari kerja keras sepanjang setahun dan memilih liburan, sikap manusia akhir tahun juga sangat dibentuk oleh persepsinya terhadap keadaan di tahun berikutnya. Membaca tanda-tanda ini bisa mengasah intuisi karena bisa jadi apa yang Anda “lihat” sangat berbeda dengan yang Anda dengar dari media massa dan ucapan-ucapan orang lain, atau bahkan persepsi umum yang beredar.

Bahkan nilai bonus yang diberikan perusahaan pada akhir tahun pun sebenarnya tak lepas dari persepsi para eksekutif puncak terhadap keadaan di tahun berikutnya.

Pada akhir tahun itu pulalah kita memiliki waktu yang cukup untuk berkontemplasi, mengosongkan segala pikiran dan sekaligus menjauhkan diri dari kompetisi kehidupan. Pada saat itulah muncul kejernihan-kejernihan yang terbebas dari perasaan-perasaan negatif seperti tertindas, tertinggal, terganggu, atau terancam.

Coba masuklah dalam sebuah kerumunan dan bangun kesadaran penuh untuk “membaca” manusia dengan segala keunikannya. Ini berbeda benar dengan saat dimana Anda berada di dalamnya untuk “berebut” sepotong kesempatan (untuk masuk, membeli tiket, atau mengambil sesuatu). Apakah itu di bandara, stasiun kereta api, mal belanja, atau rumah ibadah.

Dengan “membaca” dalam kejernihan, Anda bisa mendapatkan refleksi-refleksi diri tentang Anda sendiri dan perilaku manusia. Anda akan lebih sensitif dan cepat membaca mana ketulusan, rayuan, kepalsuan, kegetiran dan amarah. Anda juga dengan cepat bisa membaca bagaimana pencopet beroperasi, siapa saja yang sudah terhipnotis, pemeras yang berhasil mendapatkan mangsa, dan orang tua yang lalai terhadap anak-anaknya.

Membaca Kesempatan

Anda mungkin masih ingat video yang banyak beredar 2 tahun lalu, tentang seorang balita yang sedang berjalan dan terlindas mini van. Dalam keadaan berdarah-darah, tak seorang pun menolongnya. Bahkan sebuah mobil pick up berikutnya ikut menggilas pada babak berikutnya.

Saya menghitung semua ada 14 orang yang melintas, termasuk seorang ibu beserta anak perempuannya dan beberapa pejalan kaki dan pengemudi sepeda motor yang lewat di sekitar Yua-Yue yang terpuruk. Video yang berasal dari CCTV itu segera beredar luas dan membuat banyak orang bersedih. Yua-Yue tewas beberapa hari kemudian.

Karena menjadi berita besar, maka pihak kepolisian baru “melihat” kejadian ini sebagai peristiwa yang sangat serius bagi masa depan peradaban China. Ke 14 orang yang berlalu itu pun diinterogasi, dan publik amat terkejut mendengar jawaban mereka: “Kami (Saya) tidak melihat.”

Saya sendiri melihat video itu berulang kali dan sering saya gunakan untuk mengajarkan mahasiswa saya (juga para eksekutif) cara “melihat”. Melihat apa? Anda benar! Ini adalah belajar melihat kesempatan.

Bukankah setiap hari kita dikelilingi oleh jutaan kesempatan untuk berbuat baik, menolong sesama, berbagi, dan kesempatan untuk masuk ke dalam surga? Tetapi dengan berbagai alasan kitapun menghindarinya.

Saya pikir inilah sebabnya mengapa banyak orang yang gemar berbagi, hidupnya lebih berbahagia. Mereka bukan hanya pandai “melihat” kesempatan-kesempatan surgawi, melainkan juga kesempatan-kesempatan ekonomi. Sederhana saja, semua kesempatan ekonomi itu selalu berawal dari kesulitan atau musibah yang diderita manusia atau orang lain.

Orang yang berbibir kering memberikan kesempatan pengusaha membuat lip balm, kulit kering memberikan indikasi peluang menciptakan pelembab kulit, listrik sering mati adalah peluang untuk membangun pembangkit listrik skala besar, musibah lalu lintas adalah rejekinya surat kabar, musibah korupsi adalah rejekinya televisi, dan seterusnya.

Lantas mengapa banyak orang tak mampu “melihat” semua musibah atau masalah itu sebagai sebuah “kesempatan”? Banyak orang yang berdoa sangat khusuk tetapi tak mampu mengulurkan tangan saat tangannya dibutuhkan.

Jawabnya tentu amat beragam. Namun diantara ribuan jawaban itu ada lima hal yang membuat mereka gagal melihat: Kurang melatih kepekaan, terlalu fokus dengan tujuan, gemar menyangkal terhadap realita, arogansi yang sangat berlebihan, dan kurang bergaul keluar sehingga miskin perspektif. Selamat tahun baru 2014, happy holiday.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *